Ini Alasan Dirjen Migas PNBP Migas Masih di Bawah Target

Jakarta, BUMN TRACK – Menuju transisi energi bersih, Kementerian ESDM diharapkan terus memberikan kontribusi terhadap industri migas ke depan. Salah satunya, peningkatan penerimaan negara dalam bentuk pajak, pemanfaatan gas semaksimal mungkin hingga transisi ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Pada awalnya, milestone pemerintah masih ingin menggunakan fosil, kemudian beralih untuk memaksimalkan gas sebaik mungkin. Karena banyak penemunan baru K3S, itu semua tidak bisa diabaikan begitu saja. Memang mainstream sekarang adalah energi baru terbarukan. Namun kondisi itu tidak mudah dilakukan meskipun ada tekanan internasional,” kata Direktoral Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan ESDM (FWESDM) di Jakarta, Rabu (25/10/23).
Pemerintah pun kemudian mencari jalan keluar yaitu dengan memanfaatkan energi fosil yang ada sekaligus menggunakan EBT. Penggunaan energi fosil pun tidak bisa diprediksi nilainya karena terus berfluktuasi setiap saat.
Menurutnya, Indonesian Crude Price (ICP) pada masa awal covid adalah masa sulit diprediksi. Ada anomali di bulai Mei, Juni dan seterusnya ketika nilai tukar mata uang lebih cepat naik dibanding ICP. Hal tersebut dipengaruhi faktor geopolitik yang terjadi di timur tengah.
“Jadi tidak mudah mencari korelasi ICP dan kurs dolar,” jelasnya.
Lalu apa hubungannya geopolitik dengan ICP? Menurutnya, kejadian perang di Rusia dan Israel akan berpengaruh pada sistem logistik minyak mentah dunia dan asuransi.
“Kita akan sulit memprediksi apa yang terjadi ICP di kemudian hari. Saya melihat eskalasi di timur tengah makin tinggi. Jika China AS dan Iran terlibat jauh, maka bisa lebih komplek,” tambahnya.
Saat ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas baru mencapai Rp87,88 triliun atau masih jauh di bawah target PNBP sekitar Rp136 triliun.
“PNBP belum tercapai karena pertama, produksi minyak kita belum bisa naik dari tren penurunan yang terus terjadi secara alami. Kedua, gas yang diproduksi terutama di Jawa Timur belum tersalurkan karena off taker belum siap. Kita belum punya infrastruktur yang menghubungkan Jawa Timur ke Jawa Barat,” jelasnya.
Menurutnya, gas itu bisa diproduksi tinggi namun offtaker belum bisa menyerap secara maksimal.
Untuk diketahui, pada tahun 2023 investasi migas mencapai USD15,56 bilion. Investasi produksi hulu paling besar, kemudian diikuti sektor hilir di pengolahan.