BERITA

Krakatau Steel Pecahkan Rekor Produksi CRC

Produk Blast Furnace yang berupa hot metal (baja cair panas) telah mengalir dan mampu menurunkan konsumsi listrik dan elektroda
Produk Blast Furnace yang berupa hot metal (baja cair panas) telah mengalir dan mampu menurunkan konsumsi listrik dan elektroda

Jakarta, Bumntrack.co.id – Setelah berhasil mencatatkan rekor produksi pabrik Hot Strip Mill (HSM), PT KS kembali menorehkan prestasi gemilang dengan melampaui rekor produksi bulanan baja Cold Rolled Coil (CRC) sebesar 70.911 ton dari rekor sebelumnya 70.000 ton pada 2009.

“Prestasi ini menjadi sebuah kabar gembira di penghujung tahun 2019. Saya bersyukur atas pencapaian ini. Saya mengapresiasi usaha keras teman-teman di lini produksi dan koordinasi yang baik antar lintas fungsi. Rekor ini melengkapi rekor produksi HRC sebelumnya yang telah berhasil dicapai,” kata Direktur Utama PT KS, Silmy Karim di Jakarta, Rabu (4/12).

Selain itu, capaian rekor produksi ini membuktikan keterujian untuk kehandalan alat produksi dan penerapan operation excellent yang baik. Dengan produksi ini PT KS dapat menjaga ketersediaan produk CRC di pasaran.

“Kami terus berbenah dan melakukan perbaikan. Krakatau Steel secara perlahan mulai membangun kembali sinergitas tim antar lintas fungsi dan lebih fokus kepada pelayanan konsumen. Kami meyakini dan akan menjalani hal ini dengan konsisten. Harapannya kinerja Krakatau Steel akan semakin baik dan sehat lagi”, imbuh Silmy.

Namun, di sisi lain Silmy juga berharap capaian ini juga dapat diikuti oleh pasar baja yang mendukung industri baja nasional. Saat ini rata-rata utilisasi produksi baja domestik hanya mencapai 43% akibat dari masifnya impor baja.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI di tahun 2019, neraca perdagangan Indonesia hingga bulan Oktober 2019 defisit sebesar 1,7 Miliar USD dan sampai Agustus 2019 impor baja masih menempati posisi tiga besar komoditas impor yang masuk ke Indonesia, dengan nilai impor mencapai 6,7 Miliar USD meningkat sekitar 6% jika diperbandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018.

Membanjirnya impor baja ke pasar domestik tersebut didukung beberapa faktor di dalam negeri yaitu diantaranya dengan cara unfair trade seperti dumping dan praktek pengalihan pos tariff (HS code) baja karbon menjadi paduan (circumvention) yang terus terjadi.

“Saat ini importasi produk baja tidak hanya menyerang industri baja hulu saja, tetapi juga industri baja hilir/produk barang jadi dengan kualitas yang rendah dan tidak standar. Hal ini telah menyebabkan tergerusnya pangsa pasar produsen baja nasional, sehingga dibutuhkan upaya perlindungan industri yang diterapkan secara merata dari hulu hingga hilir”, ujar Silmy.

Bentuk perlindungan Pemerintah terhadap industri dalam negeri adalah dengan menerapkan bea masuk trade remedies. Penerapan bea masuk trade remedies seperti Anti Dumping, Anti Subsidi, maupun Safeguard perlu diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dari produk hulu hingga produk hilir. Bea Masuk Anti Dumping diantaranya terhadap produk CRC yang saat ini sedang berproses diharapkan dapat segera diimplementasikan.

Perlindungan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia secara tarif sangat penting peranannya terhadap keberlangsungan industri nasional sebagai upaya untuk mendukung dan melindungi produsen domestik dengan mengendalikan masuknya produk asing ke pasar domestik dan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.

“Kecenderungan setiap negara sekarang adalah proteksionisme. Mereka berupaya memproteksi industri dalam negerinya, bukan malah membuka bebas akses importasi”, imbuh Silmy.

Diketahui bahwa Amerika Serikat mulai mengenakan tarif impor untuk produk baja sebesar 25% dan alumunium sebesar 10% dan merupakan negara teraktif dalam menerapkan Trade Remedies.
Sementara itu negara – negara lain seperti Uni Eropa dan Turki telah melakukan upaya pengamanan pasar domestiknya dengan melakukan Safeguard terhadap impor baja. Hal ini diikuti oleh India dan Vietnam yang sudah menerapkan beragam level perlindungan dari baja impor. Negara-negara tersebut menggunakan anti dumping, tarif, kuota, pungutan tambahan (countervailing dune) hingga harga minimum baja impor. Indonesia hanya menerapkan anti dumping dari kegiatan-kegiatan tersebut.

Selain itu Silmy menambahkan bahwa transparansi data yang memuat jumlah, kebutuhan, dan para pelaku dalam kegiatan impor baja diperlukan. Hal ini bertujuan agar bersama-sama dapat dipantau pelaksanaannya.

“Pengawasan kegiatan impor baja penting untuk dilakukan. Dengan adanya tranparansi, maka akan dicapai keseuaian antara pasokan impor dan kebutuhannya, tanpa menganggu utilisasi dan pasar baja domestik,” tutup Silmy.

Artikel Terkait

Back to top button