Bubble Start Up Vs Real Start Up Innovator
Jakarta, Bumntrack.co.id – Pada tanggal 5 Nopember 2019, Masayoshi Son, CEO mega investor start up SoftBank dari Jepang mengatakan bahwa kejatuhan bisnisnya akibat investasinya billions USD di WeWork, suatu perusahaan start up COWORKING SPACE, adalah ibarat menciptakan MONSTER. Ya, Masayoshi dengan lantang kepada Financial Times mengatakan bahwa: “WE CREATE A MONSTER”.
Monster yang dimaksud oleh Mayoshi Son mungkin dikarenakan investasi dalam skema “BAKAR DUIT” yang sangat berlebihan dengan tujuan meningkatkan valuasi perusahaan, ujung-ujungnya mengakibatkan bubble performance. Bakar duit dengan tujuan valuasi (menjadikan nilai saham naik) bisa diibaratkan batu permata ruby yang diubah tampilannya agar lebih baik dengan perlakuan panas (heat treatment) hingga pengisian glass (glass filled), dimana bila berlebihan dosisnya akan membuat batu mengalami crack dan malah kusam.
Permasalahan bakar duit pada start up sejak beberapa tahun yang lalu diindikasikan sebagai sarana cuci uang, sehingga pada bulan Agustus 2018 kepolisian Taiwan melakukan kerjasama dengan Polri untuk melacak uang-uang dari Taiwan yang dipakai untuk membiayai kegiatan start up.
Meskipun demikian, tidak semua perusahaan ventura start up di Indonesia memiliki indikasi sebagai pencuci uang. Cara paling mudah untuk mengindikasikannya adalah: pertama dari produk INOVASI yang dikembangkannya. Bila produk tersebut memiliki segmen/ceruk pasar yang jelas aplikasi inovatifnya, bisa dipastikan strat up ventura maupun start up yang didanainya itu adalah real start up innovator, bukan bubble start up.
Sebagai contoh: start up untuk meningkatkan kualitas pertanian berbasis teknologi (SMART FARMING) memiliki ceruk pasar yang spesifik dengan tujuan maupun key partner dalam bisnis modelnya yang sudah pasti dan jelas. Hal ini berbeda dengan start up dibidang coworking ataupun digital payment yang berdiri sendiri dan tidak tergabung dalam platform core bisnis.
Kedua dari sisi strategi memvaluasinya. Riil Start-Up meningkatkan valuasinya melalui event-event lomba pitch up di luar negeri. Analog dengan burung perkutut yang diikutkan lomba burung berkicau, maka start up yang menang lomba di luar negeri akan dilirik sahamnya investor yang lebih besar kemampuan pendanaan dan jaringannya.
Contohnya adalah AGRITECH MSMB yang dimiliki IDEALAB setelah menang ditingkat ASEAN dalam kompetisi IPIEC 2019 Global di Malaysia, nilai valuasinya diprediksi meningkat 5 kali lipat. AGRITECH adalah strart up pertanian berbasis teknologi 4.0 (SMART FARMING 4.0) yang menggabungkan BIG DATA CUACA, DRONE, ROBOTIK, IOT DEVICES, hingga bibit unggul secara terintegrasi untuk tujuan ketahanan pangan nasional.
Dengan kata lain, dunia bisnis sekarang sudah mulai kembali waras, dengan kembali pada kaidah-kaidah PROFIT sebagai KPI utama keberhasilan bisnis. Fortune 500, majalah bisnis terkemuka dan pemeringkat bisnis, juga mulai kembali waras. Bila dahulu Fortune 500 menggembar gemborkan REVENUE GROWTH sebagai pengganti kriteria PROFIT, dan kemudian mengubahnya menjadi MARKET KAPITALISASI GROWTH untuk mengakomodasi era disruptive, maka NOW mereka kembali dan sadar dari mimpinya untuk menggunakan kriteria PROFIT sebagai satu-satunya ukuran kinerja korporasi yang non bubble dan riil.
Memang inovasi tidak harus canggih, tetapi harus sesuai dengan MARKET NEED sebagaimana yang dimaksud Marketing Gurus Hermawan Kartajaya. Tentunya yang dimaksud market need adalah bukan sekedar yang TERSURAT, tetapi juga hal-hal yang TERSIRAT, yaitu kebutuhan yang mengarah ke WANT (keinginan) sebagai sesuatu peluang untuk dilakukannya inovasi. Dan start up yang waraslah yang mampu menterjemahkan inovasi market NEED/WANT tersebut menjadi produk yang benar-benar membumi, benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dalam membangun ketahanan ekonomi bangsa.
Negara-negara yang kuat start up nya ternyata juga tidak meninggalkan bisnis konvensionalnya, contohnya Korea dan Jepang, karena bagi mereka start up inovasi adalah domain portofolio yang melengkapi bisnis konvensional (offlinenya).
Korea contohnya, menggunakan start up riil berbasis teknologinya untuk memperkuat UKM nya. Berbeda mungkin dengan di Indonesia, dimana UKM nya diharapkan menuju IKM 4.0 ternyata tidak memiliki road map yang jelas bagaimana konektivitasnya dengan dukungan start up yang dibina oleh asosiasi start up ventura (AMVESINDO misalnya).
Sepertinya banyak yang perlu dibenahi dalam mensinkronkan antara POTENSI START UP yang riil dengan IMPLEMENTASI nya, baik didomain RISTEK, UMKM, hingga domain industrinya (IKM). Memahami inovasi start up adalah kunci bagi pemegang kebijakan kita untuk melangkah dengan cepat dan tepat.
Ditulis Oleh:
Dr.Ir.Arman Hakim Nasution, M.Eng
Akademisi ITS