
Kinerja BUMN dalam satu dasawarsa terakhir menunjukan tren lebih baik. Namun selalu ada kegelisahan untuk mencari jalan membangun BUMN menjadi korporasi idaman.
Dalam tempo 5-10 tahun, BUMN mengalami perkembangan yang membaik. Hal tersebut bisa dilihat dari indikator keuangan seperti perkembangan asset, sales dan profit dan kontribusi BUMN terhadap sektor pelayanan publik. Namun demikian, perlu dicermati juga kondisi pareto BUMN yang terjadi, dimana saham-saham blue chips BUMN hampir mendominasi seluruh aktivitas yang terjadi di bursa. Hal ini menandakan juga terjadinya kelemahan daya saing di sebagian BUMN yang lain di luar yang blue chips, bahkan cenderung menjadi beban negara. Pandangan tersebut dilontarkan Kepala Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) Toto Pranoto.
Selama ini, lanjut Toto, Kementerian BUMN sudah melakukan pembentukan beberapa sectoral holding. Namun masih ada beberapa sectoral holding yang terhambat karena ketidaksiapan industrinya. Seperti yang terjadi pada holding perbankan. “Sementara target holding perumahan dan infrastruktur pada semester 1 tahun 2019 juga terhambat disebabkan kesibukan Pilpres 2019 dan saya perkirakan baru akan berjalan kembali setelah kabinet baru terbentuk,” jelas Toto.
Tahapan pembentukan holding yang terbentuk dan akan dibentuk saat ini merupakan menyelesaikan sectoral holding. Jadi, beberapa BUMN yang berada dalam satu cluster sejenis, disatukan. Tujuannya agar BUMN bisa membentuk value creation yang jauh lebih tinggi dibandingkan bila mereka masing-masing masih stand alone. Saat pembentukan sectoral holding sudah cukup lengkap, langkah berikutnya adalah pembentukan superholding sebagai induk dari semua sectoral holding. Menurutnya, masterplan BUMN yang merupakan acuan holding company BUMN menyebutkan perlunya tahapan BUMN sebelum masuk ke fase holding, yaitu: restrukturisasi – profitisasi-holding.
“Artinya bagi BUMN yang masih ‘sakit’ dilakukan upaya perbaikan supaya menjadi lebih sehat dan kemudian bergabung dalam sectoral holding. Kalau ini dijalankan tentu kita akan memiliki sectoral holding yang kuat. Menggabungkan sekaligus BUMN yang sehat dan tidak sehat punya risiko tinggi. Misal yang terjadi pada di holding PTPN,” jelas Toto.
Menuju Super Holding
Ia menambah, ada holding yang relatif sudah berhasil di antaranya holding semen dan pupuk. Keberhasilan tersebut diraih setelah melalui proses panjang. Di mana model holding Semen Gresik dan Pusri Holding dirubah menjadi strategic holding atau investment holding seperti terjadi saat holding Semen Indonesia dan Pupuk Indonesia holding. “Value creation relatif bisa tercipta karena tidak ada lagi persaingan langsung di antara induk holding dan anak . Induk holding berkonsentrasi pada strategic issues (keuangan, investasi, dan sinergi), sementara anak perusahaan fokus pada aspek operasional. Indikator keberhasilan juga bisa dilihat dari indikator keuangan seperti growth sales , production, profit dan kemampuan expanding market,” ungkap Toto.
Karena itu dengan adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk menjadikan BUMN agar berdaya saing dan mampu berkiprah juga di pasar internasional, Toto berkeyakinan masih ada semangat Presiden cukup kuat untuk merealisasikan hal tersebut. Terbukti, masih berjalannya proses pembentukan sectoral holding merupakan acuan semangat tersebut. Ketika sectoral holding relatif sudah cukup lengkap, maka pembentukan super holding adalah suatu keniscayaan.
Ia menambahkan, bahwa penting sekali pada periode ini pemerintah membuat struktur kelembagaan BUMN yang meng-absorb kebutuhan super holding di masa depan. Mungkin hal tersebut bisa menjadi kewenangan salah satu deputi atau langsung dibuat badan pengelola super holding. Jadi, lanjutnya, bentuk Kementerian BUMN ke depan adalah Kementerian BUMN/Badan Pengelola Super Holding. Adapun untuk masa transisi bisa sekitar 2-3 tahun ke depan. Pada saat kelembagaan tersebut dianggap sudah cukup kuat, maka super holding bisa berdiri independen dan fungsi Kementerian BUMN bisa dilebur ke badan super holding tersebut.
Seperti halnya Temasek dan Khazanah, kelak super holding BUMN tersebut akan memiliki ciri struktur korporasi yang lebih kuat (minimize bureaucracy), sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa lebih cepat. Proses sinergi juga bisa dijalankan lebih cepat karena monitoring dan evaluasi di level super holding bisa dilakukan lebih fokus. “Secara kelembagaan, badan super holding ini juga harus kuat dan pertanggungjawaban CEO Super holding bisa langsung ke Presiden. Hal ini untuk mengurangi intervensi. Seperti di Malaysia, CEO Khazanah takes direct responsibility to Prime Minister, “jelas Toto.
Transparansi juga menjadi penting bagi BUMN, terlebih bagi BUMN yang menyandang predikat perusahaan terbuka (Tbk). Tatkala disinggung mengenai Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang meminta agar lima BUMN mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPSLB), bagi Toto itu merupakan ranah prerogatif Menteri BUMN. Hanya saja akan menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan apabila pergantian tersebut dilakukan terhadap direksi BUMN yang dianggap berprestasi kemudian di-nonjob-kan.
“Bila tujuannya dalam rangka penyegaran dan revitalisasi manajemen agar lebih adaptif dan responsif menghadapi dinamika bisnis, itu oke saja,” tukas Toto.
Dalam konteks ada direksi BUMN yang diberhentikan dari jabatannya sebelum lima tahun padahal dalam kontrak disebutkan, masa jabatan direksi BUMN selama lima tahun. Akan tetapi ada klausul bisa diberhentikan sewaktu-waktu dengan alasan tertentu.
Bagi BUMN yang sudah Tbk, ada regulasi pasar modal yang harus mereka ikuti. Salah satunya azas transparansi. Dengan adanya keterbukaan informasi publik, maka publik atau pasar sudah tahu sejak Juli 209 mengetahui bila ada lima BUMN yang akan mengadakan RUPSLB. Tinggal soal konten perlu diketahui apa kepentingan utama diadakan sebuah RUPSLB sehingga dianggap signifikan untuk melakukan RUPSLB.
Secara umum, kinerja bank-bank BUMN yang tergabung dalam Himbara (Himpunan bank Negara) tersebut sudah bagus. Hanya saja bila dilihat dari perspektif yang berbeda, misal bagaimana daya saing bank nasional kita dibanding dengan bank-bank di tingkat ASEAN, ternyata bank-bank kita masih tertinggal. Kualitas aset bank-bank BUMN tersebut masih ketinggalan dibanding bank-bank Singapura seperti DBS, OCBC, atau Bank di Malayasia seperti Maybank. Dari sisi aset saja, bank-bank kita masih kalah. Apalagi jika Indonesia meratifikasi ASEAN Qualified Bank (AQB). Bila sebuah bank sudah bisa memenuhi kualifikasi yang dimaksud AQB, maka bank tersebut bisa beroperasi di negara ASEAN lain. Pertanyaannya, seberapa besar daya saing bank-bank negara anggota Himbara melawan bank-bank asing?
Selain itu dilihat angka net interest margiun (NIM), bank pemerintah terlalu tinggi yakni di atas 5 persen bahkan ada yang 7 persen. Sementara DBS hanya 1,5 persen dan rata-rata NIM bank di Singapura di bawah 2 persen. Jadi, bisa dibayangkan kalau mereka hendak masuk ke pasar Indonesia dengan tingkat suku bunga yang lebih kompetitif, bagaimana nasib bank-bank kita. Begitu pula dalam pengambilan keputusan, BUMN memerlukan kecepatan. Bila ada aspek birokrasi yang lain, seperti melewati persetujuan DPR, bisa jadi dikhawatirkan BUMN akan kehilangan momentum.