KOLOM PAKARLENSA

BANGSA YANG GADUH

Oleh Akhmad Kusaeni

Indonesia mungkin telah memasuki apa yang disebut sosiolog sebagai “The Tell-All Society“, yaitu masyarakat-ceritakan-semua. Di Indonesia tembok dan dinding pun bisa bicara. Apa yang semestinya hanya di ruang-ruang tertutup, di kamar-kamar privat, bisa muncul ke ruang publik, viral, dan membuat gaduh.

                Baru-baru ini beredar rekaman yang diduga suara Ketua KPK Firli Bahuri ketika beraudiensi dengan sejumlah penyidik dan penyelidik polisi yang ditugaskan di KPK. Mereka mempertanyakan alasan pemberhentian Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Endar Priantoro. Diduga Brigjen Endar dikembalikan ke Polri karena tidak setuju dengan rencana Firli Bahuri untuk meningkatkan status kasus Formula E dari penyelidikan ke penyidikan untuk mentersangkakan Anies Baswedan. Rekaman yang semestinya rahasia ini diunggah oleh akun twitter @dimdim0783 sehingga menjadi viral.                 Beredar juga video yang mengkait-kaitkan Firli Bahuri telah membocorkan dokumen penyelidikan korupsi tunjangan kinerja (tukin) Kementerian ESDM. Akibatnya, sejumlah elemen masyarakat bersama dengan para mantan pimpinan KPK berunjuk rasa mendesak Firli Bahuri mundur dan dijadikan tersangka jika terindikasi terlibat dalam kebocoran dokumen rahasia penyelidikan.

                Negeri ini punya segudang permasalahan dan permasalahan itu diumbar menjadi kegaduhan di ruang publik. Kasus Ferdi Sambo baru saja berakhir dengan hukuman mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri itu, muncul kasus Inspektur Jenderal Teddy Minahasa yang terlibat perkara peredaran lima kilogram sabu. Ada lagi kasus pegawai pajak Rafael Alun Trisambodo  yang diketahui memiliki harta senilai 56 miliar rupiah (diduga dari hasil gratifikasi). Kasus ini terungkap setelah penganiyaan yang dilakukan oleh putranya. Mario Dandi. Habis itu, muncul  kasus transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

                Betul-betul gaduh dan hingar bingar. Terjadi Infodemik alias wabah pandemi informasi. Berbeda dengan pandemi Covid-19, Infodemik adalah kelebihan jumlah informasi yang beredar, yang membanjiri masyarakat, dimana beberapa diantaranya akurat dan beberapa lainnya tidak akurat. Infodemik ini menyulitkan orang untuk mendapatkan sumber yang akurat, kredibel dan dapat diandalkan sebagai pedoman. Ini bukannya masyarakat dicerahkan oleh informasi, malah sebaliknya menjadi gamang dan bingung.

                Informasi yang menyebar ke masyarakat disampaikan oleh orang dengan macam-macam kepentingan, seperti penyebaran berita bohong, hoax, fitnah,  dan pembunuhan karakter. Ada yang menyerang, banyak pula yang membela. Suara mereka –para cebong dan kampret, buzzeRp dan kadrun–  ramai bersahut-sahutan di media sosial yang dikalibrasi oleh media mainstream. Para pakar,  analis dan influencer berdebat (kadang seperti kusir) dalam talkshow televisi dan podcast-podcast. Dokumen-dokumen rahasia seperti berita acara pemeriksaan dan laporan keuangan bisa mudah diungkapkan. Skandal demi skandal dibongkar dan disiarkan. Diceritakan kepada publik yang gamang dan bingung.

                Oleh karena masyarakatnya sudah jadi “The tell-all societyā€¯ semua hal diungkap, diceritakan dan diperdebatkan. Isu penundaan Pemilu, perpanjangan jabatan presiden 3 periode, koalisi besar dan koalisi kecil, sampai isu pembatalan tuan rumah Piala Dunia U-20, menjadi menu utamanya. Selalu menimbulkan pro dan kontra. Pertentangan tersebut dibakar dengan berbagai spekulasi, teori-teori konspirasi, hoaks dan perang opini dari oknum-oknum yang mendadak menjadi ahli. Tidak pelak lagi di era informasi terbuka saat ini, Indonesia menjadi sebuah bangsa yang terus berayun dari satu isu publik ke isu yang lain.

                Bangsa ini selalu gaduh dalam riuh rendah oleh kehebohan yang tidak berkesudahan. Keterbukaan dimaknai sebagai bebas membuka apa saja. Kebenaran dan kepalsuan menjadi telanjang, suka-suka diceritakan dan diperdebatkan. Itulah harga yang harus dibayar oleh The Tell-all Society, masyarakat ceritakan semua.

Artikel Terkait

Back to top button