Gebrakan Menteri BUMN harus Berkelanjutan
Oleh: Eko Listiyanto
Wakil Direktur Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF)
Langkah awal Menteri BUMN Erick Thohir melakukan perampingan organisasi Kementerian BUMN merupakan keputusan yang tepat. Pemangkasan tersebut dengan cara mengurangi jumlah deputi menteri dari tujuh menjadi tiga deputi yang masing-masing menangani bidang hukum, bisnis dan SDM. Dengan melakukan pemangkasan tersebut, Erick ingin membuat BUMN lebih lincah dengan mengurangi intervensi terkait kepentingan pemerintah. Langkah pemangkasan itu sebenarnya hanya menimbulkan efek administratif saja.
Bila kita ingin BUMN bergerak cepat, salah satunya dengan mengurangi intervensi Pemerintah. Dengan adanya pemangkasan birokarasi, mata rantai birokrasi menjadi lebih simple. Langkah awal tersebut hanya merupakan perubahan internal, dimana semua menteri bisa saja melakukan hal tersebut. Perubahan tersebut hal wajar karena Erick berasal dari profesional. Ia bukan orang partai. Di samping itu Erick dikenal berasal dari dunia usaha dimana usahanya dikenal karena memang kompetitif dan efisien dalam pengelolaannya.
Adanya perampingan pada awal masa jabatan merupakan hal tepat sebelum ada keterikatan emosi yang lebih besar nantinya. Kalau masih awal, aspek ewuh pakewuh (perasaan tidak enak hati) belum terlalu besar. Yang lebih penting, mereka yang terkena dampak dari perampingan organisasi di Kemenerian BUMN, sebenarnya sudah diberikan kesempatan pada masa pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo. Ternyata dalam banyak aspek, BUMN kita belum banyak yang optimal. Itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan sehingga reformasi di Kementerian BUMN cukup drastis dilakukan Erick.
Hanya saja, apakah ini akan memberikan impact kepada BUMN? Saya rasa belum, kalau perubahan-perubahan tersebut tidak berkelanjutan. Misal dengan melakukan perampingan pada seluruh BUMN sehingga terjadi perubahan secara total terhadap seluruh BUMN. Semua perubahan tersebut bergantung kepada kemauan Erick sebagai pimpinan seluruh BUMN. Terlebih ia sudah mendapat amanat dari Presiden Joko Widodo untuk membenahi dan mengoptimalkan kinerja BUMN. Problemnya seperti yang diungkapkan sendiri oleh Erick, dari 142 BUMN banyak yang bisnisnya tidak fokus. Belum lagi anak dan cucu perusahaan yang berjumlah sekitar 600 perusahaan.
Menteri BUMN pun harus berani menyentuh hingga ke level anak dan cucu perusahaan BUMN. Jika tidak ada keberanian melakukan merger dan akuisisi di antara BUMN yang ada, perubahan saat ini tidak akan ada efeknya. Semua BUMN harus ramping. Bila melihat kedekatan Menteri BUMN Erick Thohir dengan Presiden Joko Widodo dan amanat yang diberikan kepada Erick, seharusnya ia berani melakukan perampingan dan perombakan yang tidak lazim. Kalau Erick tidak berani, apa yang sudah dilakukan selama ini hanya akan berhenti di tengah jalan.
Gebrakan awal tersebut hanyalah solusi awal dari panjangnya rantai birokrasi yang ada di BUMN. Belum lagi BUMN diisi oleh orang politik yang kapasitasnya masih kurang. Sekarang saja Erick menekankan aspek akhlak dan cerdas yang berarti juga harus profesional. Kalau hanya melakukan perombakan internal, tidak akan ada maknanya kecuali bila dilanjutkan dengan perombangan dan perampingan di BUMN.
Ekspektasi Tinggi sebagai Modal Utama
Adanya ekspektasi yang tinggi kepada Menteri BUMN yang baru merupakan modal utama. Setiap kali Presiden mengganti Menteri BUMN, tentu ada harapan yang besar akan terjadi perubahan dan perbaikan. Erick juga memilki modal politik yang besar, karena bukan hanya mendapat dukungan dari Presiden tapi juga dari DPR sebagai representasi perwakilan rakyat, ditambah lagi Erick berasal dari kalangan profesional.
Ujungnya, Menteri BUMN harus bisa membuat BUMN lebih sehat. Jumlah BUMN yang masih kecil kontribusinya terhadap pendapatan untuk negara, bisa bertambah meningkat. Jika jumlah BUMN yang memberikan keuntungan terbesar kepada negara masih juga 15 perusahaan, lama-kelamaan publik akan berpikir, kemarin apa saja yang dikerjakan karena setelah ditotal ternyata hasilnya sama.
Adanya ekspektasi terhdap Menteri BUMN adalah hal wajar karena periode awal dari sebuah kepemimpinan ada ekspektasi. Tinggal apakah harapan tersebut berbuah manis dengan adanya peningkatan kinerja BUMN atau hanya berhenti pada harapan. Harapan pun kalau tidak ada perubahan sigifikan terhadap kinerja, malah tidak berubah. Sekarang ini baru 76 persen pendapatan BUMN diperoleh dari 15 besar BUMN. Sisanya tentu harus diupayakan agar kontribusinya meningkat.
Terkait rencana Kementerian BUMN mengubah superholding menjadi subholding, secara umum prinsipnya, selama Kementerian BUMN yang baru ini bisa menyediakan sebuah konsep yang lebih jelas, disertai perspektif dan kajian yang jelas bahwa model subholding akan lebih baik, maka hal tersebut perlu juga dilakukan. Maksud saya, konsekuensi dari gebrakan pertama tadi perlu dilanjutkan dengan gebrakan-gebrakan selanjutnya yang diprediksi tak akan jauh dari perampingan, baik melalui merger dan akuisisi. Tidak elok bila jumlah BUMN kita ada 142 perusahaan dan akan bertambah banyak dengan adanya anak dan cucu perusahaan, ada sekitar 600 perushaaan. Dari jumlah tersebut, bisnis perusahaan satu dan lain terkadang sama saja.
Saya setuju dengan konsep subholding. Keduanya, baik subloding dan superholding, memiliki keunggulan masing-masing. Untuk superholding, bila kita inginkan BUMN mampu bersaing di kancah internasional, itu merupakan salah satu jawabannya. Tetapi, superholding yang menjadi acuan BUMN kita adalah Temasek atau Khazanah. Mereka memang berfungsi profit yang merupakan bagian dari fungsi agent of development. Bagi negara yang sudah maju, model tersebut mungkin tepat. Tetapi di Indonesia sekarang ini yang terjadi BUMN beranak-pinak. Perusahaan satu sama lain memiliki lini bisnis yang tidak jelas.
Saran saya kepada Menteri BUMN, lebih baik kita menarik ke filosofi BUMN terlebih dahulu, BUMN sesuai amanat UUD 1945 pasal 33 yaitu menguasai hajat hidup orang banyak, setelah itu baru ke hal yang strategis. Jadi, pertama, bila dari 142 BUMN ada sebagian besar BUMN yang tidak sehat maka dari konteks strategisnya sudah tidak tercapai. Kedua, BUMN membuat bisnis- bisnis yang sebenarnya bisa dilakukan sektor swasta dengan mudah seperti bisnis perhotelan, resort dan lain-lain. Ini tidak ada nilai strategisnya.
Bila dikembalikan ke pasal 33 UUD 1945, tidak ada yang bisa membantah. Kalau kita berbicara tentang pangan, misal Bulog masih merugi pun tetapi dalam konteks lain kita masih membutuhkan Bulog. Begitu pula bila terkait energi, orang masih akan melihat Pertamina. Ini karena masyarakat melihat dalam konteks strategis. Siapa pun membutuhkan Bulog dan Pertamina. Sekarang ini cabang-cabang BUMN sudah terlalu banyak, dan terkadang bisnisnya tidak jelas sehingga nantinya harus ada perampingan organisasi BUMN.
Keberadaan BUMN juga perlu disesuaikan dengan UU. Holding harus dikembalikan kepada fungsinya. Jadi harus mendukung core business induk perusahaannya agar saling men-support. Seiring anak usahanya bagus, core business-nya juga harus bagus. Kalau sekarang, core business menjadi semacam portofolio. Mungkin ada BUMN yang bagus, katakanlah Pertamina punya Patra Jasa yang juga sudah untung. Ini kan bagus. Kalau bisnisnya migas sebaiknya fokus ke migas dan turunannya. Bisnis lain biar dikerjakan BUMN sektor lain. Kalau BUMN mempunyai bisnis yang sama, mereka akan saling memakan kue yang sama.
Sedangkan terkait keinginan agar Kementerian BUMN memiliki hak melakukan merger dan akuisisi terhadap BUMN, itu merupakan konsekuensi bila hendak memangkas anak-anak perusahaan. Menteri BUMN membutuhkan dasar hukum untuk melakukan hal tersebut.