BERITA

IPO, Agar Anak Usaha BUMN Governance

Pembenahan BUMN dan anak usaha BUMN merupakan momentum agar perusahaan milik negara tersebut masuk bursa melalui skema initial public offering (IPO).

Menjadi  perusahaan publik (Tbk) merupakan salah satu langkah membangun governance  yang lebih baik. Pasalnya, akan lebih banyak pihak yang memonitor kinerja dan operasional perusahaan tersebut. Karena itu, Bursa Efek Indonesia (BEI)  terus mendorong BUMN dan anak usaha  BUMN listing di bursa. Diperkirakan, bakal ada lima BUMN dan anak usahanya yang akan melantai di pasar modal pada 2020 dengan  melakukan IPO.

Diungkapkan Direktur Utama BEI Inarno Djajadi, pihaknya terus melakukan pendekatan dengan Kementerian BUMN untuk meminta BUMN maupun anak usahanya turut meramaikan pasar modal, baik sebagai emiten saham ataupun emiten obligasi. Mengingat BUMN dan anak BUMN yang tercatat di bursa mengalami peningkatan kinerja, akuntabilitas dan transparansi yang terus terjaga semenjak perusahaan ini menjadi emiten di pasar modal.

Selama ini, BUMN konstruksi terbilang getol  mencatatkan sahamnya di bursa. Di antaranya PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) bakal mendivestasikan kepemilikan saham di anak usaha melalui pasar modal. Dua anak usaha WIKA yakni PT Wijaya Karya Realty bersama dengan salah satu dari PT WIKA Industri & Konstruksi dan PT Wijaya Karya Bitumen, bakal melakukan IPO. Hanya saja, hingga akhir Desember 2019, tak banyak BUMN dan anak usaha BUMN yang mencatatkan sahamnya di BEI. 

Dikatakan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Karman Pamurahardjo ,  belum ada BUMN dan anak usaha BUMN yang melakukan IPO dalam tahun ini (2019). Padahal, jika BUMN dan anak usahanya melakukan IPO,  dapat memicu ketertarikan swasta untuk masuk ke pasar modal. Salah satu alasan belum banyak IPO BUMN adalah perizinan yang bertahap, salah satunya mesti mendapatkan restu dari DPR RI.

Selain tahapan, Karman juga menyoroti besaran nilai IPO yang akan diincar oleh BUMN dan anak usahanya. “Yang saya tahu size (ukuran nilai IPO) belum sizeable, saya pikir harusnya kurang lebih market cap bisa diantara Rp4-5 triliun atau lebih besar dari itu, karena private company dengan target dana Rp1 trilun itu sudah biasa,” jelas Karman.

Pemicu lain, lanjut Karman, adalah proses panjang sehingga memakan waktu. Kalau proses bisa diperpendek, BUMN  akan terpacu. Lagi pula bila anak usaha BUMN listing di bursa pada akhirnya akan memicu perusahaan swasta untuk ikut listing. Saat ini, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Menteri Erick Thohir juga tengah menata BUMN termasuk anak dan cucu usaha BUMN.

“Ini akan memicu private ikut bisa go public, ada contohnya, kita berharap dengan BUMN dan anak usaha masuk bursa ada peningkatan kualitas,” tegas Karman.

Ia menambahan, untuk tahun ini, dari 55 emiten di BEI yang baru mencatatkan saham perdana, belum ada dari anak usaha BUMN. Sedangkan tahun 2019 ada tiga anak usaha BUMN yakni PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk. (TUGU), PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk. (IPCC) dan PT Phapros Tbk. (PEHA). IPO dari tiga anak usaha BUMN mengantongi dana paling besar senilai Rp 835 miliar, itu dilakukan IPCC (oleh anak usaha PT Pelindo II). Disusul Asuransi TUGU senilai Rp 684 miliar dan terakhir PEHA yang mendapat dana Rp 200 miliar.

Beberapa anak usaha BUMN memang tengah dalam proses IPO kendati ada juga yang menunda prosesnya tahun depan. Sejumlah anak usaha BUMN itu di antaranya PT Wika Realty, PT Pelabuhan Tanjung Priok, PT Wika Industri dan Konstruksi, dan PT Rumah Sakit Pelni. Sementara dua anak usaha PT Adhi Karya Tbk yakni PT Adhi Commuter Properti (ACP) dan PT Adhi Persada Gedung (APG) akhirnya menunda IPO tahun depan.

Saatnya Tepat

Sebelumnya sejumlah analis merekomendasikan tahun ini waktu yang tepat bagi BUMN dan anak usahanya untuk melakukan IPO. Di antaranya Analis Royal Investum Sekuritas, Wijen Ponthus, berpandangan,  Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bergerak cenderung positif. Apalagi sudah lewat gejolak politik sehingga tahun ini merupakan  waktu yang tepat bagi BUMN untuk IPO. Memang ada perekonomian Indonesia terkena imbas dari perang dagang AS dan China yang berkecamuk sejak 2018 sehingga perekonomian global menjadi serba tidak pasti.

Salah satu imbasnya, hingga triwulan III-2019,  berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,02 persen secara tahunan. Memang angka tersebut masih lebih rendah dari triwulan II-2019 dan triwulan I-2019 masing-masing sebesar 5,05 persen dan 5,07 persen secara tahunan. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi BUMN dan anak usahanya. Dari IPO yang sudah berlangsung sepanjang tahun berjalan di BEI, belum banyak perusahaan tercatat dengan emisi jumbo.

“Daya beli atau daya serap investor ritel terhadap saham-saham yang baru IPO ini relatif terbatas,” ungkapnya.

Sedangkan Director Equity-Fixed Income Trading & CRMBahana Sekuritas Ermawati A. Erman meyakini, IPO dari perusahaan-perusahaan BUMN tahun depan lebih semarak lagi. Karena itu  ia optimistis BUMN akan banyak melantai tahun ini seiring dengan meningkatnya kebutuhan belanja modal.

Hal tersebut, menurut Ermawati, didukung kondisi ekonomi makro yang stabil, fiskal yang terjaga dan stimulus moneter dari sisi kebijakan pemangkasan suku bunga acuan.

Pada tahun lalu, anak usaha BUMN yang listing ialah PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC) pada 9 Juli 2018, anak usaha PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), dan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (TUGU) pada 28 Mei 2018, anak usaha PT Pertamina (Persero).

Sedangkan pengamat BUMN dari  Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indoensia (FEBUI) Toto Pranoto mengapresiasi langkah tersebut. Penataan anak usaha BUMN lantaran ratusan anak cucu usaha BUMN yang ada juga terbilang banyak yang merugi. Untuk itu, Kementerian BUMN tentu harus memilah-milah mana saja anak cucu BUMN yang kesehatannya buruk dan tidak. 

“Kalau ia rugi dan memang bisnisnya tidak related dengan induknya ya memang dilikuidasi saja. Langsung dikeluarkan saja. Sehingga, kita akan dapatkan portfolio bisnis yang sinergi antara induk dan anaknya,” jelasnya.

Ia pun mencontohkan PT Phapros Tbk anak usaha dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang dibeli PT Kimia Farma Tbk. Kondisi itu justru dinilai positif. Sebab, Phapros dan Kimia Farma memiliki bisnis yang sama-sama sejalan yakni di bidang farmasi. RNI sebagai pemilik lama mendapat harga bagus atas penjualan Phapros, sementara Kimia Farma juga mendapat keuntungan lantaran bisnis utama Phapros juga di bidang obat-obatan. Hal tersebut lumrah terjadi dalam bisnis korporasi.

Artikel Terkait

Back to top button