Belajar Revolusi Mental dari Korea Selatan
Oleh: Dr. Aries Mufti
Ketua Pokja Industri Pedesaan dan Industri Nasional Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) periode 2016-2019
Pada pemerintahan kedua dan terakhir, kali ini Presiden Joko Widodo harus meninggalkan legacy. Sebagai presiden, Joko Widodo ingin agar Indonesia bisa lebih maju lagi ke depan. Hal ini tercermin dari susunan menterinya yang bekerja untuk periode 2019-2024. Bila dikaitkan dengan revolusi mental, maka negara yang berhasil adalah yang berhasil merevolusi mental atau mindset para pemimpin dan rakyatnya.
Sebagai contoh negara yang sukses menerapkan revolusi mental adalah Korea Selatan yang hingga sekarang belum tergantikan. Sehingga Sekjen PBB melalui UNDP pun tahun 2015 mengimbau negara-negara berkembang untuk mengimplementasikan Saemaul Undong agar SDG’s-nya sukses. Revolusi mental yang dipimpin Presiden Korsel Park Chung-hee tersebut dikenal dengan keajaiban Sungai Han, karena hanya dalam kurun waktu delapan tahun saja, desa-desa yang miskin absolut, makan pun susah berubah total seluruhnya jadi desa industri mandiri berbasis Agro, Marine, Kreatif dan Pariwisata.
Sebagai ujung tombak gerakan revolusi mental di Indonesia adalah Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Menteri Pendidikan. Memang pada periode periode pertama Presiden Jokowi, penerapannya masih kurang. Bagi Menteri Pendidikan sekarang, Nadiem Makarim seharusnya bisa memasukan revolusi mental dalam kurikulum pendidikan.
Agar revolusi mental di Indonesia berhasil, perlu 5C. Pertama, CEO commitment di tingkat atas dan ditingkat bawah. Sebagai CEO di Indonesia di tingkat atas adalah Presiden Jokowi dibantu Deputi CEO yakni Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Kemudian Gubernur dengan wakilnya di tingkat Provinsi, Bupati dan Wakilnya di tingkat Kabupaten dan di tingkat bawah Kepala Desa dan Wakilnya. Kedua, adanya champion di antaranya para menteri. CEO juga harus didukung para champion, yakni para menteri dan para Dirjen atau Kadis di level Provinsi dan Kabupaten. Tiga, community participation yang digerakan para champion bersama CEO, yang harus ada di level kementerian, provinsi, kabupaten hingga di tingkat kelurahan dan desa sebagai komunitas terkecil.
Keempat, adanya competition untuk mencapai kinerja utama. Lalu kelima, care incentive dan cash incentive yang diberikan langsung oleh Presiden kepada para community participation terbaik. Sebagai contoh di Korsel, desa yang terbaik mendapatkan care incentive berupa akses langsung untuk menghubungi Presiden. Adapun para leader dari community participation terbaik juga memperoleh cash incentive, di antaranya anaknya mendapatkan beasiswa.
Langkah Presiden Jokowi mencanangkan gerakan revolusi mental, sudah benar tetapi perlu dikembangkan seperti di Korea Selatan. Gerakan revolusi mental di Indonesia berkaitan dengan, satu, etos kerja yang meliputi kerja keras, kerja ikhlas dan kerja tuntas
Kedua, integritas. Di Korea Selatan, integritas diterjemahkan sebagai berdikari. Ditambah dengan ungkapan inetegritas mereka: “Malu menjadi benalu”. Begitu pula dengan Indonesia, seharusnya ditegaskan bahwa kita bukan bangsa parasit, bukan bangsa yang suka meminta-minta, bukan bangsa yang lebih suka impor. Korea Selatan juga menerjemahkan berdikari dengan “Beli desa bela bangsa”. Maksudnya, bila membeli produk-produk desa atau produk sendiri, berarti membela bangsa.
Ketiga, bergotong-royong. Masyarakat Korea Selatan meyakini kerja bersama akan lebih sukses. Bila kita kuat dalam hal etos kerja dan integritas maka kita hanya kuat untuk diri sendiri. Tetapi bila kita juga memperkuat dalam hal gotong-royong, saling tolong menolong dalam kebaikan maka kita akan kuat sebagai sebuah bangsa.
Pelaksanaan revolusi mental di Indonesia dan Korea Selatan sama-sama dipimpin oleh Presiden, namun hasilnya berbeda. Ini karena selama tiga tahun pertama Korea Selatan membuat kurikulum revolusi mental. Juga dilakukan sosialisasi revolusi mental selama satu hari, workshop selama tiga hari. Selanjutnya dilakukan training selama 7-15 hari. Dilanjutkan masa inkubasi 30-90 hari. Bahkan, di setiap provinsi ada akademi mengajarkan revolusi mental hingga praktek.
Di Korsel terdapat 17 perguruan tinggi yang mengajarkan kurikulum tentang Saemaul Undong. Yang paling spektakuler, selama dua tahun pertama dengan kurikulum yang ada Presiden Korea Selatan mengajar langsung di awal kepada seluruh menteri, dirjen, tentara, polisi, tokoh agama, ulama, rektor. Total mencapai 680 ribu orang. Mereka langsung dibuatkan SK pelatihan tersebut. Tidak heran mereka menjadi bangsa yang radikal dalam menuntaskan kemiskinan, kesenjangan dan kebodohan.
Bila kita tidak bisa mencontoh semua yang ada di Korsel, sebaiknya Kementerian BUMN harus membuat materi revolusi mental yang standar, paling mudah replikasi saja ala Saemaul Undong. Implementasi revolusi mental di Korsel juga dicek setiap enam bukan sekali menggunakan key performance indicator (KPI).
Revolusi mental di Korsel dibangun atas lima pilar. Pilar pertama, “Bina Karakter dan Insani”. Bina karakter artinya mendidik tiga karakter yakni pantang menyerang (etos kerja), malu jadi benalu (integritas) dan bergotong-royong. Setelah dididik, mental masyarakat akan berubah menjadi mental can do, will do, must do. Ini sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi yakni membangun mental deliver bukan hanya mental send. Deliver artinya must do, ada hasilnya.
Pilar kedua, dalam pelaksanaan revolusi mental adalah “Betah Rumah”. Maksudnya, setiap rumah harus membuat betah penghuninya dengan standar harus tersedia air, listrik, jamban. Hal ini dilakuan secara bergotong-royong. Bila dalam sebuah desa ada 20 rumah yang jelek tidak memenuhi standar “betah rumah” dibenahi bersama-sama. Bila semua rumah di desa sudah membuat betah penghuninya, berarti revolusi mental sudah berhasil. Revolusi mental dianggap berhasil bila derajat partisipasi membangun desanya tinggi dan ini dibuktikan dari dana desa hasil saweran masyarakat desa sangat tinggi, bukan dana desa dari APBN.
Pilar ketiga adalah “Betah Desa” di mana infrastruktur desa harus dibenahi. Jalan dibuat bagus, sanitasi bagus, tersedia air dan listrik. Semua dikerjakan bersama secara patungan. Berbeda dengan di Indonesia berasal dari dana desa APBN. Dengan demikian, orang desa merasa betah di desanya.
Pilar keempat, “Berkah Sejahtera”. Berarti orang miskin dan pengangguran sudah tidak ada. Semua warga desa bergabung dalam koperasi (bina saudara dan institusi). Koperasi desa di Korsel (Saemaul Geumgo) seperti yang pernah di tulis oleh harian Kompas, sudah ada yang mempunyai aset Rp2.000 triliun. Profit atau Sisa Hasil Usaha (SHU) sudah menembus Rp70 triliun di tahun 2016. Melebihi aset empat bank BUMN kita saat itu.
Pilar kelima, Saemaul Factory atau Satu Desa Satu Industri (SDSI). Di mana satu desa atau beberapa desa terdapat industri yang dimiliki oleh koperasi desa sebagai plasma dan bergabung dengan usaha besar seperti Samsung sebagai Inti. Hal ini bisa dilakukan di Indonesia oleh BUMN. Erick Thohir sebagai Menteri BUMN bisa melakukan hal tersebut dengan memanfaatkan dana CSR dan PKBL BUMN. Atau membangun pabrik CPO dengan BUMN Perkebunan sebagai inti dan Koperasi Petani atau BUMDes Desa sawit sebagai plasma, namun hubungannya sebagai sesama pemegang saham di pabrik CPO nya bukan pemasok tandan buah segar (TBS) saja.
Ingat, saat ini BUMdes atau Desa memiliki Dana Desa yang bila digabungkan desa perkabupaten saja, maka bank atau pabrik sawit gula atau karet bisa diakuisisi. Dan itu semua sudah ada caranya di buku peta jalan Industri Desa yang diterbitkan oleh KEIN. Wallahu alam bish showab.