New Normal: Do It Your Best or Nothing
Jakarta, Bumntrack.co.id – Saat pandemik Covid-19 memuncak di awal Pebruari 2020, presiden Ghana Akufo Addo, mengatakan tentang pentingnya alasan lockdown dengan mengatakan bahwa: Kalau ekonomi resesi, saya tahu bagaimana memulihkannya. Tapi saya tidak punya resep untuk bisa menghidupkan orang mati.
Ucapan itu memang terdengar heroik dan menyayangi rakyatnya, maklum diluncurkan oleh politisi yang memang naturenya adalah meraup simpati pemilih sebanyak-banyaknya. Beliau menjadi presiden sejak Januari 2017, dan akan running pilres lagi kedepannya.
Di AS, pandemic Covid-19 dan dampak ikutannya pada ekonomi juga menjadi jualan politik antara Joe Bidden (calon partai Demokrat) melawan Trump sebagai petahana. Strategi ekonomi akibat keterpurukan AS akibat perang dagang maupun Covid-19, menjadikan tag line ini populer : “bagaimana membuat strategi ekonomi sehingga menjadikan daya saing AS lebih baik”.
Padahal secara nalar, tidak akan ada peningkatan ekonomi selama pandemic Covid-19 belum berakhir, sebagaimana pendapat ekonom mantan menteri Chatib Basri. Karena pola pikir ekonom selalu meletakkan tingkat kesehatan bersama-sama dengan ekonomi dan pendidikan secara tak terpisahkan, sebagaimana bisa dicermati pada indikator HDI (Human Deveopment Indexes).
Dunia kemudian melihat bahwa keberlanjutan kehidupan tidak boleh kalah dengan virus ini, sehingga dipopulerkan istilah NEW NORMAL. Implementasi NEW NORMAL dimulai sejak awal Juli 2020, yang meskipun dengan instruksi penerapan protokol ketat, tetapi banyak kedodoran disana sini. Beberapa bukti antara lain dengan meninggalnya plt Bupati Sidoarjo pada 22/08/2020 akibat covid, dimana prosedur sholat jenazah dan pengantarannya juga tanpa protocol ketat. Kasus lain adalah meninggalnya adik tokoh pemuda di Surabaya setelah pesta ulang tahun di Batu Malang.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Era NEW NORMAL sebenarnya ujian kultur disiplin suatu bangsa, apakah mampu memitigasi resiko penyebaran pandemik COVID-19 tersebut dengan baik dan benar. Dunia bisnis yang sudah mulai menggeliat setelah tersungkur selama lebih 3 (tiga) bulan ternyata tidak semuanya taat protocol.
Sebagai contoh: saya beberapa kali ke Batu dan Jogja karena urusan pekerjaan. Disana ternyata tidak semua hotel menerapkan protocol NEW NORMAL. Hanya hotel jaringan internasional dan lokal terkemuka yang menggunakan protocol tes suhu, dan menyediakan cuci tangan plus hand sanitizer bagi yang akan masuk dan keluar. Padahal kedua hal ini adalah syarat minimal untuk protocol NEW NORMAL.
Demikian juga tidak semua pasar tradisional terkenal di daerah yang menggunakan protocol NEW NORMAL. Bandingkan antara pasar Oro-Oro Dowo Malang dengan pasar tradisional di Surabaya. Pasar oro-Oro Dowo Malang sangat bagus dalam mendesain pelindung di kios-kios penjual dan penyediaan tempat cuci tangan di beberapa titik, sementara pasar-pasar di Surabaya berlaku seakan-akan kondisi ‘as usual’.
Sangat menyedihkan memang, karena keinginan pemerintah pusat untuk melakukan NEW NORMAL tidak diimbangi dengan kesigapan aparat pemeintah di daerah. Alasannya mungkin bisa macam-macam, termasuk masalah anggaran dan ketidakcerdasan kepala daerah yang hanya berpikir politik citra. Yang justru aneh malah di ada kota yang secara tidak logis dalam menerapkan protocol NEW NORMAL, dimana penyemprotan desinfektan untuk mobil yang lalu lalang di jalan-jalan besar malah dianggarkan secara rutin. Tidak jarang akibat keanehan ini, banyak yang menduga bahwa pandemic COVID – 19 ini jadi media bisnis bagi sebagian pihak. Mereka menumpang kondisi pandemic ini ibarat pimpro proyek yang “nitip ngecor” untuk rumah pribadinya.
Lalu bagaimana kalau sudah kejadian seperti ini?….. opini saya NEW NORMAL harus jalan terus, dengan kontrol ketat dan pendisiplinan budaya. Amerika sebagai Negara maju ternyata juga setali tiga uang. Setelah lockdown di beberapa kota besar dicabut, mereka banyak lakukan pesta-pesta, sehingga korban pandemic makin bertambah.
Sebagaimana pola pikir HDI para ekonom, maka NEW NORMAL memang seharusnya jadi langkah gerak cepat Indonesia untuk menyalip di tikungan ibarat pembalap motor GP. Dalam situasi darurat, menyalip di tikungan adalah merupakan cara untuk menang dan punya posisi lebih baik dibandingkan pesaing.
Coba simak bagaimana cara China menyalip di tikungan dalam hal dealing with pandemik COVID-19. Begitu lockdown Wuhan akhir Desember 2019, China bersiap-siap membuat vaksin, sehingga kondisi lockdown ini memudahkan ilmuwan Dalam Negerinya untuk menyiapkan vaksin, dan ilmuwan luar negeri tidak bisa masuk untuk bereksperimen.
Hingga akhirnya Agustus ini beberapa pejabat tinggi Beijing sudah selesai menjalani uji coba vaksin, dan Desember 2020 diperkirakan sebagian penduduk China yang berjumlah 1,4 Milyar sudah divaksin. Sementara Indonesia baru memulainya pada Januari 2021 dengan memakai produk Sinovac-China, yang kemudian dikombinasi dengan produk vaksin Negara lain maupun dalam negeri.
Strategi yang diambil tim Pemulihan Ekonomi dan Kesehatan besutan Menko Airlangga dan Meneg BUMN Erick Thohir ini menjadikan Indonesia jauh lebih cepat 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan dibandingkan dengan Singapura, Thailand dan Malaysia. Padahal biasanya kita selalu ketinggalan oleh mereka.
Dalam hal pemulihan ekonomi, tim pembangunan infrastruktur yang dikomando mentri PU Basoeki tetap ‘on the track’, meski terhambat anggaran dalam negeri tapi tetap bisa diusahakan dari luar negeri.
Beberapa pertanyaan mungkin adalah: mengapa semua kegiatan pembangunan harus tetap terlaksana, dan bukan harus focus pada penanganan pandemic 100%?
Jawabannya bisa jadi begini: Penanganan pandemic yang bisa kita control (UNDERCONTROL) wajib dilakukan, misal persyaratan ketat NEW NORMAL (pakai masker, hindari kerumunan, desain kunjungan dll), sementara penanganan yang sifatnya OVERCONTROL akan diusahakan diminimalisir. Beberapa hal overcontrol adalah berhubungan dengan budaya masyarakat suatu daerah yang sulit dikendalikan.
Kalau masalah pendidikan, hal tersebut bisa jadi 100% UNDERCONTROL. Tapi ternyata masalah pendidikan ini termasuk tertinggal dibandingkan penanganan ekonomi. Misal: belum siapnya PLATFORM pembelajaran jarak jauh. Kemudian masalah remeh seperti bantuan pulsa internet saja baru dirilis untuk anggaran bulan Agustus ini, padahal kalau mengacu KEPRES 12/2020 darurat dan bencana nasional, para menteri harusnya bergerak lebih cepat untuk membuat turunan Perpres tersebut. Sepertinya dunia pendidikan lebih banyak ber WEBINAR ria.
Masalah ekonomi juga bisa dianggap UNDERCONTROL, meski tidak 100% karena lebih kompleks. Dibidang ekonomi, beberapa Negara mulai merancang menyalib di tikungan hingga tidak mau disalib saat ditikungan.
Coba kita amati bahwa dalam sebulan yang lalu, perusahaan konstruksi di Taiwan sudah mulai membuka kesempatan dan mengundang kontraktor untuk membangun jaingan LRT baru plus pembangunan terminal 3 Bandara Tayouan. Nilainya hampir USD 1,6 M.
Mereka mencari tenaga kerja dan kontraktor dari Negara Asia, khususnya Indonesia. Taiwan dalam hal ini sebagai Negara dengan pengendalian COVID-19 terbaik di dunia tak mau mengorbankan ekonominya hanya gara-gara menyerah dengan COVID-19.
Mereka yang akan dipekerjakan di Taiwan nantinya akan menjalani protocol ketat NEW NORMAL, termasuk dikarantina 14 (empat belas hari) sebelum masuk Taiwan, dan baru boleh mudik ke Indonesia minimal 6 (enam) bulan, plus dikarantina lagi saat masuk.
Congo sebagai Negara miskin di Afrikapun juga bergerak aktif, meski sebenarnya ini adalah proyek besutan AS. Mereka membangun jalur kereta api dan gerbongnya, juga power plant tenaga surge dan aplikasi smart city. Bagaimana dengan perusahaan China? Ini tambah gila-gilaan lagi dalam rencana investasinya, termasuk di Indonesia.
Oleh karena itu, sudah tepat apa yang dilakukan tim pemulihan ekonomi. Insentif diberikan kepada pengusaha dan golongan menengah ke bawah, sementara gula-gula diberikan kepada investasi dari Luar Negeri. Yang penting persyaratan investasinya harus secara ketat menerapkan syarat minimal TKDN 40 persen, serta menerapkan desain Global Suply Chain yang mengikut sertakan lokal suplai chain dari IKM-IKM yang ada di daerah-daerah Industri.
Semoga solusi ekonomi dan kesehatan, termasuk peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana pola pikir HDI akan terwujud secara selaras dan berkesinambungan.
Ditulis oleh:
Dr.Ir. Arman Hakim Nasution, M.Eng
Pusat Kajian Kebijakan Publik – ITS