BERITA

Membangun Governance Lewat KPK dan Komisaris

Upaya membangun governance di BUMN tak kunjung tuntas meski sudah dimulai sejak 2002.  Kementerian BUMN mengambil langkah preventif dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengoptimalkan peran Komisaris.

Penegakan tatakelola perusahaan (good corporate governance) di BUMN menjadi krusial   tatkala muncul berbagai kasus yang justru melibatkan direksi BUMN. Sejumlah kasus yang sempat mencuat di publik dan mencoreng citra BUMN tersebut di antaranya kasus yang menimpa PT INTI, Garuda, PLN, Krakatau Steel, Jiwasraya, hingga Asabri.  Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan  terkait  efektivitas penilaian GCG di BUMN yang selama ini dilakukan Kementerian BUMN.  

Praktik korupsi atau suap-menyuap yang  masih terjadi di BUMN bukan hanya merugikan BUMN tersebut tetapi juga merugikan negara. Semestinya para pengelola BUMN menyadari kewajibanya untuk mengimplementasikan nilai-nilai GCG di lingkungan kerjanya. Direksi BUMN sekaligus menjadi contoh dalam praktik pencegahan korupsi di Tanah Air. Apalagi peraturan tentang  GCG di BUMN sudah ada sejak 2002. Ketika itu  Menteri BUMN Laksmana Sukardi sudah meneken Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) No.117/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN. Bahkan terhitung 1 Agustus 2002 seluruh BUMN wajib menerapkan prinsip GCG. Dalam perjalanan, Peraturan Menteri BUMN  No.117/2002 tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri BUMN Per-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang pada BUMN.

Praktek GCG di BUMN juga dinilai mengacu pada Keputusan Menteri BUMN SK-16/S.MBU/2012  tentang  Indikator/Parameter Penilaian Dan Evaluasi Atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada BUMN. Aturan tersebut berlaku sejak Juni 2012. Namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Kasus-kasus fraud dan korupsi di BUMN masih terjadi. Ada dugaan meski sulit dibuktikan, BUMN masih menjadi “sapi  perahan” oleh sejumlah kelompok  tertentu. Salah satu indikatornya adalah pemilihan direksi dan komisaris pada masa lalu yang sarat kepentingan dan cenderung ada nuansa politis.

Kini di era Menteri BUMN Erick Thohir, penyalahgunaan aset dan keuangan BUMN berusaha ditekan dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menteri BUMN Erick pun bertemu  Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Kementerian BUMN. Keduanya membahas pencegahan korupsi di lingkungan BUMN. “BUMN meminta kami terlibat, kami bicara bagaimana menyelamatkan, bagaimana juga memberikan andil untuk mencegah tidak terjadinya korupsi,” kata Firli.

Pertemuan Menteri BUMN dan Ketua KPK tersebut menandakan babak baru pencegahan dan penanganan korupsi di BUMN. Termasuk pencegahan antisuap yang disinyalir masih terjadi di BUMN. Sudah menjadi rahasia umum, ada pihak-pihak yang mencoba “bermain-main” terkait proyek BUMN. Masih ada pihak yang menggoda BUMN. 

Firli pun mengapresiasi Erick Thohir lantaran sudah berupaya mencegah terjadinya korupsi di BUMN. Termasuk dengan mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka pencegahan korupsi. Salah satunya adalah peraturan yang memerintahkan seluruh pejabat struktural mencegah terjadinya korupsi, serta membentuk manajemen antisuap.  “Ada sembilan peraturan yang memerintahkan seluruh pejabat struktural melakukan upaya pencegahan korupsi,” ujar Firli. 

Kemunculan berbagai kasus korupsi yang justru melibatkan direksi BUMN merupakan sudah dianggap permasalahan serius. Untuk itu, KPK terbuka memberikan bantuan pencegahan korupsi di BUMN sepanjang ada komitmen yang kuat atau tidak hanya normatif dari unsur pimpinan instansi terkait. 

Setidaknya sinyal KPK agar pengelola BUMN menjalankan perusahaan secara governance sudah dilontarkan jauh-jauh hari. Maksud peringatan tersebut  agar tidak ada lagi petinggi BUMN yang ‘nekat” melakukan tindak korupsi  karena dipastikan KPK akan menindaknya. Diketahui, sejumlah pejabat BUMN sudah dicokok KPK. Sebut saja Direktur Utama (Dirut) PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI) Darman Mappangara. Ia menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait proyek Baggage Handling System (BHS) di PT Angkasa Pura Propertindo, anak usaha PT Angkasa Pura II (PT AP II). 

Ia Bersama stafnya Taswin Nur diduga menyuap Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Y. Agussalam. Tujuannya agar Andra ‘mengawal’ agar proyek BHS dikerjakan oleh PT INTI. Atau kasus penyuapan PLN kepada komisi VI DPR RI yang menyeret Dirut PT PLN Sofyan Basir. Meski akhirnya Sofyan dinyatakan bebas lantaran tidak ada bukti kuat bahwa ia terlibat.

Optimalkan Peran Komisaris

Selain bersinergi dengan KPK, Kementerian BUMN juga mengoptimalkan peran komisaris dalam memperkuat GCG sekaligus memperbaiki kinerja keuangan BUMN. Menteri BUMN Erick Thohir mengundang mantan Wakil Ketua KPK Candra Hamzah. Pertemuan tersebut membahas pencegahan dan  penanganan korupsi di BUMN.  Pertemuan  tersebut berlanjut dengan dipilihnya Candra sebagai Komisaris  Utama Bank Tabungan Negara (BTN), (11/2019). Ketika itu BTN tengah mengalami masalah hukum. “Kalau Pak Chandra background-nya hukum. Kita tahu di BTN sekarang ada isu yang kurang baik, tentu harus dilihat secara hukum,”  jelas  Erick ketika itu.

Menurutnya, permasalahan di BTN harus diselesaikan karena perusahaan ini menjadi ujung tombak pembiayaan perumahan rakyat nasional.  Dengan penunjukan Candra yang berlatar belakang hukum dan punya pengalaman sebagai mantan Wakil Ketua KPK, tersirat kuatnya keinginan Menteri BUMN menjaga aset BUMN, termasuk  BTN. Erick tidak ingin BTN kalah dalam persoalan hukum. 

Selain itu, Erick juga menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (25/11/2019). Tugas utama Ahok, salah satunya adalah mengurangi impor minyak dan gas (migas). Sosok Ahok merupakan pendobrak yang diperlukan Erick untuk memenuhi target pembangunan kilang minyak. Ini merupakan tugas berat sehingga membutuhkan teamwork yang bagus, bukan hanya direktur utama saja. “Ini bagian terpenting Pertamina, bagaimana mengurangi impor migas harus tercapai, ya bukan berarti antiimpor, tapi mengurangi,” kata Erick.

Pengangkatan Basuki sebagai Komut Pertamina ditanggapi mantan Menteri BUMN periode 211-2014, Dahlan Iskan. Menurut Dahlan, dalam disway.id,  Ahok mampu menjadi Komisaris Utama Pertamina karena pekerjaannya hanya mengawasi. Pekerjaan Komut tidak seberat dirut. Pekerjaan komut adalah mengawasi direksi, bukan menjalankan. Yang menjalankan perusahaan adalah direksi. Tetapi ia tidak yakin apakah Ahok menjalankan tugasnya dengan tenang tanpa kehebohan.

Dahlan menambahkan, hubungan komisaris dan direksi harus harmonis agar  perusahaan cepat mengambil putusan. Bila sumber ketidakharmonisan itu ada pada direksi, komisaris berhak memberhentikan direksi. Tapi kalau sumbernya komisaris lebih sulit sebab tidak ada wewenang direksi untuk memberhentikan komisaris. “Perusahaan bukan arena politik. Yang popularitas bisa dilewatkan pertengkaran. Di perusahaan tidak boleh tidak harmonis,” tukas Dahlan.

Meski komisaris sebagai pengawas oeprasional direksi merupakan bagian penting dalam memperkuat  governance BUMN, namun harus didukung dari sisi lain. Jika hanya mengandalkan kontrol internal saja tidak selalu cukup untuk menahan tingkat penipuan yang tinggi. Penguatan layanan whistleblowing system  (WBS) menjadi salah satu jalan keluar. Pada beberapa tempat perangkat WBS yang kuat  mampu mencegah penipuan dan fraud. Layanan WBS merupakan dinilai efektif medeteksi secara  dini terkait penipuan, penggelapan, pelecehan, pencurian, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Artikel Terkait

Back to top button