
Jakarta, BUMN TRACK – Memasuki usia ke-74 tahun, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) telah melakukan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mencapai 4,05 juta dari total 5,2 juta unit rumah yang telah dibiayai BTN melalui fasilitas KPR Subsidi.
“Kami telah membuktikan posisi kami sebagai bank yang paling banyak menyalurkan pembiayaan untuk MBR. Kami mitra pemerintah yang aktif mensejahterakan rakyat dari sisi papan atau kepemilikan rumah,” ujar Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu di Jakarta, Jumat (9/2).
Sepanjang tahun 2023, BTN menyalurkan kredit dan pembiayaan mencapai Rp333,69 triliun atau naik 11,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp298,28 triliun. Pertumbuhan kredit dan pembiayaan ini melampaui industri perbankan nasional sebesar 10,38 persen pada tahun 2023.
Pertumbuhan kredit BTN pada 2023 didominasi oleh kredit ke sektor perumahan. Untuk penyaluran KPR Subsidi mengalami kenaikan 10,9 persen menjadi Rp161,74 triliun dari perolehan tahun lalu yang sebesar Rp145,86 triliun.
Sedangkan untuk KPR Non Subsidi mengalami pertumbuhan 9,5 persen dari Rp87,82 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp96,17 triliun pada tahun 2023.
“Kami terus memacu penyaluran kredit dengan prinsip kehati-hatian, hal ini membuat rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) tetap terjaga dengan baik,” katanya.
Namun demikian, ada beberapa isu strategis sektor perumahan di tahun 2024 antara lain alokasi KPR subsidi yang turun dari 220.000 menjadi 166.000, pemberlakuan insentif PPN untuk rumah sampai dengan harga Rp2 miliar dan peningkatan KPR segmen menengah.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog kepemilikan rumah turun 10,51 juta pada 2022 menjadi 9,9 juta unit di 2023. Meskipun ada penurunan, jumlahnya masih sangat besar. Hampir 10 juta penduduk Indonesia masih membutuhkan rumah. Artinya, kebutuhan rumah masih memiliki potensi yang besar.
“Sebetulnya pasar perumahan di Indonesia masih besar. Ada beberapa hal mendasari hal tersebut. Pertama, jumlah penduduk Indonesia masih terus bertumbuh dan kelas menengah itu masih tinggi, kebutuhan rumah sejalan dengan waktu akan terus bertambah. Hal itu terlihat dari angka backlog rumah komersil,” kata Chief Economist PT Sarana Multigriya Finansial atau SMF, Martin Daniel Siyaranamual.
Kedua, apabila dilihat dari angka backlog perumahan memang ada penurunan, namun jumlah kebutuhan rumah masih sangat besar. Ketiga, perumahan tidak hanya berkutat pada kepemilikan rumah, akan tetapi juga peningkatan kualitas rumah.
Dilihat dari rasio KPR terhadap PDB, belanja kebutuhan rumah masih kurang dari 3 persen. Uang yang digunakan masyarakat untuk beli rumah masih sangat kecil. Apalagi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Sedangkan untuk rumah subsidi, kebijakan pemerintah tahun 2024 mengalokasikan kuota KPR subsidi 166.000 rumah masih jauh antara dari kebutuhan masyarakat saat ini. Pemerintah perlu memerhatikan secara jeli target penerima dari rumah subsidi.
“Dilihat dari angka backlog perumahan, mayoritas masyarakat Indonesia ada di kelompok berpenghasilan kelas scooter (kelas sepeda motor matic) atau kelas menengah. Nah mereka ini kalau dipaksa untuk membeli rumah komersil, pasti ‘klelep’, karena suku bunga KPR sudah sangat besar. Kemudian rumah dengan harga terjangkau harus jauh dari kota Jakarta. Hal itu menimbulkan biaya moneter yang terlalu mahal. Nah seharusnya program pemerintah diarahkan ke segmen masyarakat tersebut,” jelasnya.
Saat ini, sekitar 9 juta masyarakat miskin dan rentan konsumsinya hanya USD2 per hari. Masyarakat tersebut tidak akan mampu untuk mencicil rumah. “Misalnya memiliki rumah, rumah mereka tidak layak huni. Pemerintah perlu menyasar mereka dengan memberikan hunian yang layak seperti rusunawa,” terangnya.
Pemerintah mendeskripsikan 166.000 rumah untuk MBR. Rentang pendapatan MBR mulai dari Rp1 hingga Rp8 juta sehingga ada yang sangat miskin hingga masyarakat yang masih bisa nyicil motor.
“Nah target pemerintah harus rigid lagi, harus detil, harus jelas lagi,” tegasnya.
“Jadi alokasi kuota KPR subsisi 166.000 mau difokuskan kemana, apakah sektor informal, MBR, rumah tidak layak huni, miskin dan rentan. Kalau misalnya kelompok menengah atas, itu sudah cukup. Tapi kalau sektor informal maka 10 tahun lagi juga masih akan kurang,” tegasnya.
Dalam mengoptimalkan kebijakan Pemerintah, ada beberapa strategi yang dijalankan Bank BTN seperti mengoptimalkan porsi Bank BTN pada program KPR Subsidi Pemerintah, dengan target porsi 85 persen untuk KPR FLPP dan 90 persen untuk KPR TAPERA.
“Kami Mengusulkan skema program subsidi hunian baru (New KPR Subsidi) dengan mengembangkan skema
pembiayaan subsidi yang equitable dan affordable kepada Pemerintah,” ujar Nixon.
Sedangkan untuk KPR Non Subsidi, BTN akan menambah sales center baru pada Kantor Wilayah 4, 5, dan 6 sebagai sumber pertumbuhan baru dalam meningkatkan akuisisi KPR Non Subsidi pada segmen emerging affluent.
“Meningkatkan penjualan KPR Non Subsidi melalu channel Kantor Cabang Pembantu (KCP) hingga ekspansi penjualan KPR melalui platform digital (portal btnproperti.co.id dan aplikasi btn properti) yang menyasar milenial,” tutupnya.