KOLOM PAKAR
Trending

Quo Vadis Bisnis di Indonesia?


Oleh: Diyah Ratna Fauziana – Lecturer of PPM School of Management

Di tengah situasi tak menentu akibat pandemi yang tidak hanya bersifat lokal atau regional, dunia bisnis pun berhadapan dengan tantangan yang berat. Kontraksi ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun akibat pandemi yang mendunia, nyaris seluruh negara mengalaminya.

Produksi melambat, kalau tidak dikatakan berhenti sama sekali, salah satunya karena pelarangan orang berkumpul akibat protokol pencegahan penyebaran penyakit akibat virus Corona. Meskipun secara berangsur pembatasan dibuka di beberapa negara, namun tak pelak beberapa industri sudah kadung babak belur.

Bagaimana dengan Indonesia? Berkaca dari data yang dimiliki BPS, saat ini Indonesia cukup banyak bergantung pada produk impor. Sebagian besar material mentah yang digunakan berbagai industri diperoleh dari luar Indonesia. Model produksi favorit yang dilakukan di Indonesia adalah perakitan, sementara ada pula kondisi dimana teknologi pengolahan dari material mentah menjadi barang jadi pada beberapa industri belum sepenuhnya dikuasai.

Kondisi pandemi saat ini tentu saja tidak menawarkan lingkungan yang kondusif bagi model bisnis yang demikian. Disamping itu, investor asing pun terpaksa kembali ke negaranya, menarik atau menghentikan rencana investasinya dan akibatnya modal kerja industri berkurang atau bahkan tidak terkucurkan lagi.

Bukan hanya di bagian pendanaan saja masalah yang dihadapi dunia bisnis saat ini, tetapi pelanggan juga memutuskan untuk tidak melakukan belanja dalam beberapa bulan ke depan, kecuali untuk beberapa kebutuhan pokok. Akibatnya siklus bisnis seperti yang dipelajari dalam teori dasar makroekonomi tidak berjalan dengan baik.

Normalnya, industri menghasilkan produk yang akan diserap rumah tangga, untuk kemudian menerima uang atas pembayaran produk. Rumah tangga juga memasok sumber daya manusia sebagai tenaga pekerja pada industri dan menerima uang sebagai upah setiap bulannya. Dengan upah tersebut, rumah tangga berbelanja produk yang antara lain dihasilkan oleh industri, sehingga siklus tertutup ini menjaga sinambung industri pada dunia bisnis.

Namun saat ini, ancaman yang dihadapi dunia bisnis tidak main-main, bahkan beberapa perusahaan terpaksa mengurangi karyawannya akibat pemasukan yang semakin menurun. Perputaran uang dan barang tidak selancar semula, yang lambat laun dapat berujung pada banyaknya pengangguran dan kesenjangan sosial yang semakin melebar. Lalu apa yang harus dilakukan?

Di Indonesia sendiri muncul banyak pebisnis rumahan yang bersifat dadakan. Berjualan daring menjadi salah satu keahlian yang mutlak dibutuhkan, disamping semakin banyaknya platform transaksi daring yang menawarkan kemudahan transaksi bisnis, bahkan seorang ibu rumah tangga biasa pun dapat mengoperasikannya dengan mudah.

Para tetangga membeli sesamanya, dan menjual juga produk yang berbeda. Salah satu tetangga penulis menjual pisang raja, dan tetangga yang lain menjual masker, hand sanitizer, dan lain-lain. Pada suatu ketika mereka saling membeli produk satu sama lain, bahkan jika harganya hanya memiliki selisih yang sedikit, tidak ada pertukaran uang di antara mereka. Saling mengisi kebutuhan satu sama lain tanpa disadari membuat asap dapur kembali mengepul.

Kalau transaksi bisnis antar rumah tangga dapat efektif menyalakan api kompor, maka model mini ini dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar dengan pengaturan-pengaturan yang dibutuhkan. Sudah saatnya Indonesia terbebas dari ketergantungan produk impor dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

Seorang teman yang bekerja di perusahaan farmasi menyampaikan tidak feasible untuk membangun pabrik raw material sendiri karena terlalu mahal dan rumit, sehingga lebih murah mengimpor material dari luar. Dalam kondisi normal, mungkin pernyataan ini dapat diterima, tetapi dalam kondisi sekarang, keputusan ini menjadi bumerang bagi Indonesia.

Tugas rumah yang harus dikerjakan dengan crash program adalah membangun pusat-pusat industri yang menghasilkan produk-produk yang selama ini diimpor. Kualitas tentu saja tidak boleh dikompromi, sebab ada pengimpor yang beralasan kualitas raw material di Indonesia tidak sebaik yang diimpor dari Vietnam atau Thailand. Riset dan pengembangan produk membutuhkan tenaga dan biaya yang cukup besar, tetapi mau tidak mau ini harus dilakukan guna membangun ketahanan bisnis di masa depan.

Dari hasil riset Inovasi yang dilakukan oleh CIC (Center of Innovation and Collaboration) PPM Manajemen, dapat ditarik salah satu kesimpulan bahwa dukungan pemerintah memegang peranan yang sangat penting bagi pelaksanaan inovasi di perusahaan.

Bentuk dukungan yang dibutuhkan dimulai dari kemudahan proses pengajuan izin (izin produksi, izin edar, dan lain-lain) hingga pendampingan bagi inkubator-inkubator bisnis. Tidak dapat disangkal, inkubator bisnis lokal akan memegang peranan penting di dunia bisnis Indonesia di masa depan, dan bukan tidak mungkin akan berkembang pesat seperti Huawei, sebagai salah satu contohnya. Sementara itu, perusahaan dengan skala yang lebih besar harus mampu melakukan transformasi secara menyeluruh dalam waktu yang singkat.

Salah satu bentuk transformasi yang perlu segera dilakukan dunia bisnis Indonesia adalah perpindahan model produksi perakitan menuju produksi secara menyeluruh, mulai dari produksi raw material hingga produksi barang jadi yang siap dikonsumsi.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat dari hulu ke hilir perlu disadari demi menjadi bangsa yang mandiri, yang terlepas dari ketergantungan produk impor. Untuk itu industri tidak dapat berdiri sendiri, karena lagi-lagi diperlukan komitmen dan dukungan pemerintah.

Didirikannya pusat-pusat penelitian pemerintah berkolaborasi dengan perguruan tinggi yang direncanakan dan dieksekusi dengan saksama akan sangat membantu. Hasilnya dapat menjadi masukan yang berharga bagi dunia industri, untuk kemudian dikembangkan menjadi produk yang berdaya jual dan bermanfaat bagi masyarakat.

Pemanfaatan intellectual capital pada akademisi perlu dilakukan industri, dengan bantuan pemerintah. Istilah yang sering digunakan adalah triple helix, yaitu kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi di dalam perguruan tinggi.

Lalu bagaimana dengan pendanaan bisnis?
Di zaman digital seperti sekarang, solusi crowd funding menjadi salah satu alternatif yang patut diperhitungkan, tentu saja dengan memperhatikan regulasi pemerintah yang berlaku. Jika seluruh proses berjalan dengan baik, ditambah dengan transparansi keuangan yang dilakukan sesuai regulasi yang ada, maka dapat diharapkan perputaran roda bisnis akan dapat menghidupkan banyak industri. Istilahnya, dari kita untuk kita.

Seperti kata pepatah, talk is cheap but action is priceless, maka saat ini adalah saat yang tepat untuk berbenah diri. Rampingkan proses internal, jaga kualitas produk dan layanan (percayalah, ini adalah faktor utama dan mendasar), bertransformasilah ke arah kemandirian.

Semoga bisnis di Indonesia tetap hidup, bertumbuh dan sinambung.

Artikel Terkait

Berita Lainnya
Close
Back to top button