
Transformasi yang gencar digaungkan Pelindo IV kian memperluas cakupan bisnis perusahaan dari yang sebelumnya hanya melayanijasa kepelabuhanan berkembang ke hilirisasi industri di pelabuhan demi mewujudkan ekosistem maritim Indonesia.
PT Pelindo IV (Persero) merupakan salah satu dari empat pelabuhan plat merah di Indonesia yang dikelola untuk kebutuhan komersial. Dengan luas wilayah kerja mencakup ±863.748 km² atau sebesar ±49,7 persen dari total area Indonesia, Pelindo IV beroperasi di 11 provinsi dan 28 cabang yang tersebar dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Ambon, Ternate hingga Papua dan Papua Barat.
Mengusung tagline ‘Great Ports, Great Connectivity, Great Indonesia’, Pelindo IV menggambarkan kemajuan pelabuhan, dinamisasi dan konektivitas seluruh wilayah Indonesia secara umum sekaligus menjadi pendorong kemajuan wilayah Indonesia Timur secara khusus. Dari tagline tersebut, lahirlah value: InteGrity, sineRgistic professional, innovative dan sTatisfied Customer yang menjadi acuan perusahaan dalam menopang kinerjanya.
Direktur Utama PT Pelindo IV (Persero), Farid Padang mengatakan, capaian yang diraih perusahaan dalam lima tahun terakhir cukup menjanjikan. Sebut saja peringkat kesehatan perusahaan “AA” dengan nilai 94,13 pada tahun lalu. Perseroan juga berhasil meraih score Good Corporate Governance (GCG) sebesar 86,89 dan ditargetkan pada 2919 ini naik menjadi 90,88.
Peningkatan performa ini turut mendorong meningkatkan Kriteria Penilaian Kinerja Unggul (KPKU) Pelindo IV dari good performance di tahun 2018 menjadi emerging industry leader pada tahun ini. “Saya kasih tantangan kepada seluruh pegawai untuk naik kelas. Saya katakan, kita jangan lagi berada pada posisi good performance tetapi sudah mesti masuk emerging industry,” ungkap Farid Padang bersemangat.
Pelindo IV juga mencatat kinerja keuangan yang tumbuh signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, perusahaan yang memiliki asset melampaui Rp10 triliun itu berhasil mencatat pendapatan Rp3,4 triliun pada 2018. Pada akhir 2019, target pendapatan meningkat menjadi Rp4,6 triliun yang hingga Juli 2019 telah tercapai Rp2,1 triliun.
Sedangkan dari sisi perolehan laba, tahun lalu Pelindo IV mampu meraup untung sampai Rp482 miliar, sementara target laba tahun ini meroket menjadi Rp807 miliar.
Membangun Raksasa Maritim
Pelindo IV yang memiliki visi menjadi perusahaan pengelola pelabuhan yang terintegrasi, berdaya saing tinggi, dan bertaraf internasional itu agresif mencari ceruk pendapatan baru demi mengembangkan wilayah Indonesia Timur. Perusahaan juga berperan aktif dalam proyek strategis nasional untuk mendorong perekonomian Indonesia, khususnya melalui jalur maritim, salah satunya dengan membangun Makassar New Port (MNP). Dengan total investasi Rp89 triliun, MNP ditargetkan rampung pada 2025 hingga terbangunnya MNP Integrated Economic Zone.
Pembangunan MNP menjadi sangat mutakhir mengingat sistem dermaga yang dipakai menggunakan metode secant pile dengan sistem boring. Sistem tersebut meningkatkan efisiensi waktu pengerjaan dan biaya yang diperlukan namun tetap menjaga kualitas dari dermaga. Farid mengatakan, metode ini dirancang untuk ketahanan 100 tahun dan merupakan metode pertama di Indonesia. Tak hanya di MNP, metode serupa rencananya juga akan dikembangkan di pelabuhan-pelabuhan wilayah Indonesia Timur lainnya seperti di Kalimantan Timur, Maluku, Sorong hingga Jayapura. “Ini adalah produk anak bangsa, dan kami akan mendaftarkannya ke HKI (Hak Kekayaan Intelektual-red) sebagai produk yang diciptakan oleh Pelindo IV,” ungkap Farid.
MNP menjadi proyek kebanggaan yang digadang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia, khususnya dari wilayah Timur. Dari total area seluas 1.428 hektar, sebesar 1.200 hektar di antaranya digunakan khusus untuk lokasi hilirisasi industri yang akan mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Konsep ini sesuai dengan rencana Presiden, yakni membangun industri di dalam pelabuhan untuk kepentingan hilirasi.
Proses hilirisasi ini tentu akan meningkakan niai ekspor sekaligus mengubah neraca perdagangan yang selama ini negatif menjadi positif. Misalnya, rumput laut diolah menjadi agar-agar, ikan yang dikemas kalengan, CPO menjadi minyak goreng, termasuk pengolahan nikel dari Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang diolah menjadi berbagai produk turunannya. Dengan begitu, Makassar New Port adalah industri pertama yang berdiri di dalam pelabuhan.
“Keberadaan MNP menandakan lahirnya industri baru dalam sejarah maritim Indonesia, di mana hilirisasi tercipta atas keberadaan pelabuhan yang terintegrasi dengan industri, sehingga mampu menekan cost logistic yang selama ini menjadi tantangan bagi pelaku industri pelabuhan. Dengan adanya hilirisasi industri, kita bisa raih efisiensi biaya ekspor melalui rute langsung atau direct call hingga 75 persen,” ungkap Farid.
Saat ini, MNP tahap 1A resmi beroperasi pada April lalu. Pembangunan MNP tahap 1A menelan investasi sebesar Rp1,8 triliun yang merupakan bagian dari obligasi senilai Rp3 triliun. Selanjutnya, Pelindo IV tengah menyelesaikan pengerjaan Makassar New Port tahap 1B dan 1C dengan nilai kontrak sebesar Rp 2,8 triliun. Pengerjaan ini diburu lantaran untuk merampungkan target pembangunan sepanjang 1.000 meter di Makassar New Port agar dapat disandari lima kapal sekaligus. Hingga saat ini, sudah lebih dari 180 kapal yang beroperasi dan dilayani oleh Pelindo IV di MNP.
Selain meningkatnya nilai jual berkat hilirisasi, keberadaan MNP juga mempercepat jangka waktu ekspor. Pada tahap awal, berdirinya MNP berhasil menurunkan biaya logistik sebesar 20 persen. Hal ini terjadi karena pengiriman barang dilakukan langsung dari Sulawesi, tanpa harus bergerak terlebih dahulu menuju Jakarta atau Surabaya. Keunggulan-keunggulan inilah yang menyebabkan kehadiran MNP diprediski mampu menyamaratakan pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur Indonesia dengan wilayah Barat yang telah lebih dahulu tumbuh signifikan.
Di sisi lain, pertumbuhan ekspor ke berbagai negara juga meningkat. Contoh, pengiriman barang ke Shanghai, China, melalui keberangkatan dari Sulawesi, maka jangka waktu pengiriman berbagai komoditas dari jalur laut itu terpangkas menjadi sembilan hari saja, dari yang sebelumnya ditempuh dalam waktu 24 hari. Letter of credit (LC) dapat dicairkan dari yang tadinya 30 hari menjadi 2 hari saja. Begitu pula efisiensi biaya yang dapat turun hingga 75 persen dengan adanya direct call.
Dengan waktu tempuh yang lebih singkat, kualitas ekspor dapat terjaga dengan grade yang sama karena waktu tiba di tujuan di bawah 20 hari dengan syarat ketahanan pendingin minimal 20 derajat. “Batas maksimumnya 20 hari, kalau lewat dari itu, kualitas produknya sudah menurun dan akan berpengaruh pada jumlah pembayaran,” ujarnya.
Kemudian, menurutnya, yang lebih signifikan bahwa selama ini neraca perdagangan impor lebih besar 20 persen dari ekspor dengan porsi migas mengalahkan non migas. “Nah, komoditi yang kita ekspor ini kan kebanyakan non migas, maka dengan mengekspor langsung kita bisa membuat neraca perdagangan khusus komoditi menjadi positif,” imbuh Farid.
Ke depan, Pelindo IV meminta agar regulasi perdagangan dari ekspor dengan Free On Board (FOB) dan impor dengan Cost Insurance Freigh (CIF) diubah menjadi ekspor dengan CIF, karena harga tarif ekspor dapat lebih baik dengan tipe perdagangan seperti itu.
Pintu Gerbang Pariwisata
Wilayah kerja Pelindo IV yang terletak di Indonesia Timur membawa berkah tersendiri. “Surga” di timur Indonesia yang kaya akan destinasi wisata itu membuat sektor pariwisata menjadi keran pendapatan yang cukup menjanjikan bagi perusahaan yang pada tahun ini dinobatkan sebagai pemenang Terbaik Pengembangan Talenta Kategori Emerging Corporate dalam ajang Anugerah BUMN 2019.
Pelabuhan sebagai pintu gerbang pariwisata bukanlah wacana belaka. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk mendatangkan 20 juta wisatawan mancenegara pada 2020 mendatang. Pelindo IV bisa mengambil peran strategis dalam upaya tersebut. Di Sulawesi Selatan saja, contohnya, deretan destinasi telah menjadi pusat perburuan para turis. Sebut saja Tana Toraja yang kaya akan kearifan lokal ataupun Taman Nasional Takabonerate yang merupakan kawasan terumbu karang terluas di Asia Tenggara yang berada di Pulau Selayar. Belum lagi di provinsi lainnya.
“Di Indonesia Timur, banyak daerah pariwisata menarik seperti Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Raja Ampat di Sorong, Pulau Ora di Maluku dan masih banyak lagi yang bisa dikembangkan agar berintegrasi dengan pelabuhan milik Pelindo IV,” ungkap Farid bersemangat.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh-jauh hari Pelindo IV telah melakukan revitaslisasi terhadap beberapa terminal penumpang guna meningkatkan kenyamaman pengguna jasa pelabuhan. Beberapa langkah strategis pengembangan pariwisata juga telah disiapkan, antara lain mengembangkan aplikasi atau travel e-commerce platform untuk mendukung perkembangan e-tourism di Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur pada umumnya. Secara eksternal, aplikasi bernama http://JappaJappa.id yang dalam bahasa Sulawesi berarti ‘jalan-jalan’ ini diharapkan dapat memberikan infomasi terkini kepada para wisatawan asing maupun domestik terkait destinasi wisata di Sulawesi Selatan.
Tak hanya itu, perseroan juga tengah menyusun aplikasi digital untuk menawarkan paket wisata bagi penumpang kapal pesiar yang singgah di pelabuhan milik Pelindo IV. Selama ini, kapal-kapal cruise dari berbagai belahan dunia itu hanya singgah beberapa jam di pelabuhan. Dengan adanya aplikasi digital tersebut, mereka “dipaksa” menginap karena ada penawaran paket wisata menarik yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya di sekitar pelabuhan.
“Dari yang biasanya hanya bersandar delapan jam, kita harus buat agar kapal itu bisa sandar dalam waktu sekitar tiga hari, maka kita tawarkan paket pariwisata bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti traveloka, PHRI, agen pariwisata, Dinas Pariwisata maupun UMKM,” ujar Farid.
Jika cita-cita ini terwujud maka seluruh moda pelayanan akan terintegrasi. Penumpang kapal pesiar bisa menggunakan kapal-kapal kecil ketika akan menyeberang pulau yang ditawarkan dalam paket wisata. Jika membutuhkan jalur darat, bus DAMRI telah menunggu dan siap mengantarkan pelancong ke tujuan yang diinginkannya. Pelindo IV juga bisa bekerja sama dalam menyiapkan pesawat berbadan kecil jika dibutuhkan untuk menyambangi antar pulau di Timur Indonesia yang terkenal sangat indah itu. Dengan begitu, pendapatan sektor UMKM yang menyajikan suvenir ataupun kuliner khas daerah otomatis tergerek naik.
Konsep digitalisasi tak hanya diterapkan di sektor pariwisata, namun juga pada aktivitas di sekitar pelabuhan. Hal ini merupakan wujud keseriusan Pelindo IV yang juga dipercaya mengelola Integrated Billing System (IBS) bersama 3 BUMN pelabuhan lainnya, untuk beradaptasi di era industri 4.0. Inovasi baru yang telah mereka terapkan di antaranya menggunakan e-pass guna mengurangi pungutan liar, sekaligus meminimalisir peluang moral hazard di lingkungan pelabuhan.
“Optimalisasi dengan sistem digitalisasi tujuannya untuk efisiensi. Kelak semua pelabuhan kami akan terintegrasi dengan e-ticketing dan sistem e-pass pelabuhan. Di era Industri 4.0 saat ini kita harus mampu menciptakan ekosistem antar-pemangku kepentingan demi terciptanya tujuan bersama, yakni kesejahteraan,” pungkas Farid.
Lengkapnya aksi korporasi yang dilakukan Pelindo IV mencerminkan kesiapan perusahaan dalam menciptakan ekosistim maritim dari hulu ke hilir. Karenanya, Pelindo IV sangat mendukung rencana holding maritim oleh Kementerian BUMN untuk meningkatkan daya saing maritim sebgai Global Port. Pelindo IV saat ini juga membuka sinergi dengan tiga sektor yakni BUMN, Pemerintah Daerah dan swasta potensial demi terwujudnya dunia maritim Indonesia yang tangguh.