Kebijakan Bea Masuk Anti Dumping Akan Meningkatkan Kinerja Industri Baja Nasional

E-Magazine Januari - Maret 2025

Jakarta, Bumntrack.co.id – Meskipun ekspor baja nasional menunjukan kinerja yang baik di semester 1 tahun 2021 yaitu tercatat tumbuh 93,3 persen dibandingkan dengan tahun 2020, namun impor baja di semester 1 tahun 2021 mencapai USD5,36 miliar atau meningkat 51,18 persen. Impor Baja tersebut menempati posisi kedua komoditi impor dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar USD3,55 miliar.

Sementara itu, pada semester II 2020 tercatat volume impor baja Indonesia adalah sebesar 5,5 juta ton dan meningkat 1,1 juta ton menjadi sebesar 6,6 juta ton pada semester I 2021. Secara global, sebagaimana dilaporkan Worldsteel Association, produksi baja dari 64 negara produsen baja terbesar pada semester I 2021 meningkat secara signifkan sebesar 14% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 menjadi 1,0 miliar ton.

“Kenaikan volume impor besi dan baja dikhawatirkan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2021 sehingga Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah yang cepat sebagai upaya antisipasi atas kemungkinan dampak negatifnya terhadap industri nasional dan dengan dukungan kebijakan Pemerintah akan mendorong pertumbuhan dan kinerja industri baja nasional semakin baik,” kata Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (12/8).

Menurutnya, pemerintah negara lain baik di regional maupun global sangat aktif menerapkan kebijakan trade remedies untuk melindungi pasar dalam negerinya. Seperti misalnya Thailand telah mengumumkan putusan final anti dumping definitif untuk impor Baja Lapis Alumunium Seng (BjLAS) yang berasal dari Tiongkok dan Korea Selatan untuk jangka waktu 5 tahun. Pemerintah Malaysia juga telah memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor baja tahan karat canai dingin dalam bentuk kumparan, lembaran atau bentuk lainnya yang berasal atau diekspor dari Indonesia dan Vietnam. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam telah mengeluarkan Resolusi No. 1283/QD-BCT pada bulan April 2021 yang merilis kesimpulan dari tinjauan akhir anti dumping untuk impor lembaran baja berlapis warna yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Selatan serta juga telah memberlakukan tarif anti dumping sementara sebesar 10,2 persen terhadap produk baja profil H yang diimpor dari Malaysia pada awal April 2021.

Selain itu, Komite Tetap Dewan Kerjasama Teluk (The Gulf Cooperation Council’s Permanent Committee) telah merekomendasikan pengenaan bea pengamanan (safeguard) definitif selama tiga tahun pada berbagai produk baja. Amerika Serikat yang telah menerapkan ketentuan pajak impor baja sebesar 25% juga masih melindungi industri baja dalam negeri melalui kebijakan anti dumping untuk produk kawat baja gulungan beton pratekan dari berbagai negara.
“Pengenaan BMAD dapat menjadi upaya perlindungan pasar baja dalam negeri yang efektif sebagaimana negara lain secara aktif menerapkannya”, tambah Silmy.

Saat ini, upaya pengendalian impor telah diatur dalam kebijakan tata niaga impor (Persetujuan Impor/PI), namun kebijakan tersebut masih belum cukup karena hanya berfungsi untuk mengendalikan impor baja dari sisi volume saja dan tidak bisa merubah/mempengaruhi struktur harga baja impor yang masuk secara dumping. Maka dari itu, implementasi kebijakan yang berpihak kepada industri baja nasional sangatlah diperlukan, saat ini berbagai instrumen perlindungan dari perdagangan tidak adil yang diajukan produsen baja nasional belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.

“Permohonan perpanjangan dan penerapan BMAD untuk produk Cold Rolled Coil/Sheet, Hot Rolled Coil, Wire Rod, Cold Rolled Coil Stainless Steel, BJLAS dan perpanjangan safeguard untuk I & H Section hingga saat ini belum mendapatkan persetujuan,” ujar Silmy.

Berdasarkan data dari World Trade Organization (WTO,2020), Indonesia belum banyak menggunakan instrumen trade remedies untuk melindungi industri dalam negeri. Khusus untuk produk besi dan baja, Indonesia baru mengenakan trade remedies sebanyak 43 kasus, dan masih sangat jauh bila dibandingkan dengan AS (353), Uni Eropa (149), Kanada (146), Australia (80), India (69) dan bahkan Thailand (52).

Terkait perlunya kebijakan anti dumping ini Silmy menambahkan bahwa kebijakan trade remedies selain memberikan perlindungan terhadap industri baja nasional juga sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional secara keseluruhan sesuai kajian LPEM Universitas Indonesia terbaru yang menyebutkan pengenaan tarif BMAD dan safeguard atas impor produk-produk baja dapat meningkatkan PDB nasional sampai 0,15% atau setara dengan Rp 2,3 triliun dan memperbaiki neraca perdagangan nasional hingga Rp 5,6 triliun.

“Instrumen anti dumping ini bukan merupakan kebijakan perlindungan khusus terhadap suatu industri, melainkan respon Pemerintah atas kerugian atau injury yang dialami industri akibat adanya perdagangan curang (unfair trade). Perhatian dan dukungan penuh dari Pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal kebijakan impor karena jika industri dalam negeri tidak dilindungi dari barang impor yang dilakukan secara curang, maka hal tersebut dapat berpengaruh terhadap industri, iklim investasi dan perekonomian nasional,” tutup Silmy.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.