
Jakarta, Bumntrack.co.id – Pada suatu siang, salah seorang teman yang berprofesi sebagai pengusaha muda di Batam berkirim pesan WA, bisa saya telpon? OKAY jawab saya karena memang dosen lagi KDRT (Kerja Dari Rumah Tinggal, alias WFH).
Sang teman berbincang keluhannya tentang situasi bisnis yang lesu saat ini. Dia punya salah satu bisnis inovasi provider sistem akuntansi sekitar 200-an IKM (Industri Kecil Menengah) di bidang resto (MAMIN) se-Indonesia bisa memonitor pergerakan aliran kas mereka.
IKM MAMIN stage 3 yang berada dalam sistem akuntansinya, yaitu mereka yang hanya punya 2 dan 3 outlet ternyata sudah bertumbangan setelah 2 (dua) minggu diterapkannya PSBB Jakarta pada 10 April 2020. Sementara yang masih bertahan adalah UKM MAMIN stage 2 (minimal 6 outlet) dan stage 3 (minimal 15 outlet), dan itu lokasinya berada diluar Jakarta, seperti Surabaya dan Malang yang saat itu belum diterapkan PSBB.
Meskipun demikian, omset UKM Stage 2 turun rata-rata 30 persen, sementara yang Stage 1 turun rata-rata 50 persen. Bisa dibayangkan dampak PSBB (LOCKDOWN PARSIAL) terhadap ekonomi dalam menghadapi musuh yang tak tampak ini. Ibaratnya keputusan PSBB analog dengan pepatah kalau tidak dimakan Ibu mati, dimakan Bapak-lah yang mati.
Kondisi antara stage 2 dibanding stage 3 diatas mencerminkan fenomena bahwa skala ekonomis suatu bisnis yang melewati titik BEP (Break Event Point) pertama, akan mungkin menurun pada skala ekspansi usaha yang semakin besar. Dengan kata lain, menjadi besar juga punya resiko besar. Sehingga bisa jadi jargon SMALL IS BEAUTIFUL dalam bisnis adalah pilihan aman, asal jangan terlalu small seperti IKM yang stage 3, yang hancur lebur dalam 2 minggu begitu aliran kas terganggu.
Teman saya juga mengatakan bahwa dia dulu juga mengalami krisis moneter 98, tetapi tidak separah krisis yang diakibatkan pandemic CORONA ini. Bisa jadi ini karena secara sistemik ada 210 negara terimbas pandemic, berikut dampak ekonominya.
Saat krisis moneter 98, sisi demandnya tidak terganggu, sehingga IKM sebagai penyedia sisi suplai masih bisa menyelamatkan ekonomi. Tapi pada EKONOMI PANDEMI saat ini, baik sisi suplai maupun demand nya terganggu, dimana sisi suplai terganggu akibat kecemasan hingga ketidak produktifan kerja. Bila dianalogkan dengan sistem INPUT-OUTPUT, maka memang dibutuhkan perubahan BISNIS PROSES untuk memitigasi kondisi ini.

Apa yang terjadi di IKM, terjadi juga sebagaimana juga di INDUSTRI MANUFAKTUR skala besar. Hal ini menunjukkan bahwa langkah kearah perubahan bisnis proses dan produk menjadi keniscayaan bagi entitas bisnis untuk mampu bertahan.
Di bidang IKM MAMIN misalnya, pekerja sulit melakukannya secara WFH untuk proses produksi, meskipun untuk proses delivery bisa dilakukan secara ONLINE. IKM kita memang belum didesain untuk full integrated teknologi sesuai dengan skor INDIE 4.0.
Apalagi dibidang industri manufaktur skala besar. Mereka dituntut mengefektifkan fasilitas-fasilitas produksi agar bisa membuat produk yang secara bisnis proses mempunyai urutan aktivitas yang mirip, meskipun bukan core competence-nya. Disinilah kemampuan beradaptasi dan menjadi pembelajar menjadi penting sekali.
Apa fenomena perubahan yang dilakukan industri manufaktur skala besar? Pertama: di mancanegara, DYSON pembuat vacuum cleaner terkemuka telah shifting membuat ventilator. ROLLS ROYCE yang biasanya bikin mesin pesawat terbang dan mobil sekarang bikin komponen komponen medical. BBI BARATA sebagai BUMN di Surabaya yang biasanya bikin boiler berencana shifting bikin tabung oksigen portable dan mobile hospital.
Namanya shifting pasti hanya sebagai langkah mitigasi sementara untuk menaikkan kapasitas yang idle karena terganggu, sehingga dibutuhkan perubahan rencana tahunan dengan estimasi pandemic berakhir, plus juga perubahan rencana strategis lima tahunan kedepan yang cukup sulit memprediksi dampak ekonomi pandemic ini kedepan. Meski sulit, tapi prediksi ini tetap mungkin dilakukan dengan baik sebagaimana pointer yang diamanatkan WAMEN BUMN, Budi Gunadi Sadikin.
Fenomena kedua di manufaktur adalah bahwa TRUST dunia Industri, khususnya pebisnis JEPANG dan USA, terhadap CHINA sangat merosot sekali. Apa penyebabnya? Bukan karena informasi bahwa CORONA adalah virus yang sengaja dibuat China, tetapi lebih kepada ketidak percayaan mereka terhadap CHINA dalam mengelolah kejujuran informasi tentang pandemic COVID. Mereka tidak mau terperosok dilubang yang sama nantinya.
COVID yang mulai memakan korban pada 27 Desember 2019 di Wuhan, ternyata ditutup tutupi oleh otoritas China, sehingga baru sebulan kemudian infonya dibuka setelah dilakukan LOCK DOWN, itupun dianggap juga belum transparan untuk melindungi ekonomi China. Akibatnya, virusnya sudah makin menyebar ke manca Negara akibat informasi yang tidak terbuka tersebut.

Saat saya mendarat di SHENZEN China pada tanggal 8 JAN 2020 untuk mengikuti pelatihan AI, otoritas China sudah menerapkan protocol pengukuran suhu tubuh di loket imigrasi. Artinya bahwa mereka sudah kuatir ada sesuatu yang berbahaya. Tetapi karena tidak dikomunikasikan keluar, maka pandemik ini menyebar begitu cepat di ekspor ke manca Negara, melalui transaksi penerbangan dan kelautan antar Negara. Bagi saya dan tim, tidak kena covid selama di China sampai dengan 16 Januari 2020 adalah keajaiban dari Allah SWT.
TRUST adalah kunci penting dalam KOLABORASI GLOBAL SUPLAI CHAIN, termasuk perasaan percaya dengan apa yang dipublikasikan oleh suatu Negara. Dengan rusaknya rantai suplai, Pelaku bisnis di negara-negara Industri besar seperti Jepang dan USA menjadi tidak percaya lagi dengan pebisnis China, termasuk kejujuran informasi yang dikeluarkan Negaranya.
Saya mendengar dari beberapa pebisnis langsung, bahwa banyak perusahaan Jepang dan USA yang akan merelokasi pabriknya keluar dari China. Ini berarti akan ada PELUANG RELOKASI INDUSTRI kedua, dimana relokasi industri yang pertama, yaitu oleh industri China ke ASIA TENGGARA pada saat perang dagang dengan AS dimulai tidak bisa kita manfaatkan, karena mereka banyak memilih tujuan relokasi ke Thailand, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dll.
Oleh karena itu, peluang relokasi dari akibat reformulasi GLOBAL SUPLAI CHAIN oleh Jepang dan AS ini harus benar-benar dimanfaatkan Indonesia pada saat ekonomi PANDEMI. Kita tidak perlu berharap akan adanya relokasi industri dari Eropa, karena system permainan mereka adalah CLOSE LOOP, yaitu perdagangan komponen dan produk antar anggota Negara Eropa.
Relokasi industri Jepang dan AS inilah yang harus kita rebut habis-habisan. Saya menyarankan BATAM menjadi pilihan terbaik, karena konektivitasnya dengan HUB perdagangan dunia.
Bicara masalah kecepatan eksekusi dalam mensikapi perubahan pada kondisi ekonomi PANDEMIK ini, saya jadi teringat perkataan Charles Darwin: “Bukan species yang terpandai yang mampu bertahan, tetapi mereka yang mempunyai kemampuan beradaptasilah yang akan tetap bertahan hidup”
Tak terasa ternyata pembicaraan telepon saya dengan temans pengusaha yang bisnisnya juga pensuplai komponen produk Internasional tadi berlangsung hingga 55 menit, disiang saat bulan Puasa lagi. Suatu kejadian yang langka, karena biasanya pengusaha sukses teman saya itu biasanya bicara seperlunya (SMILE).
Ditulis Oleh:
Dr.Ir.Arman Hakim Nasution, M.Eng
Pusat Kajian Kebijakan Publik – ITS