Global Supply Chain dan Global Chain Reaction, Membangun Mindset Prediktif

E-Magazine Januari - Maret 2025

Jakarta, Bumntrack.co.id – Imbas perang dagang AS China yang memasuki satu tahun memaksa negara-negara lainnya, termasuk di ASEAN untuk memangkas pertumbuhan ekonominya. Singapura memangkas target pertumbuhan ekonominya dari 1,5% – 2.5% menjadi 0% – 1%, Thailand juga memangkas target dari 3,3% – 3,8% menjadi 2,7% – 3,2%. Angka – angka diatas menunjukkan bahwa target range pesimistis dan optimistis meskipun sama, tetapi rasionya semakin membesar antara optimis dengan pesimis.

Contohnya: Thailand diawal mentargetkan bahwa pertumbuhan pesimistisnya 3,3% dan optimisnya 3,8% (range=0,5%, rasio=1,15), sementara pemangkasan target rasio menjadi 1,8 (dengan range tetap 0,5%). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat keyakinan akan ketidak pastian terhadap capaian target pertumbuhan semakin tinggi. Bagaimana dengan Indonesia? Target pertumbuhan 2019 sebesar 5,3% hampir pasti sulit akan dicapai, dan diprediksi hanya akan mencapai 5,07%.

Dalam kelas manajemen strategi terbatas untuk eksekutif saya ditanya oleh salah satu direktur BUMN, kenapa hal itu bisa terjadi seperti wabah cacar?.Saya jawab pertanyaan itu bukan melalui teori ekonomi makro atau fiskal dan moneter yang menjadi keahlian Sri Mulyani ataupun Chatib Basri. Tetapi saya menyorotinya dari sisi Global Supply Chain dan Bisnis Ekosistem sebagai bagian dari keilmuan manajemen strategi.

Global Supply Chain (GSC) selama kurun 10 tahun ini sudah menjadi fenomena jamak di dunia bisnis. Perusahaan berfokus pada core competence masing-masing, sehingga hal-hal diluar core competence mereka akan di SUBKON kan ke pihak lain. Sebagai contoh: Boeing 787 Dreamline memiliki supplier antar benua antar negara, mulai dari perancis, inggris, jepang, korea, Canada dll.

Apa tujuan global supply chain ini? Selain berfokus pada core competence, dalam hal ini Boeing sebagai integrator bisnis, Boeing bertujuan agar produknya bisa dengan mudah masuk ke pasar negara-negara yang menjadi aliansi supliernya. Dengan kata lain, secara prinsip bisnis maka implementasi GSC ini dalam relasi G2G (Government to Government) adalah seakan akan masalah: “Aku dapat Apa dari Kamu, dan Kamu dapat Apa dari Aku” (selanjutnya disingkat ADA KUDA, smile).

Prinsip ADA KUDA inilah yang melandasi pola pikir TRUMP dalam melancarkan perang dagang dengan China. Dengan alasan deficit perdagangan import eksport, maka Trump mengenakan restriksi tariff, yang secara perjanjian WTO melanggar apa yang diinisiasi oleh AS sendiri.

Kembali ke GSC, ternyata GSC yang membentuk Bisnis Ekosistem (BE) ini membuat nyaman pemain-pemain yang ada didalamnya. Di level korporasi, perusahaan-perusahaan tersebut cukup puas dengan kontinuitas cash inflow mereka sebagai bagian dari pemasok BE Global tersebut. Di level negara, pemerintah cukup puas saat APBN dan PDB nya sehat-sehat saja.

Apa akibatnya? Ibarat lagunya Oma Irama, semua ini membuat mereka terlena, terlena akibat berada pada zona nyaman. Di level korporasi, mereka cukup nyaman dan akibatnya enggan ber INOVASI, sehingga dari tahun ke tahun mereka hanya sekedar menerima pesanan dari rekayasa desain dan inovasi penggerak utama BE Global tersebut (contohnya Boeing dalam kasus diatas sebagai integrator). Di level negara, mereka cukup puas dengan pendapatan pajak eksport agregat korporasi tersebut, sehingga pasar eksport mulai berubah, barulah kegiatan inovasi digalakkan.

Apa contohnya? Di level korporasi misalnya bahwa SAMSUNG baru pusing setelah Jepang mem BANNING produk chemical utama yang menjadi bahan dasar pembuatan layar smartphone nya, HUAWEI baru pusing saat intel prosesor dan android sistemnya dilarang TRUMP untuk dipakai produk China, padahal 30% kebutuhan prosesor mereka dari intel.

Di level negara, kita baru serius mengeluarkan regulasi mandatory BIODIESEL saat parlemen EROPA membatasi import biodiesel dan sawit kita, regulasi-regulasi baru dipangkas super habis saat ada peluang dari perang dagang AS China yang diambil manfaatnya lebih dulu oleh Vietnam karena mereka lebih siap.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil? Perubahan GSC ternyata menimbulkan CHAIN REACTION global yang bila tidak diprediksi sebelumnya akan mengakibatkan masalah serius dalam bisnis.Sebagaimana prinsip bisnis bahwa pertumbuhan bisnis adalah PREDIKTIF, maka dalam mengelolah ekonomi, baik di level korporasi dan negara, kita harus selalu menanamkan prinsip prediksi kedepan.

Prediksi yang dimaksud adalah 5 (lima) tahun keatas, yang selalu di UPDATE perubahannya, bukan sekedar prediksi ECONOMIC OUTLOOK setahun kedepan. Di negara Inggris, kita bisa temukan dalam jurnal internasional matematik analitik bahwa perusahaan telekomunikasi mereka sudah memprediksi bagaimana trend persaingan dan gerak pesaingnya untuk 5 hingga 10 tahun kedepan. Kalau korporasinya saja sudah punya mindset PREDIKTIF, bayangkan apa yang dilakukan oleh negaranya pasti lebih prediktif dan visioner.

Semoga Indonesia akan juga menuju kesana. Kita butuh pemimpin-pemimpin yang visioner pada semua level, baik di level pemerintahan pusat hingga kepala daerah dan jajaran SKPD nya. Hanya mereka yang inovatif, yang paham dinamika ekonomi global secara sistem thinking, dan yang inovatif dalam mengelola penyelesaian masalah yang layak menjadi pemimpin di negeri ini. Itulah syarat kalau Indonesia ingin sejajar dengan negara-negara maju di Dunia.

Ditulis oleh: Dr.Ir.Arman Hakim Nasution, M.Eng

Dosen senior di Departemen Manajemen Bisnis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.