
Di tengah pencapaian kinerja BUMN yang makin membaik, ternyata ada persoalan yang justru dianggap membahayakan BUMN, yakni terus meningkatnya jumlah utang luar negeri BUMN yang sudah mencapai Rp695 triliun.
Sejatinya, persoalan lonjakan Utang Luar Negeri tersebut bukan hanya diributkan kali ini oleh sejumlah pihak. Sudah tiga tahun terakhir persoalan utang sudah diperbicangkan. Sebagian kalangan khawatir. Namun, di sisi lain, pihak Kementerian BUMN sudah kerap kali menjelaskan agar publik tidak terlalu khawatir dengan hal tersebut karena jumlahnya masih dalam batas kemampuan membayar. Lagi pula, utang tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan produktif BUMN.
Gencarnya pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo, ditengarai sebagai salah satu penyebab meningkatnya utang luar negeri BUMN. Tak hanya sejumlah BUMN, terutama BUMN Karya, yang mendapat penugasan mengggarap berbagai proyek infrastruktur, pemerintah pun terus meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur setiap tahun. Data Kementerian Keuangan menunjukkan , untuk 2019 pemerintah menganggarkan Rp415 triliun. Angka tersebut meningkat 1,04 persen dari anggaran tahun 2018.
Tak hanya itu. Pemerintah juga menargetkan pembiayaan proyek infrastruktur lewat skema pembiayaan investasi non-anggaran (PINA) yang mencapai 6 miliar dolar AS atau setara Rp83,73 triliun. Terjadi kenaikan dua kali lipat dibanding realisasi PINA 2018 yang mencapai Rp46 triliun. Adapun proyek infrastruktur yang diprioritaskan mendapat pembiayaan non-APBN tersebut adalah energi terbarukan, fasilitas penempatan minyak, satelit, dan jalan tol.

Pembangunan infrastuktur tersebut membutuhkan dana hingga Rp5.000 triliun yang salah satunya bersumber dari utang luar negeri. Data yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan per April 2019, posisi Utang Luar Negeri BUMN sudah naik menjadi Rp695 triliun dengan asumsi kurs dolar AS Rp14.200.
Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menggeluarkan dana sebesar Rp4.700 triliun. Dana tersebut bersumber dari APBN, pengampunan pajak (tax amnesty), kerja sama dengan investor asing dan utang luar negeri.
“Kontribusi dari APBN sebanyak 41,3 persen atau sebesar Rp1.941 triliun. Kemudian BUMN sebesar 22 persen atau Rp1.034 triliun, dan kontribusi swasta sebesar 36,7 persen atau senilai Rp 1.725 triliun,”ujarnya.
Selain adanya penugasan dari pemerintah, melonjaknya utang luar negeri BUMN juga lantaran tekanan nilai tukar rupiah. Di mana kurs rupiah terhadap dolar AS masih bertengger di kisaran Rp13.000 hingga Rp14.000- an per dolar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, target pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab pertumbuhan utang perusahaan-perusahaan milik negara. Kita bisa melihat besarnya beban pembangunan yang harus ditanggung para BUMN karya, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, hingga PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Termasuk Pertamina dan PLN pun mesti menanggung penugasan di sektor energi. Begitu pula bank-bank BUMN yang diberi tugas untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan satu juta rumah, meski tidak seberat BUMN karya dan energi.
“Tren empat tahun terakhir, utang BUMN naik cukup signifikan, khususnya BUMN karya yang diberi penugasan infrastruktur. Mereka seperti saling berlomba dalam hal menerbitkan utang, khususnya utang valas,” ujar Bhima.
Optimistis Terbayar
Sedangkan Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Bisnis Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro menjelaskan, penambahan utang pada tahun lalu cukup signifikan lantaran sejumlah BUMN memerlukan suntikan modal untuk beberapa proyek yang sedang dikerjakan. “Pada 2016-2017, memang ada tambahan modal untuk proyek yang masuk, sehingga mereka harus memperoleh pembiayaan, khususnya untuk proyek infrastruktur,” jelasnya.

Aloysius menjelaskan, utang BUMN khusus utang luar negeri umumnya berjangka panjang sekitar 20 hingga 30 tahun. Untuk itu ia berharap nilai tukar rupiah stabil agar kewajiban pembayaran bunga utang juga stabil. “Kami harus mengakui pembukuan rugi, tapi itu rugi akuntansi, rugi valas. Tapi jatuh tempo untuk melunasi utang BUMN masih sekitar 20 sampai 30 tahun kemudian. Harapannya, kurs tidak semakin memburuk, tapi justru semakin membaik, kembali ke angka yang acceptable. Jadi tidak masalah,” jelasnya.
Sedangkan terkait utang dalam bentuk foreign exchange atau valuta asing, menurutnya adalah bagian terpisah dan tidak memiliki jaminan dari pemerintah. Prosesnya pun tidak mudah karena melalui berbagai perizinan. “Artinya, itu semua terkontrol dan kami dinilai oleh lembaga rating. Tapi ini juga disetujui kalau harus lebih efisien. Soal kenapa pinjam dari luar negeri, ini lebih kepada kapasitas funding di dalam negeri yang terbatas,” jelasnya.
Bila ada pihak yang meragukan kemampuan BUMN melunasi utang tersebut, Kementerian BUMN justru optimistis perusahaan BUMN dapat melakukan penyelesaian. Hal tersebut terlihat dari Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization (EBITDA) masing-masing perusahaan. “Lihat saja di EBITDA. Kalau EBITDA cukup ya bisa lunas. Rasio EBITDA kalau di bawah 3 sampai 4, berarti kemampuan untuk bayar utang itu cukup,” jelas Aloysius.
Aloysius merinci, dari jumlah utang tersebut, sekitar 62,81 persen merupakan utang dari BUMN sektor keuangan. Jumlah utang BUMN sektor tersebut mencapai Rp3.311 triliun. Komponen utang dari para perusahaan jasa keuangan itu didominasi oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 74 persen. “Kepantasan jumlah besar atau kecil utang terlihat lebih kepada rasio utang terhadap ekuitas. Hal ini terlihat dari data Debt to Equity Ratio (DER) yang kami dapat untuk lima sektor industri,” katanya.
Optimisme pengelolaan utang uar negeri BUMN juga disampaikan Oskar Vitriano, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI). Oskar berpandangan, dari beberapa indikator pengelolaan BUMN pada masa kepemimpinan Joko Widodo dapat dikatakan berhasil. Hanya saja menurutnya, masih terdapat kekurangan yakni proses good corporate governance yang ada pada BUMN hanya sebatas pada di internal perusahaan.
Catatan lain dari Oskar, perusahaan BUMN juga cenderung lamban dalam mengaplikasi teknologi digital sehingga cenderung menjalankan bisnis old fashion. Padahal pemanfaatan teknologi digital bisa memicu peningkatan daya saing perusahaan BUMN di global. Namun dirinya mengatakan secara keseluruhan pengelolaan BUMN masih cukup baik.
Meski demikian, kekhawatiran terhadap posisi utang luar neri BUMN yang menunjukan tren meningkat, tetap dibutuhkan sabagai alarm agar tidak kebablasan. Jika tidak ada alarm, utang luar negeri tersebut berpotensi menjadi ‘tsunami’ bagi BUMN yang bisa meluluhlantakkan pencapaian BUMN selama ini.