Governance BUMN Perlu Dukungan Semua Pihak
Oleh: Prof. Ir. Roy Sembel, M.B.A., Ph.D.
Professor in Financial Economics at IPMI International Business School
Kepemimpinan Erik Thohir akan membawa warna baru bagi Kementerian BUMN. Jika dinilai dari segi komitmen dan passion, Erick Thohir adalah orang yang sangat bagus, karena dari pengalaman internasional, pengalaman bisnis dan leadership yang kuat bisa menjadi bekal baginya untuk mempertahankan BUMN. Tetapi dia tidak bisa berdiri sendiri, perlu dibantu lembaga lain. Presiden pun mendukung penuh sehingga Kementerian lain, termasuk legislatif dan yudikatif juga harus membantu Erick Thohir dalam membenahi BUMN dan membangun governance BUMN.
Good Corporate Governance (GCG) memang baru populer saat mulai krisis 1998. Tetapi untuk sampai pada proses internalisasi yang substansinya bukan hanya formalitas dari struktur dan keberadaan organ-organnya agar sesuai dengan aturan GCG, itu masih perlu waktu. Saat ini kelihatannya arah GCG hanya sekadar compliance saja, yakni dari sisi keberadaan organ GCG seperti kelengkapan komite-komite, di antaranya komite audit, rapatnya pertahun berapa kali, ada komisaris independen atau tidak? Jadi hanya ke masalah formalitas, sekadar chek list saja. Tapi masalah substansinya dan sampai pada pelaksanaan yang intinya masih perlu waktu.
Dari masing-masing komponen GCG tersebut sudah ada kemajuan, tetapi masih perlu tahapan lebih lanjut yang lebih dalam, mengingat tahapan GCG mengandung lima prinsip yakni TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness). Intinya, perusahaan harus melakukan GCG secara bertanggung jawab agar menghasilkan nilai tambah yang besar dan berkelanjutan. Komitmen yang dilakukan oleh perusahaan tentu akan membawa dampak positif bagi stakeholders-nya. Jadi, yang selama ini terjadi di banyak perusahaan, pemahaman substansinya masih kurang, meskipun formalitasnya sudah banyak yang dijalankan. Tak mengapa, sebab pelaksanaan dan penerapan GCG membutuhkan waktu yang panjang.
GCG memang perlu pembenahan yang lebih dalam sehingga dibutuhkan waktu panjang, yang tidak selesai dalam waktu setahun dua tahun. Layaknya perubahan budaya, juga tidak terjadi dalam tempo satu hingga dua tahun. Bisa jadi pembenahan GCG ini berlangsung sampai satu generasi. Meski begitu, perjalanan panjang untuk menerapkan GCG tetap perlu dijalankan. Ini adalah salah satu indikator GCG, selain kepatuhan terhadap check list-nya, juga pada penerapan secara substansi. Ini yang harus diperhatikan.
Sebenarnya, kalau dilihat dari sisi GCG sendiri, cara penunjukkan direksi dan komisaris di BUMN belum benar-benar mencerminkan prinsip transperancy. Contoh, proses pergantian direksi dan komisaris, bila mengacu pada aturan GCG, maka proses tersebut harus melalui Komite Remunerasi dan kemudian dibahas di internal, baru ditetapkan. Tapi apa yang terjadi BUMN? Perubahan nama-nama di struktur organisasi biasanya terjadi satu jam sebelum RUPS. Saat hal itu terjadi, maka formalitas GCG-nya justru dilanggar. Jadi ada PR besar untuk kita semua.
Harap diingat, yang namanya good governance bukan hanya good corporate governance, tapi ada di dalamnya good public governance yang akan menyentuh sektor publik atau pemerintahan. Ada juga good regulatory governance yang berkaitan dengan regulasi, ada pula good market governance, apakah pasar-pasar finansial dan pasar-pasar produknya sudah mengikuti kaidah yang benar dan ideal. Jadi ada empat pilar yang satu dengan lainnya harus berjalan bersama. Intinya, secara ekosistem kita nanti akan lebih maju dan berkelanjutan. Keempat pilar tersebut harus benar-benar dijaga, agar ‘rumah’ good governance di negara ini bisa berjalan dengan baik.
Jika perusahaan hanya fokus memperbaiki GCG, namun good public governance belum berjalan dengan baik, termasuk yang berkaitan dengan kepemerintahan yang merupakan bagian dari good regulatory governance, atau good market, belum baik, biasanya akan jomplang. Maka kasus-kasus pelanggaran GCG seperti yang terjadi di beberapa BUMN akan muncul. Semua memang harus dibenahi.
Terkait gebrakan yang dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir di bulan-bulan pertama kepemimpinannya, hal tersebut sangat bagus. Akan tetapi Menteri BUMN tidak bisa bekerja sendiri. Ia tetap harus dibantu pihak lain, misalnya Kementerian BUMN, kementerian terkait atau kementerian teknis. Dan hal ini bukan hanya berlaku di eksekutif tetapi juga di legislatif. Begitu pula rencana menggandeng KPK untuk mengawasi BUMN, juga merupakan ide cemerlang. Namun harus diingat, pihak KPK juga harus menjalankan prinsip good governance. Apakah nanti mereka bisa menjalankan good regulatory governance sebagai pengawas. Kembali kepada good corporate governance yang harus mencakup good public, good regulatory dan good market.
Adanya skandal motor Harley yang berujung pada pencopotan Ari Askhara dan jajaran direksi Garuda Indonesia merupakan momentum yang sangat baik bagi Pak Erick. Dengan adanya kasus ini menjadi titik balik bahwa mengelola BUMN harus benar dan harus menggunakan cara-cara yang modern.
Ini kembali pada pendekatan ekosistem yang terpadu dan tidak sepotong-sepotong. Jadi semuanya harus dijalani secara serentak, good corporate governance, good public governance, good regulatory governance serta good market governance. Maka saya kembali mengingatkan, bahwa hal ini tidak bisa hanya dijalankan di Kementerian BUMN saja, tetapi juga harus digerakkan dengan kementerian teknis, kementrian koordinator serta kementerian-kementerian lainnya.
Dukungan juga bukan hanya dari jajaran eksekutif, tetapi juga harus dari legislatif seperti DPD, DPR dan MPR. Juga perlu support dari lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tinggi, Kepolisian serta Kejaksaan. Semuanya harus bekerjasama secara terpadu, tidak bisa sepotong-sepotong.
Peran Komisaris
Komisaris mempunyai kewewenangan untuk mengawasi dan menasihati, sekaligus memiliki otoritas untuk memberhentikan sementara direksinya. Yang kita harapkan terjadi kepatuhan secara berkelanjutan. Yang terjadi saat ini adanya pembangkangan secara sistematik. Salah satu penyebabnya, konsentrasi komisaris di Indonesia terpengaruh pada bonus-bonus yang bisa menyebabkan dia menjadi tidak terlalu tegas, terutama pada komisaris independen. Untuk mengawasi perusahaan, komsisaris harus diberikan “gigi” yang lebih kuat lagi. Artinya, bahwa keberadaan komisaris jangan sampai mengesampingkan kepentingan publik. Jangan pula kepentingan minoritas stareholders menjadi terbengkalai.
Terkait pemilihan Basuki Tjahaja Purna, atau akrab disebut Ahok, di Pertamina sebagai perwakilan dari pemegang saham Pertamina, langkah tersebut cukup bagus. Ahok yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina harus mengetahui tugas pokoknya. Keberadaan Ahok bisa mewakili kehadiran pemegang saham agar para top management dapat menjalankan kinerja yang baik dengan hasil yang bagus. Tetapi, jika Pertamina meruapkan perusahaan terbuka (Tbk), ada peran lebih lanjut dari seorang Komisaris Independen. Dialah yang mewakili publik, pemegang saham minoritas dan mewakili masyarakat pada umumnya. Ia harus memastikan bahwa perusahaan menjalankan prinsip triple buttom line, yakni profit, people, planet.