
Oleh: Aries Heru Prasetyo, Ph.D, Vice Dean Research and Innovation PPM School of Management
Inovasi di era digital menjadi keharusan. Namun survei yang dilakukan oleh salah satu konsultan besar dunia di awal tahun 2018 lalu mengungkapkan bahwa, 71 persen pimpinan puncak perusahaan memandang inovasi sebagai hal yang paling melelahkan.
Beberapa di antaranya bahkan secara eksplisit menyatakan tak jarang pengembalian investasi atau yang lazim dikenal dengan return on investment (ROI) belum mampu mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya. Sisanya sebanyak 29 persen masih berharap untuk dapat meraup keuntungan lebih melalui inovasi.
Sejak saat itu, riset-riset di bidang inovasi marak dilakukan tidak lagi sebatas membangun kerangka berpikir terkait bagaimana agar proses tersebut berlangsung secara produktif, namun juga dilakukan dengan menjajaki komponen-komponen lain yang mendukung keberhasilan inovasi. Dua komponen yang ditengarai memiliki kompetensi tersebut adalah big data –data mining dan artificial intelligence.
Memasuki tahun 2019, beberapa peneliti mulai mengadopsi peran big data, data mining dan sistem kecerdasan buatan. Meski tak lagi tergolong baru, namun kolaborasi ketiga sistem tersebut dapat dikategorikan sangat baru.
Big data memberikan peluang bagi para perumus inovasi untuk mempelajari karakteristik pasar secara lebih tajam dan terperinci. Kita tidak hanya memahami apa yang menjadi selera konsumen, namun juga pola pembayaran yang menjadi primadona hingga hal-hal lain yang membangun karakter konsumen di setiap segmen. Dengan memahami pola tersebut, kita dapat mendesain strategi inovasi khusus di setiap kelompok pasar. Ini tentunya akan memperbesar peluang bagi perusahaan untuk meraup keuntungan lebih besar.
Simpulan di atas tentu membutuhkan aplikasi teknik penambangan data atau yang dikenal dengan istilah data mining. Kemampuan data mining dalam memprediksi inovasi bagi pasar kemudian berkembang dengan dukungan penuh dari sistem kecerdasan buatan atau yang disebut Artificial Intelligence (AI). Sistem ini dilengkapi dengan algoritma yang mampu menjaga konsistensi pola pikir yang ditanamkan. AI hanya akan mengakomodir subjektivitas bila elemen ini turut diprogramkan.
Pada konteks bisnis, salah satu peran AI yang terbilang sangat sederhana adalah ketika manajemen ingin memetakan kelayakan sebuah investasi berbasis aktivitas inovasi. Melalui pertanyaan yang diajukan, sistem akan membaca beberapa dimensi seperti tingkat risiko yang ditolerir oleh perusahaan, tingkat keuntungan yang diharapkan, serta kendala-kendala lain yang berpotensi menurunkan kemampuan inovasi dalam mencapai tujuannya. Di sinilah konsistensi logika berpikir dari sistim mutlak dibutuhkan.
Pada percobaan yang dilakukan di salah satu universitas terkemuka di negeri Paman Sam, tampak bahwa simpulan kelayakan yang diberikan oleh sistem dinilai jauh lebih objektif daripada yang dibuat oleh manusia. Dan uniknya, mereka yang di awal mengatakan bahwa sebuah ide inovasi layak maka bisa jadi di akhir simpulan malah menentang pendapat tersebut. Perubahan tersebut sering dipicu oleh unsur subjektifitas dalam penilaian. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem.
Pemanfaatan AI untuk kepentingan ini juga meningkat drastis. Survei yang dilakukan oleh KPMG mencatat bahwa setidaknya terdapat 73 persen responden dari manajemen puncak yang kini mulai menumpukan inovasinya pada dukungan sistem kecerdasan buatan.
Selain lebih cepat dan akurat, sistem juga memberikan kontribusi besar dalam membangun sejumlah alternatif keputusan. Dengan demikian manajemen berpeluang untuk mempelajari untung-rugi serta dampak bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.