
Oleh: Faisal Basri
Ekonomi Senior Universitas Indonesia
Ketika melihat dan membahas utang BUMN, kita harus memiliki data. Data Statistik Bank Indonesia (BI) menunjukan pertumbuhan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2019 sebesar 389,3 miliar dollar AS. Angka tersebut lebih tinggi dibanding Maret 2019. Data BI juga menyebut utang swasta termasuk BUMN sebesar 199,6 miliar dolar AS.
BI juga mencatat per April 2019 jumlah utang luar negeri (ULN) bank BUMN sebesar 10.488 juta dolar AS, sedangkan posisi April 2018 sebesar 10.046 juta dolar AS. Sementara ULN BUMN bukan lembaga keuangan per April 2019 mencapai 149.148 juta dolar AS. Nilainya meningkat dibanding posisi April 2018 yang mencapai 133.821 juta dolar AS.
Sedangkan utang dalam bentuk rupiah, untuk utang berjangka pendek BUMN bukan bank per Maret 2019 senilai Rp196 triliun. Sedangkan utang ber angka panjang mencapai Rp749 triliun. Sehingga total utang BUMN bukan bank mencapai Rp945 triiun. Utang yang ada pada BUMN tersebut lebih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara dan lain-lain.
Jika berbicara mengenai dampak utang, tentu amat bergantung dari jumlah utang tersebut. Semakin besar jumlah utang maka dampaknya juga besar. Dan semua utang BUMN tercatat. BUMN berutang tidak masalah. Hanya perlu dilihat apakah utang BUMN sudah mendekati batas maksimum atau belum. Ada batasan di antaranya debt equity ratio (DER), governance yakni kemampuan BUMN berutang dibanding back up yang dimiliki. Sementara bagi Bank BUMN terdapat ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni legal lending limit di mana setiap bank, termasuk bank BUMN tentunya, hanya diperkenankan memberikan pinjaman maksimal 10 persen dari total pinjaman.
Jika utang bank BUMN sudah mendekati batasan legal lending limit, bisa saja mencari dana dengan menerbitkan surat utang di pasar uang, tetapi surat utang tersebut ada bunga yang harus dibayar dan tergolong utang komersial. Lagi pula bila ada perusahaan sudah memiliki banyak utang tapi masih terus menambah utangnya, maka kreditor biasanya akan berhati-hati meminjamkan utang. Bisa saja perusahaan tersebut memberikan iming-iming berupa bunga tinggi, namun konsekensinya, bunga utang yang mesti dibayar juga akan semakin tinggi.
Dalam soal utang, perlakuan BUMN Tbk dan Non Tbk tidak ada perbedaan, indikator yang digunakan sama. Kalau utang perusahaan Tbk sudah terlalu banyak, harga sahamnya akan menurun lantaran kepercayaan investor juga menurun.
Kenapa BUMN berutang banyak? Ini terjadi karena adanya penugasan pemerintah kepada BUMN. Di sisi lain, Kementerian BUMN malah mencarikan utang untuk BUMN. Bahkan Kementerian BUMN malah mendorong BUMN agar terus mencari utang agar dapat memenuhi target penugasan. Karena pemerintah tidak bisa memberikan dana ke BUMN untuk menjalankan proyek penugasan, BUMN dikondisikan untuk mencari utang sendiri. Bahkan Menteri BUMN malah turut mencarikan dana utang ke Cina sehingga tiga bank BUMN memperoleh pinjaman ke Bank Pembangunan Cina (Cina Development Bank).
Yang penting, saat ini agresivitas dalam berutang harus dikendalikan. Alasannya, satu kemampuan BUMN untuk membayar utang-utang semakin lama semakin berat. Kedua, utang dalam valas akan semakin banyak. Ketiga, utangnya semakin banyak ke kreditor luar negeri. Ketiga hal tersebut membawa konsekuensi, yakni kebutuhan dolar AS jadi meningkat. Terlebih sebagian besar BUMN tidak menghasilkan income dalam bentuk dolar AS. Kondisi tersebut bisa mengganggu pasar valas dalam negeri karena BUMN harus membeli valas di pasar uang sehingga berdampak menekan nilai tukar rupiah.
Sekarang hampir semua utang BUMN Karya sudah mendekati legal lending limit. Begitu pula ketika utang jangka pendek dipergunakan untuk membiayai proyek jangka panjang, nanti akan berpotensi terjadi mismatch. Begitu pula ketika pinjaman valas dipakai unuk membiayai proyek yang menghasikan income dalam bentuk rupiah, ini juga bisa menimbulkan mismatch. Namun BUMN ada yang mengawasi yakni Kementerian BUMN. Tetapi Kementerian BUMN justru malah mendorong BUMN untuk berutang. Bila nanti BUMN ternyata tidak sanggup membayar utang, pada akhirnya pemerintah yang menanggung utang tersebut.
Catatan lain, beban utang BUMN nonkeuangan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun utang BUMN di era pemerintahan Jokowi meningkat tajam, namun presentase kenaikannya tak setinggi utang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awal pemerintahan, Presiden Jokowi memutuskan untuk memangkas subsidi lalu mengalihkan anggarannya ke proyek infrastruktur. Terdapat subsidi energi yang sebagian besar berupa subsidi BBM turun drastis dari Rp342 triliun pada 2014 menjadi Rp119 triliun pada 2015.
Adanya reformasi struktural tersebut membuat pemerintah memiliki ruang fiskal cukup leluasa untuk menambah belanja infrastruktur sekitar Rp100 triliun. Sisanya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dan sedikit untuk kesehatan.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur ekonomi yang dilakukan melalui belanja K/L dan belanja non-K/L justru cenderung turun. Belanja infrastruktur melonjak lebih banyak dilakukan melalui transfer ke daerah dan dana desa, jadi bukan pos belanja pemerintah pusat. Sementara itu, pembangunan infrastruktur yang gencar seperti jalan tol, bandara, waduk, kereta api bandara, kereta cepat Jakarta-Bandung, MRT, dan LRT, tidak termasuk yang dibiayai dari transfer ke daerah dan dana desa.
Jadi, dari mana pembiayaan proyek-proyek besar itu? Dari mana lagi sebagian besar pembiayaannya kalau bukan dari BUMN yang ditugaskan. Maka tak heran, bila dalam kurun waktu pemerintahan Jokowi pada 2014-2018, utang BUMN sektor nonkeuangan naik 60 persen dari Rp504 triliun menjadi Rp805 triliun pada September 2018. Namun, kenaikan utang BUMN tersebut sebenarnya secara presentase masih lebih rendah dibanding era SBY. Pada 2010-2014 utang BUMN nonkeuangan naik 188 persen atau hampir tiga kali lipat dari Rp175 triliun menjadi Rp504 triliun. Untuk mengurangi jumlah utang BUMN sebaiknya dalam pembangunan infrastruktur melibatkan swasta di antaranya bisa menggunakan pola public private parteship (PPP). Dengan melibatkan pihak swasta, baik swasta dalam negeri maupun asing, maka pertambahan utang tidak terlalu cepat. Kalau saat ini, semua ditanggung BUMN. Bila konsep atau skema PPP diterapkan maka beban utang BUMN tidak terlalu berat.