
Oleh Akhmad Kusaeni
Dalam sebuah diskusi dengan Prof. Man Ki Kim, ahli politik dan militer dari Korea Selatan, pekan lalu, saya bertanya apa kunci sukses Negeri Ginseng itu dalam pengembangan industri termasuk industri militernya. Sementara industri militer Indonesia tidak berkembang semaju Korea Selatan.
Padahal, Indonesia lahir nyaris bersamaan dengan Korea Selatan. Korsel merdeka pada 15 Agustus 1945, selisih dengan Indonesia hanya 40 jam saja. Saya ulang sekali lagi, bedanya cuma 40 jam saja. Tapi pertumbuhan Korsel meroket lebih cepat. Indonesia tertinggal.
Sahabat saya, Dr. Aji Surya, diplomat senior yang pernah bertugas di KBRI Seoul, pernah cerita bahwa pada tahun 1970 Korsel dengan Indonesia memiliki kesamaan karakter rakyatnya, yaitu masih malas dan tertatih-tatih. Bahkan, Korsel lebih parah lagi karena sampai saat ini kondisinya masih perang dengan Korea Utara. Rudal-rudal Taepodong bisa setiap saat ditembakkan oleh rejim Kim Jong Un ke Korea Selatan. Tapi disini hebatnya, dalam kondisi gencatan senjata sampai saat ini, Korsel masih bisa maju lebih cepat.
Prof Kim menjelaskan bahwa status dalam kondisi perang dan memiliki musuh yang setiap saat mengancam kedaulatan negara, membuat Korsel mengembangkan industri militernya untuk menghadapi ancaman Korea Utara. Korsel mampu membuat berbagai macam alat utama persenjataan dari mulai pesawat terbang, kapal perang, kapal selam, pesawat tanpa awak (drone), rudal, munisi dan teknologi cyber warfare.
Saking majunya, produk alutsista Korsel bukan saja lebih dari cukup untuk menghadapi serangan Korea Utara, tapi juga persenjataan produksinya bisa diekspor ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Indonesia berminat untuk membeli tiga kapal selam Changbogo Class batch II buatan galangan kapal Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea.
Saya menceritakan diskusi dengan Prof Kim yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) ini untuk menjelaskan mengapa Korsel itu bisa maju, sementara kita kalah jauh kemajuannya dalam pengembangan industri, termasuk industri militer. Ternyata kunci “success story Korea” adalah negara itu maju karena memiliki ‘produk jadi’ yang menyebabkan negara lain membutuhkan produk Korea.
Apa yang bisa ditarik dari pembelajaran dari Korea adalah kebijakan hilirisasi industrinya nya berjalan dengan baik. Korea tidak lagi mengekspor bahan mentah (raw material), tapi produk jadi seperti alutsista persenjataan dan produk industri non-militer seperti aneka merek mobil sebut saja Hyundai atau KIA. produk elektronik seperti Samsung dan LG.
Keunggulan Korea itu, seperti pernah dikemukakan Presiden Jokowi, harus dicontoh oleh Indonesia. Kita harus memiliki produk yang membuat negara lain, tergantung pada kita. Karena bahan mentahnya ada di Indonesia semua. Kita punya segalanya. Contoh, baterai mobil listrik.nikel, tembaga, timah, bauksit semuanya ada.
Dengan demikian, hilirisasi menjadi sebuah keniscayaan. Hilirisasi adalah proses atau strategi suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau jadi. Hanya dengan hilirisasi, maka nilai ekspor Indonesia menjadi lebih besar. Sehingga, mampu meningkatkan perekonomian dan mensejahterakan rakyat.