Filosofi Pencak Silat
Permintaan kedua orangtua untuk kembali ke kampung halaman sempat membuat Usni Syafrizal bimbang. Maklum, meski memiliki darah keturunan Aceh dan Minang, Usni tak pernah menjalani kehidupan di kedua kota tersebut.
Lahir di Yogyakarta, Usni melalui masa kanak-kanaknya di Kota Gudeg untuk mengikuti penugasan sang ayah. Rutinitas itu berlangsung hingga Usni mengenyam pendidikan di bangku kuliah.
Saat orangtuanya pensiun dan kembali ke Aceh, permintaan untuk pulang ke Aceh terus mendesaknya. Ia pun menuruti permintaan tersebut, meski sebelumnya, setelah lulus Universitas Gadjah Mada (UGM) ia sempat mendaftar pekerjaan di Jakarta.
Sekembalinya Usni ke Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) atau PIM membuka lowongan sejalan dengan rencana perusahaan mengembangkan PIM 2. “Kebetulan latar pendidikan saya Teknik Sipil, saya merasa ada kecocokan dengan disiplin ilmu yang saya tekuni,” gumam Usni.
Gayung bersambut, pria kelahiran 28 Februari 1963 itu resmi bergabung di PIM tahun 1988. Berbagai dinamika ia lalui. Dari menikmati zaman kejayaan PIM, hingga ujian ketika melewati masa sulit. “Dulu pernah istilahnya kami hidup tiga bulan mati tiga bulan. Sehingga kami sampai harus merumahkan orang,” kenangnya. Belum lagi, puluhan tahun tidak ada akselerasi kompetensi sama sekali.
Di sanalah kapabilitasnya diuji. Sebagai putera daerah yang bekerja di perusahaan plat merah kebanggaan Aceh, Usni senantiasa mengutamakan nilai-nilai integritas, kejujuran dan keterbukaan dengan karyawan. Ia berprinsip untuk mengayomi, agar antar karyawan dan pimpinan memiliki rasa kebersamaan dan kepercayaan.
Tahun 2002, PIM baru kembali membuka program perekrutan karyawan, di mana banyak bergabung talent-talent muda yang unggul dan enerjik. PIM mulai melakukan akselerasi kompetensi dengan memberikan beasiswa full kepada karyawan terpilih untuk melanjutkan sekolah baik di dalam maupun luar negeri. “Peningkatan kompetensi ini diharapkan bisa mempengaruhi lingkungan kerjanya,” ujar Usni.
Keteladanan yang ia terapkan dalam memimpin ada kaitannya dengan hobi yang ia lakoni. Usni yang merupakan seorang pesilat ini memegang teguh filosofi beladiri asal Indonesia itu. “Filosofi di Merpati Putih yang saya pelajari adalah ‘mencari sesuatu sampai mendapatkan dengan ketenangan jiwa’. Begitupula ketika kita berhadapan dengan suatu kondisi, apapun yang terjadi kita harus tetap tenang, sesuai dengan nilai-nilai tadi, ada ketenangan, keberanian, ketegasan dan kedisiplinan,” urai ayah dua anak ini tersenyum.
Saat ini, meski tidak lagi menjadi pasilat yang bertarung di matras, Usni melanjutkan hobinya itu dengan menjadi pembina bagi bibit-bibit pesilat yang ada di Aceh, khususnya di Politeknik Lhokseumawe. Di sana, ia telah menelurkan ribuan pesilat yang memiliki jiwa kesatria.