
Oleh : Toto Pranoto, Direktur Eksekutif Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia
Peningkatan utang terutama karena kebutuhan capital expenditure (capex) yang meningkat. Peningkatan capex tersebut berpotensi menghasilkan return di masa datang. Artinya, utang tersebut dipakai untuk tujuan yang produktif. Contohnya pada BUMN Karya yang membangun infrastruktur seperti jalan tol yang akan menghasilkan return dan men-generate perolehan income masa depan. Hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan perusahaan dalam membayar utang beserta bunganya.
Jika ada BUMN yang pinjamannya berbentuk valas sedangkan pendapatan dalam rupiah memang ada risiko kurs yang berpotensi mismatch. Untuk menghindari mismatch, ada mekanisme sederhana, misal, seluruh pinjaman dalam bentuk valas wajib hedging (lindung nilai).
Atau sekarang sudah ada terobosan baru, di mana pada tahun lalu PT Jasa Marga sudah menerbikan Komodo Bond di London Stock Exchange dalam denominasi rupiah. Ini merupakan natural hedging, di mana pinjaman dalam rupiah, penggunaannya juga dalam bentuk rupiah. Dengan semakin banyak BUMN menerbitkan bond atau obligasi seperti dilakukan Jasa Marga, itu merupakan salah satu alternatif terobosan.
Penawaran yang dilakukan Jasa Marga dan jumlah peminat Komodo Bond, bagus ketika itu karena yang dijanjikan dalam obligasi tersebut, dana obligasi akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan tol. Hal tersebut dianggap prospektif oleh investor. Pada umumnya yang dilihat investor adalah kemampuan bayar dari emiten yang menerbitkan obligasi tersebut. Adapun potesi bisa dilihat dari kondisi forecast ke depan. Sepanjang solvability atau kemampuan membayar pada BUMN tersebut baik, biasanya obligasi yang diterbitkan akan diserap market.
Jumlah utang BUMN saat ini yang mendekati Rp5.000 triliun sebetulnya termasuk hampir Rp3.000 triliun dalam bentuk simpanan/tabungan masyarakat di bank BUMN. Ini tidak bisa dikatakan sebagai utang ansich dan mungkin sekitar Rp700 triliun dalam bentuk premi/kewajiban di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yakni perusahaan asuransi dan sejenisnya. Jadi, utang komersial yang ada di BUMN adalah sisanya yang terpakai untuk capital expenditure (capex) atau working capital misal oleh BUMN Karya dan yang lain.
Karena itu kita tidak bisa hanya melihat jumlah utang yang Rp 5.000 triliun tersebut, tetapi harus dilihat dana sebesar itu dipergunakan untuk apa saja. Dana Rp 3.000 triiun di antaranya terdapat di perbankan nasional dalam bentuk tabungan dan merupakan kewajiban pihak bank untuk mengembalikan dana tersebut. Jadi itu bukan termasuk utang komersial, sedangkan Rp700 triliun utang BUMN dalam berada pada asuransi yang disimpan dan akan dibayarkan kemudian. Sisanya yang menjadi utang komersial sekitra Rp 1.300 dalam bentuk obligasi pada BUMN Karya, PLN, Pertamina dan lainnya yang digunkan untuk membangun infrastruktur.
Sekali lagi, BUMN perlu berutang karena sebagai korporasi mereka perlu pendanaan untuk kegiatan investasi, modal kerja yang diperlukan tidak bisa sepenuhnya ditanggung oleh ekuitas sendiri. Jadi, normal saja BUMN berutang, sepanjang pemakaiannya memang produktif. Proses persetujuan utang BUMN pun perlu mendapatkan persetujuan pemegang saham, termasuk izin dari Kementerian BUMN.
Tujuannya supaya utang yang dibuat untuk pembiayaan yang positif dan feasible dari sisi kapasitas BUMN untuk mengembalikan. Terkadang juga muncul inisiatif terobosan produk utang yang skemanya lebih menguntungkan, misal Jasa Marga menerbitkan Komodo Bond yang diterbitkan di London Stock Exchange. Bond tersebut dalam denominasi utang dalam bentuk rupiah sehingga terhindar dari risiko fluktuasi kurs.
Jika BUMN mengalami default (gagal bayar) atas utangnya, ditempuh mekanisme penyelesaian utang komersial yang normal saja. Debitur dan kreditur berunding untuk mencapai kesepakatan terbaik. Kecuali utang BUMN tersebut, misal obligasi dijamin (guaranteed) oleh negara, sehingga pemerintah ikut bertanggung jawab apabila terjadi default.
Terkait pengelolaan utang BUMN, bila pinjaman dalam bentuk valas biasanya membutuhkan persetujuan bukan hanya di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga persetujuan Kementerian BUMN yakni deputi terkait yang membawahinya. Dengan adanya mekasnisme berlapis tersebut, berarti pinjaman tersebut betul-betul diverifikasi dan lolos setelah melalui beberapa filter. Pada saat disetujui, utang tersebut dianggap feasible dalam artian, satu, utang tersebut memang dibutuhkan oleh BUMN untk kegiatan yang tepat sasaran. Kedua, dari sisi prospek pengembalian utang relatif bisa tercover. Si pemberi izin maupun RUPS menganggap BUMN tersebut mampu mengembalikan pinjaman dari pendapatan proyek yang dibiayai menggunakan utang tersebut.
Kementerian Keuangan juga memiliki tim yang memantau posisi utang luar negeri (ULN), baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun korporasi, termasuk BUMN. Artinya posisi utang, terutama utang luar negeri dalam pantauan mereka. Bila posisi utang dianggap dalam keadaaan berbahaya, hingga berpotensi mengancam sistem kestabilan keuangan negara, biasanya Kementerian Keuangan akan membatasi jumah pinjaman valas pada korporasi. Mereka juga akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi risiko atau dampak atas pinjaman valas tersebut. Bila suatu ketika angka utang BUMN sudah pada level mengkhawatirkan, tentu Kementerian Keuangan akan melakukan pengendalian valas guna menciptakan stabilitas makro prudensial yang lebih baik.
Prinsip dasarnya, utang BUMN jangan terlalu banyak selama kemampuan melakukan pembayaran utang masih dipertanyakan lantaran kualitas aset BUMN tersebut buruk. Pasalnya kualitas aset yang buruk tidak bisa meng-generate perolehan income ke depan. Karena itu utang merupakan sesuatu yang normal selama penggunaannya positif.
Dalam konteks utang, ada sektor yang perlu diwaspadai. Kita melihat saat ini pembangunan infrastruktur sedang digencarkan. Di sisi lain, sejumlah BUMN bidang infrastruktur cukup banyak memiliki utang dalam bentuk valas. Untuk itu harus dipastikan, BUMN yang menggarap proyek-proyek infrastruktur memiliki kemampuan membayar yang baik. BUMN seperti Wijaya Karya, Waskita Karya dan Adhi Karya saat ini sedang diminta pemerintah mengerjakan pembangunan infrastruktur baru dan jalan tol.
Kalau sudah selesai sebaiknya pemerintah jangan terlalu lama membayar kepada BUMN Karya agar kemampuan keuangannya tetap solven. Dengan demikian BUMN tersebut mampu melakukan pembayaran kepada krediturnya. Lantaran kemampuan pembayaran pemerintah terlalu lama sehingga menjadi beban bagi BUMN Karya.
Utang BUMN Karya dalam pekerjaan infrastruktur masuk kategori utang komersial biasa. Kecuali mereka terbitkan obligasi yang dijamin pemerintah. Sepanjang utang tersebut dipakai untuk tujuan produktif, misal aset yang dibiayai utang akan menghasilkan stream revenue yang konsisten dan diprediksi bisa meng-cover beban bunga dan pokok pinjaman, maka struktur utang tersebut cukup sehat.
Intinya perlu adanya disiplin anggaran dan kelayakan saat BUMN memutuskan pinjam. Pemerintah sebagai pemilik BUMN bisa memonitor langsung feasibilitas pinjaman yang diusulkan BUMN. Jadi isunya bukan soal berapa proporsi utang BUMN, tetapi apakah utang BUMN itu dibutuhkan dan pemakaian tepat guna? Apabila pemerintah berpikir pinjaman luar negeri BUMN sudah over maka secara otomatis akan diminta dihentikan.