Hilirisasi Jangan Meninggalkan Industrialisasi
Oleh: Dr. M. Rizal Taufikurahman
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Berbicara program hilirisasi, sejatinya merupakan bagian dari industrialisasi. Hilirisasi merupakan proses mengubah bahan mentah (raw material) menjadi barang jadi atau bentuk lain sehingga memiliki daya saing dan nilai tambah pada barang tersebut. Ini merupakan salah satu proses menambah daya saing sebuah komoditas.
Kebijakan pemerintah melakukan hilirisasi sudah betul, tetapi jangan melupakan industrialisasi. Perlu diingat bahwa hilirisasi hanya sebuah proses yang bersifat parsial, lebih pada pengembangan satu produk atau komoditas saja. Salah satu contoh, hilirisasi komoditas nikel. Pada tier satu mengubah nikel menjadi feronikel dan masih ada tier berikutnya. Begitu pula pada komoditas aluminium, baja dan lainnya. Artinya, proses tersebut masih Panjang.
Maka bila pemerintah hanya mengembangkan hilirisasi saja, tidak cukup tetapi harus juga memperhatikan industrialisasi sehingga bisa terbetuk ekosistem sebuah industri. Pada program hilirisasi tidak membangun ekosistem dari industri tersebut.
Pada umumnya, dalam kegiatan industrialisasi mempunyai sebuah kawasan industri. Kawasan tersebut menggabungkan seluruh komponen untuk pengembangan sebuah produk industri. Caranya dengan membangun sebuah ekosistem industri atau lingkungannya. Adanya kawasan industri dapat menciptakan efisiensi yang berdampak positif terhadap daya saing produk komoditas.
Misal kawasan industri otomotif di Cikampek atau Karawang di Jawa Barat. Di kawasan tersebut sudah terbangun ekosistem industri. Di sana terdapat beberapa perusahaan yang membuat spare part kendaraan. Ada produsen ban dan sebagainya yang saling bekerja sama dengan sistem kemitraan. Berbeda dengan hilirisasi. Produk nikel yang diambil dari lokasi penambangan nikel di Sulawesi. Lalu nikel tersebut dibawa ke pabrik di suatu tempat untuk diolah menjadi produk turunan nikel.
Dalam hal ini tidak terbangun ekosistem industri pada kawasan sekitar pabrik tersebut. Katakanlah terbangun sebuah ekosistem industri, tetapi tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat di wialyah tersebut. Artinya, tujuan dari hilirisasi bisa tidak tercapai bila tidak dibarengi dengan membangun industrialisasi.
Adanya industrilialisasi yang memunculkan kawasan industri juga ikut membangun ekosistem industri tersebut. Jika berbicara industrialisasi dikaitkan dengan Kementerian/Lembaga (K/L), tentu yang harus bertanggung jawab adalah Kementerian Perindustrian. Namun terkait hilirisasi, yang bertanggung jawab bukan hanya Kementerian Perindustrian. Ada kementerian BUMN serta Kemenko Maritim dan Investasi. Terlebih Kemenko Maritim dan Investasi baru saja memiliki Divisi Hilirisasi.
Yang menjadi tantangan adalah membangun kolabarasi yang sinergis antara kementerian atau lembaga yang tentu berbeda kepentingan, supaya tujuan hilirisasi tercapai secara optimal. Termasuk memadukan tupoksi dari K/L terkait serta BUMN agar berperan dalam percepatan industrialisasi melalui program hilirisasi.
Di sisi lain, masalah yang dihadapi dan mesti diselesaikan saat ini adalah deindustrialisasi. Sebuah kondisi dimana industri tidak lagi mampu berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian negara. Salah satu indikasinya, kontribusi sektor industri terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional terus menurun.
Saat ini daya saing dari industri atau produktivitas kinerja BUMN bisa jadi banyak restriksi atau pembatasan dalam perdagangan. Adanya sejumlah tantangan tersebut justu dapat mengurangi akselerasi, inovasi dan kreatifitas BUMN tersebut. Padahal BUMN terdiri dari banyak perusahan dan beberapa holding BUMN. Ada holding BUMN pangan, holding BUMN karya, holding BUMN keuangan, holding BUMN perkebunan dan lainnya. Seharusnya holding BUMN tersebut yang mengayomi seluruh bisnis yang ada demi pengembangan ekonomi nasional, termasuk bisnis swasta.
Oleh karena itu, BUMN harus mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar daripada perusahaan swasta. Kalau mengacu pada UU BUMN, sebenarnya BUMN bersifat powerfull. Artinya, bargaining position BUMN harus lebih kuat dibanding swasta. Terlebih BUMN berperan sebagai agen perubahan (agent of change).
BUMN juga mesti menjalankan dua fungsi yakni bisnis dan layanan publik. Dua fungsi tersebut yang kerapkali menjadi challengging bagi BUMN. Padahal hasusnya BUMN tetap menjalankan binsis yang menguntungkan saja. Tetapi keuntungan BUMN tersebut seluas-luasnya harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Inkonsistensi Kebijakan
Dalam konteks Pemilu 2024, meski presiden sudah pasti akan berganti, namun selama kebijakan hilirisasi tidak diubah, tentu akan terus berjalan sesuai rencana. Biasanya presiden yang baru mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Bisa saja presiden terpilih mengganti kebijakan hilirisasi, memperbaiki atau melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan.
Permalasahannya, investor dan pelaku usaha sangat rentan dengan ketidakkonsistenan atau inkonsistensi kebijakan. Ini catatan penting. Inkonsistensi pemerintah dalam mejalankan kebijakan atau aturan akan menyulitkan para pengusaha untuk mempercepat akselerasi dari business cycle mereka. Tentu saja presiden terpilih pada Februari 2024 juga tidak sekonyong-konyong mengubah kebijakan. Presiden akan melihat fakta di lapangan, termasuk mencermati permasalahan maupun bottle neck-nya. Dalam hal ini ekspektasi para investor dan pelaku usaha terkait kebijakan hilirisasi juga perlu diperhatikan.
Di sisi lain evaluasi terhadap program hilirisasi penting dilakukan oleh presiden terpilih. Kalau hilirisasi dinilai sudah berjalan efektif, maka harus dikembangakan dan dilanjutkan. Misal sudah dinilai efektif secara finansial. Indikatornya mampu menyejahterakan masyarakat, termasuk menyerap tenaga kerja. Atau membuat kue ekonomi kita menjadi semakin besar.
Atau justru malah sebaliknya. Hilirisasi malah membuat Indonesia tidak mendapat apa-apa. Masyarakat masih tetap miskin atau tenaga kerja kita malah tidak banyak direkrut. Berarti ada yang salah. Maka kebijakan hilirisasi tersebut harus dievaluasi. Bagi pemerintahan baru, pelaksanaan hilirisasi tetap harus memperhatikan industrialisasi serta memperbaiki kondisi deindustrialisasi yang terjadi di negara kita.