
Jakarta, Bumntrack.co.id – Tahun 2020 kita masuki dengan harap-harap cemas akan dampak resesi. Meski demikian, kita semua pasti berharap agar resiko tersebut bisa diminimalisir, dan malah menjadikan peluang bagi Indonesia. Bermula dari keprihatinan Presiden Jokowi pada ratas yang membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia di 4 September 2019, Dimana dari 33 perusahaan China yang hengkang dari AS dan sekutunya akibat perang dagang, tidak satupun yang ke Indonesia. Yang ke Vietnam 23 perusahaan, sisanya 10 mampir ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Quick win (strategi kebijakan) kemudian menjadi istilah popular dalam program kementrian, Yang pada akhir tahun 2019 ini kemudian dirangkum menjadi usulan-usulan OMNIBUS LAW dari masing-masing kementrian, khususnya yang berhubungan dengan daya saing ekonomi dan investasi.
OMNIBUS LAW ini membutuhkan sinkronisasi kebijakan antar kementrian, sehingga dalam kabinet barunya, Presiden Jokowi memberikan wewenang MENKO untuk mem-VETO regulasi-regulasi menteri dibawahnya yang tidak selaras.
Spirit OMNIBUS LAW ini sebenarnya sudah dimulai dalam bentuk BUS-BUS yang tidak bersifat OMNI (memuat banyak jenis barang), tapi BUS yang sifatnya parsial-parsial.
Misal dalam bidang mendukung inovasi dan investasinya, dikeluarkan PP Nomor 45/2019 tentang Super Deductible Tax dibidang R&D dan pendidikan vokasi pada industri manufaktur yang dikeluarkan pada 26 Juni 2019 yang diperjuangkan menperin (saat itu) Airlangga Hartarto.
OMNIBUS LAW ini bagi investor (UKM misalnya) diharapkan menarik dan menumbuhkan spirit berwirausaha generasi muda, karena filosofinya tidak berbasis izin. Tetapi sudut pandang kebijakannya berbasis resiko berbisnis.Sehingga untuk UKM misalnya tidak perlu ijin rumit (cukup punya KTP dan NIK), tapi bisa langsung berusaha. Bila butuh legalitas PT, maka disiapkan PT (Perseroan Terbatas) perorangan untuk mengatasi kendala aturan batas minimal modal disetor 50 juta.
Bagi BUMN yang menjadi pilar kedua sumber APBN dan agen pembangunan, OMNIBUS LAW ini menjadi sarana efektif untuk memperbaiki regulasi dan daya saing dibidang keuangan/perbankan, pangan, merevitalisasi manufaktur dalam negeri, hingga sektor migas.
Misalnya: PP dan Permen yang banyak disebut untuk disnkronkan adalah keterkaitan dan perlunya penyelarasan antara PP 24/2018 (pelayanan perizinan usaha terintegrasi secara elektronik) dengan Permendag 110/2018 dan 3 Permenkeu, yaitu Permenkeu 85/PMK.03/2012, Permenkeu 06/PMK.010/2017, Permenkeu 34/PMK.010/2017.
Dari sisi revitalisasi manufaktur, klaster manufaktur BUMN yang terdiri dari 6 (enam) perusahaan memberikan masukan untuk sinkronisasi terhadap 25 peraturan yang ada, mulai dari Peraturan Bank Indonesia, PP, Permen, hingga kendala PERTEK nya.
Bisa dibayangkan ini adalah pekerjaan besar yang tidak saja membutuhkan keahlian teknis dan engineering, tetapi juga pengalaman tentang masalah hukum dan turunan-turunannya dilapangan.
OMNIBUS LAW ini dalam opini saya akan meminimasi gerak para mafia yang dulunya mendasarkan perlindungan bisnisnya melalui peraturan. Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa lawan kita kedepan dalam menata kemandirian ekonomi selanjutnya adalah persaingan BISNIS MODEL,
Dari korporasi yang terintegrasi dengan pemerintahnya, seperti Korea Selatan dengan CHAEBOL nya dan Jepang dengan SOGO SHOSHA nya. Persaingan BISNIS MODEL ini adalah persaingan kecerdasan dan kecermatan membangun integrasi mereka dalam berbisnis di Indonesia. Sehingga untuk bersaing di penawaran harga, mereka tidak sekedar melibat keuntungan secara parsial di industrinya, tetapi sudut pandangnya adalah agregat total industri di Bisnis Ekosistem (BE) yang terlibat di dalamnya.
Apa contohnya???. Bagaimana mungkin ada suatu perusahaan dari luar negeri yang mampu membuat Vessel 200 TON untuk Refinery dengan harga penawaran hanya 60% dari perhitungan konsorsium produsen dalam negeri yang juga sudah berpengalaman di industri tersebut?
Dengan denda TKDN 10% sebagaimana regulasi yang ada, mereka masih bisa untung dan memberi penawaran termurah tanpa banyak melibatkan komponen/ahli dalam negeri. Inilah yang saya sebut bahwa OMNIBUS LAW disektor tertentu (manufaktur misalnya), sangat perlu melihat sisi BISNIS MODEL, plus INOVASI TEKNOLOGI tentunya.
Dan inilah esensi yang saya duga memang dimaksudkan oleh Meneg BUMN Erick Thohir yang backgroundnya pengusaha tulen. BISNIS MODEL ini akan menitik beratkan VP (Value Preposition) bisnis dan integrasinya dengan KEY PARTNERS yang terlibat:
Siapa industri keuangan pembiayaan yang terlibat? dan dari sindikasi perbankan mana saja?
Bagaimana SKENARIO skema pendapatannya ?
Apakah sedikit rugi didepan asal bisa jadi platform produk yang akan menangguk untung di service, maintenance, dan parts kemudian?.
Inilah pertarungan desain SMART OMNIBUS LAW sesungguhnya. Kita masih punya waktu untuk memikirkannya sebelum dirilis di tahun 2020 ini.
Ditulis Oleh:
Dr.Ir.ARMAN HAKIM NASUTION, M.Eng
Manajemen Bisnis ITS