
Oleh: Dr. apt. I Gusti Ayu Rai Widowati, M.Kes.
(Apoteker, Dosen Farmasi Klinik di Universitas Bali Internasional, Mahasiswi Magister Hukum Kesehatan di Universitas Hang Tuah Surabaya, Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia Daerah Bali dan aktif membina komunitas di bidang kesehatan masyarakat)
Pandemi Covid-19 mengubah segala tatanan kehidupan masyarakat dunia. Kebijakan kesehatan dibuat untuk menangani persebaran virus yang semakin luas. Hal ini tentu saja mempengaruhi proses pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kefarmasian yang terkendala pada terbatasnya interaksi kepada pasien. Proses pelayanan kefarmasian mau tidak mau harus tetap terlaksana demi meningkatkan kualitas hidup pasien sekaligus mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19. Oleh karena itu, layanan telefarmasi menjadi alternatif. Layanan telefarmasi yang sudah dikembangkan meliputi pemilihan obat, order review, dispensing, konseling dan monitoring pasien serta penyediaan layanan klinis.
Layanan telefarmasi bukan sesuatu yang baru di dunia kefarmasian di Indonesia. Layanan ini dipilih karena dapat meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta menata pelayanan kefarmasian di apotek dengan memanfaatkan sistem elektronik.
PT Kimia Farma (Persero) Tbk., merupakan satu dari perusahaan farmasi pelat merah yang adaptif dan agile terhadap perubahan. Sejalan dengan berkembangnya layanan telefarmasi di Indonesia, Kimia Farma terus menggiatkan transformasi digital untuk akselarasi kinerja usaha dan layanan pelanggan, di mana hal ini juga dilakukan demi mengantisipasi tuntutan dan tren gaya hidup masyarakat urban yang kian dinamis.
Kimia Farma menjawab dengan transformasi digital melalui aplikasi digital-Kimia Farma Mobile sebagai bagian dari Super Apps yang dibangun PT Kimia Farma untuk memudahkan berbagai layanan healthcare yang lengkap melalui satu platform. Lewat aplikasi ini, masyarakat bisa mudah dan cepat mendapatkan layanan dari perusahaan, seperti pembelian obat secara online , konsultasi dan informasi lain dari perangkat digital ataupun smartphone.
Penyelenggaraan layanan telefarmasi yang kini mulai bermunculan dinilai memiliki banyak keuntungan seperti efisiensi tenaga dan waktu, pelayanan cepat, praktis, serta melindungi privasi pasien. Namun, beberapa kendala yang dihadapi antara lain ada sediaan kefarmasian yang berisiko jika dijual untuk umum dapat dibeli dengan mudah, konseling obat yang seharusnya dilakukan oleh apoteker tidak dapat dijalankan dengan baik, tidak dapat diketahui resep yang digunakan asli atau tidak, kestabilan sediaan obat terganggu, dan terbatas akses pengiriman ke daerah pedesaan.
Telefarmasi oleh Apoteker
Praktik kefarmasian merupakan keahlian dan kewenangan praktik yang dilakukan oleh apoteker. Apoteker adalah individu yang melakukan praktik kefamasian berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, serta syarat dan kode etik kefarmasian. Selain itu, apoteker sebagai pelaksana utama dalam praktik kefarmasian, sehingga apoteker terkait erat dengan hak dan kewajiban. Tanggung jawab apoteker berorientasi pada obat dan pasien, hal ini didasarkan pada paradigma pharmaceutical care.
Salah satu fasilitas kesehatan yang dapat langsung diakses oleh masyarakat adalah apotek. Masyarakat dapat datang langsung ke apotek tanpa melalui prosedur pendaftaran seperti jika mengunjungi fasilitas kesehatan lainnya seperti klinik, puskemas atau rumah sakit. Apotek yang sudah mendapatkan sertifikasi tanda daftar Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) dari Kementerian Kesehatan dapat menyeleggarakan layanan secara online melalui media whatsapp, Instagram, maupun platform digital yang diakui oleh Kementerian Kesehatan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara PSEF ini. Diantaranya memiliki surat tanda Penyedia Sistem Elektronik (PSE) dari Kementerian Informatika (Kominfo), memiliki akses pengawasan pemerintah dan memiliki izin dari Kementerian Kesehatan. Hadirnya PSEF ini diharapkan menjadi pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kefarmasian yang bermutu melalui pemanfaatan teknologi khususnya di masa pandemi di mana masyarakat membutuhkan akses yang lebih mudah terhadap obat-obat yang dibutuhkan. Seluruh penyelenggaraan telefarmasi ini berada di bawah tanggung jawab apoteker.
Telefarmasi dan BPJS Kesehatan
Apotek kerja sama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah apotek online BPJS Kesehatan yang memungkinkan peserta untuk mengambil obat di apotek mana saja yang bekerja sama dengan pihak BPJS Kesehatan. Apotek online BPJS adalah aplikasi online yang memudahkan apoteker, fasilitas kesehatan, dan peserta BPJS Kesehatan dalam mengakses obat. Aplikasi ini terintegrasi dengan apotek-apotek rujukan BPJS. Berkat adanya aplikasi apotek online ini, semua pihak mendapatkan kemudahan, baik peserta BPJS, apoteker, fasilitas kesehatan, maupun peserta BPJS. Contoh: Dokter-dokter BPJS dapat menggunakan aplikasi Mobile JKN untuk mengeluarkan resep. Demikian juga dengan dokter yang bekerja di rumah sakit yang sudah menggunakan telemedicine. Terdapat platforme-health yang bekerja sama dengan jasa kurir sehingga obat-obat dapat diantar ke rumah pasien.
Mekanisme peresepan berbeda-beda. Beberapa dokter mengirimkan resep melalui WhatsApp ke apotek tertentu dan pasien mengambil obat di apotek tersebut. Sementara dokter lain mengirim resep obat melalui WhatsApp ke pasien, dan pasien menunjukkan isi WhatsApp kepada petugas apotek untuk menebus resep.
Pelayanan Obat Keras
Lantas, apakah penggunaan obat keras juga bisa dilayani dengan telefarmasi? Jawabannya adalah bisa. Namun demikian, menurut peraturan terdapat obat-obatan yang tidak dapat dilayani dengan telefarmasi yaitu golongan psikotropika, narkotika, prekursor farmasi, dan obat-obatan yang memerlukan bantuan tenaga kesehatan dalam penggunaannya. Pelayanan resep elektronik dilaksanakan oleh apoteker dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokter yang menuliskan resep elektronik obat dan/atau alat kesehatan harus bertanggung jawab terhadap isi dan dampak yang mungkin timbul dari obat yang ditulis dalam resep elektronik. Penulisan resep elektronik dikecualikan untuk obat golongan narkotika dan psikotropika. Salinan resep elektronik harus disimpan dalam bentuk cetak dan/atau elektronik sebagai bagian dokumen rekam medik.
Peran Pemerintah dan Organisasi Profesi
Pemanfaatan layanan telefarmasi di Indonesia hingga saat ini belum dilandaskan regulasi yang cukup kuat. Regulasi layanan telefarmasi tertuang pada Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 yang menyebutkan “Kegiatan layanan jarak jauh diperbolehkan untuk pengantaran resep dan sediaan farmasi secara elektronik dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian di Indonesia.” Untuk mendukung pelaksanaan layanan telefarmasi di Indonesia, beberapa parameter penting harus disiapkan untuk mendukung implementasi layanan telefarmasi, diantaranya adalah prosedur, akuntabilitas, dan jaminan keamanan data.
Pemerintah memiliki andil besar dalam pembentukan kebijakan dan peraturan hukum yang melindungi hak profesi apoteker di Indonesia tentang layanan telefarmasi. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai suatu organisasi wajib memberikan perlindungan kepada para anggotanya dan memberi jaminan ketenangan bagi anggotanya. Organisasi IAI juga perlu melakukan upaya dalam menjalankan fungsi advokasi dengan memberikan perlindungan kepada para anggotanya.
Organisasi IAI merupakan satu-satunya wadah yang dapat memberikan perlindungan terhadap anggotanya, yaitu ketika apoteker melakukan praktik layanan telefarmasi. Selain itu, apoteker juga harus dilindungi secara hukum sebagaimana yang termuat dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tenaga Kesehatan.
Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap apoteker dalam melakukan praktik layanan telefarmasi, maka terdapat beberapa langkah preventif yang dapat dilakukan oleh apoteker seperti sebagai berikut: berhati-hati dalam setiap tindakan, perkuat peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan profesi, perkuat sosialisasi mengenai telefarmasi, menjalin kerja sama kepada setiap elemen penegak hukum, serta perkuat pemahaman atas kode etik secara sungguh-sungguh.