Jakarta, Bumntrack.co.id – Pemerintah Indonesia telah menetapkan peta jalan untuk pengembangan ekosistem ketenagalistrikan berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Hadir di Electricity Connect 2025, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Dadan Kusdiana, menegaskan komitmen pemerintah untuk mereduksi emisi di sektor energi dengan target mencapai net zero emission di tahun 2060 atau lebih cepat.
Komitmen tersebut telah disahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Ada beberapa kebijakan strategis dalam PP 40/2025 tersebut. Yang paling utama adalah memaksimalkan potensi EBT di negara ini. Kami menargetkan 19-23% bauran energi nasional pada tahun 2030 berasal dari EBT,” jelas Dadan di Jakarta, Rabu (19/11/25).
Selain itu, pemerintah telah menyusun implementasi agenda transisi energi di Indonesia dalam Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang akan dibahas di Konferensi Perubahan Iklim Dunia COP30 di Brasil. Dalam dokumen tersebut, pemerintah merancang langkah lanjut pengurangan bahan bakar fosil di sektor energi yang sebelumnya sebesar 34% di tahun 2019 telah menjadi 29% di tahun 2024.
“Angka ini menunjukkan bahwa transisi kita dalam hal energi bersih membuahkan hasil yang baik,” imbuh Dadan.
Melengkapi pernyataan tersebut, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar menyampaikan, pemerintah telah menuangkan rancangan transisi energi bersih, terutama sub sektor ketenagalistrikan, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.
Ketentuan penting yang dimuat dalam dua kebijakan tersebut meliputi, pembangunan pembangkit hingga 2034 direncanakan mencapai 120 Gigawatt (GW) dengan porsi 79% akan diisi oleh pembangkit berbasis EBT.
“Penambahan kapasitas pembangkit tersebut juga akan didukung oleh Super Grid serta sistem penyimpanan energi untuk menjamin fleksibilitas dan keandalan sistem kelistrikan nasional. Super Grid yang akan dibangun akan menghubungkan sistem tenaga listrik yang ada di internal pulau, dan secara bertahap akan menghubungkan sistem listrik antarpulau-pulau besar,” papar Wanhar.
Dari rancangan tersebut, pemerintah menargetkan interkoneksi antarpulau Sumatra-Jawa akan terwujud di tahun 2029. Sedangkan interkoneksi Sumatra-Bintan-Batam ditargetkan rampung di tahun 2031, Bali-Lombok-Sumbawa di 2035, Kalimantan-Jawa di 2040, Sumbawa-Flores dan Kalimantan-Sulawesi di 2041, serta Sumbawa-Sulawesi di tahun 2045.
“Super Grid menjadi kunci transisi energi menuju net zero emisi di tahun 2060. Dan akan memberikan banyak dampak positif untuk sistem energi nasional seperti mengatasi mismatch sumber EBT dengan pusat permintaan listrik dan memungkinkan pertukaran sumber EBT dari masing-masing pulau,” tukasnya.
Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Suroso Isnandar, memaparkan lebih detail rencana pengembangan jaringan transmisi hijau sepanjang 48.000 kilometer sirkuit (kms) dan pembangunan jaringan distribusi sepanjang 200.000 kms untuk mengakomodasi masuknya listrik dari pembanggkit EBT ke dalam sistem kelistrikan nasional.
Ia kemudian mengingatkan bahwa ada berbagai tantangan yang mesti dituntaskan untuk mewujudkan visi besar tersebut. Termasuk di antaranya adalah tantangan teknologi Smart Grid, baterai yang mampu menampung listrik EBT secara masif, hingga besarnya investasi untuk membangun semua infrastruktur tersebut.
“Kita menjalankan separuh saja dari ini, itu pun sudah sangat masif. PLN tidak akan bisa sendiri dalam investasi sebesar itu. Sehingga, sisanya kita ajak sektor swasta untuk turut serta,” ujar Suroso.








