
Sejumlah BUMN yang sempat merugi bahkan pernah dipailitkan kini berupaya melepas predikat tersebut. Cap “merugikan keuangan negara” bisa disebabkan dua hal, yakni menjalankan penugasan pemerintah (PSO) atau karena kesalahan manajemen.
Mengelola BUMN memang tak mudah dibanding mengelola perusahaan swasta. Dari sisi regulasi saja jauh lebih banyak aturan yang harus dipatuhi oleh BUMN. Gerak pun tidak seleluasa perusahaan swasta. Terlebih bagi BUMN yang menjalankan fungsi melayani kepentingan publik (public service obligation/PSO) dari pemerintah. Bila terjadi kerugian besar dengan mudah publik memberikan cap “merugikan keuangan negara”. Padahal seharusnya dilihat lebih jernih penyebab kerugian tersebut, karena menjalankan penugasan dari pemerintah (PSO) kah atau murni karena kesalahan manajemen.
Demikian pula dalam pengelolaan BUMN, selama 2019 masih ada BUMN yang merugi meskipun sudah dipagari berbagai aturan. Kini beberapa BUMN yang pernah merugi, bahkan sempat menyandang predikat pailit, tengah berupaya melepas predikat tersebut.
Contoh, PT Djakarta Lloyd, yang pernah terpuruk pada 2008 hingga 2011 kini sudah keluar dari daftar “BUMN rugi”. Upaya pembenahan internal yang dilakukan segenap direksi dan jajarannya serta dukungan pemerintah telah memulihkan kinerja perusahaan tersebut. BUMN bidang pelayaran dan logistik yang berdiri tahun 1950 itu telah meraih laba bersih 2017 sebesar Rp36,6 miliar, meningkat dari laba tahun sebelumnya Rp29,7 miliar. Perbaikan ini tidak terlepas dari penyelesaian hutang pajak masa lalu melalui Program Tax Amnesty pada tahun 2017, yang berdampak pada terbitnya Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan RI.
Terlebih BUMN ini telah mengubah status laporan keuangan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang disandang selama 10 tahun, menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), bahkan kini masuk dalam kategori (A) perusahaan sehat.
“Kita awal-awal putuskan perusahaan untuk ditenggelamkan, karena enggak mungkin dihidupkan. Waktu itu ada kesimpulan, nggak ada jalan lain selamatkan Djakarta Lloyd karena utangnya triliunan,” kata Menteri BUMN Dahlan masa itu dalam diskusi kebangkitan Djakarta Lloyd, Juni tahun 2014.
Dahlan menceritakan, utang yang tercatat di Djakarta Lloyd banyak yang susah dibuktikan. Bukti-bukti untuk pembayaran utang pun tidak terdokumentasi secara baik. Tak hanya itu, lanjut Dahlan, bila Djakarta Lloyd dibantu dengan kapal baru, akan memunculkan permasalahan lain karena para kreditur Djakarta Lloyd dapat menyita aset milik perusahaan.
Djakarta Lloyd juga sempat menikmati Penyertaan Modal Negara (PMN) non tunai sebesar Rp379,3 miliar pada Juli 2017 setelah disetujui DPR RI. Pada 2018 laba bersih BUMN tersebut Rp65 miliar. Djakarta Lloyd berusaha mencapai visi Goes To 1 Trillion Top Line, sedangkan dalam jangka menengah mencoba untuk menjadi perusahaan go public pada 2020 atau 2021.
Begitu pula PT Nindya Karya (Persero). BUMN konstruksi ini pernah terpuruk dan mencatat akumulasi kerugian hingga Rp400 miliar pada 2010. Dalam kondisi tersebut, Nindya Karya (Persero) menghadapi tuntutan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selama tiga kali. Meskipun akhirnya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan PKPU dari pihak supplier, PT Uzin Uts Indonesia (UUI). Akhirnya, Nindya Karya menjalani restrukturisasi dengan masuk dalam pengelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 2012.
PT Nindya Karya mampu keluar dari kemelut setelah berhasil menuntaskan restrukturisasi perusahaan. BUMN konstruksi itu mendapat kontrak dari Kementrian PUPR dan lembaga lain. Kinerja keuangan Nindya Karya pun secara bertahap terus mengalami peningkatan. Pada 2016 meraih pendapatan sebesar Rp4,6 triliun dengan laba Rp180 miliar. PPA merancang PT Nindya Karya (Persero) untuk penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) pada 2022. Nindya Karya sebagai anak usaha pun menjadi penyumbang terbesar yakni 82,9 persen terhadap pendapatan PT PPA semester I 2019 yang mencapai Rp2,24 triliun. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2012, Nindya Karya akan dikembalikan pada pemerintah paling lambat pada 2020.
BUMN lain yang sempat pailit adalah PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Akan tetapi Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memailitkan PT Dirgantara Indonesia pada 4 September 2007. Pertimbangan MA, PT Dirgantara termasuk dalam Badan Usaha Milik Negara yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Saham PT Dirgantara dimiliki oleh Menteri BUMN dan Menteri Keuangan. Kini BUMN tersebut terus melakukan produksi dan menerima pesanan pesawat.
Dalam dua tahun ini PT Dirgantara Indonesia telah melakukan transformasi di bidang bisnis dan SDM serta penyelesaian pesanan di mana untuk 2019 perusahaan dapat mengirim sembilan unit pesawat. Diungkapkan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Elfien Goentoro, perusahaannya fokus untuk dapat meningkatkan efisiensi dan perubahan bisnis sistem sehingga di akhir 2019 target penjualan dapat mencapai Rp4 triliun.
PTDI telah berhasil memproduksi dan mengirimkan pesawat CN235 sebanyak 68 unit untuk dalam negeri maupun luar negeri, dari total sebanyak 285 unit populasi pesawat CN-235 series di dunia. Operator dalam negeri yang menggunakan pesawat CN-235 series adalah TNI AU dan TNI AL. Sementara pembeli dari luar negeri adalah negara Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Pakistan, Uni Emirat Arab, Senegal dan Nepal. Setidaknya sudah ada 257 unit pesawat N 219 yang dipesan dari dalam dan luar negeri. Lebih dari 150 unit pesanan datang dari luar negeri, sisanya dari dalam negeri. Pemesan luar negeri itu bersal dari China, Singapura, UAE, dan Nigeria. PT DI membutuhkan waktu setahun untuk memproduksi pesawat tersebut. Bila 2020 mulai diproduksi, diharapkan tahun 2021 sudah bisa dihantarkan ke pelanggan.
Terimbas Perang Dagang AS- Tiongkok
Keberuntungan tak selamanya hinggap, terkadang ia pergi sejenak. Itulah gambaran bisnis yang dialami PT Djakarta Lyod. Adanya perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok membuat hampir semua bisnis di dunia melorot seperti komoditas. Kondisi tersebut berdampak kepada industri jasa perkapalan dan pelayaran. Ditambah lagi dengan anjloknya harga komoditas membuat industri jasa perkapalan dan pelayaran mulai ‘mengetatkan ikat pinggang’, termasuk PT Djakarta Lyod.
Direktur Utama PT Djakarta Lyod, Suyoto menjelaskan, saat ini merupakan masa kritis bagi usaha jasa perkapalan dan pelayaran. Proyek angkutan kapal untuk barang-barang komoditas mulai melorot. Padahal angkutan komoditas menyokong besar bagi pendapatan usaha tersebut. “Kita sebenarnya di masa-masa yang sangat kritis di tahun ini karena hampir semua bisnis ada imbas perang dagang Tiongkok-AS. Tahun ini (angkutan) nikel down, otomatis kita overheat di dalam bisnis ini,” jelas Suyoto.
Akibat kondisi tersebut, lanjut Sunyoto, keuntungan Djakarta Lloyd tumbuh melambat meski dalam batas wajar. Keuntungan belum signifikan karena over supply, sehingga harga turun.
BUMN bidang perkapalan ini lantas
menyusun strategi ulang untuk bertahan di tengah krisis global. Salah satunya
dengan memperbanyak tender dan kontrak dengan industri dalam negeri. Untuk
mendukung upaya tersebut, perusahaan mulai memperbanyak kepemilikan unit kapal.
Djakarta Lloyd mempunyai lima kapal angkut, dua di antaranya tengah dalam
pembuatan. Lima kapal angkut tersebut ialah, dua kapal bulk carrier (bulker)
jenis supramax berkapasitas 55 ribu DWT. Kemudian satu kapal harbour tug 3.500
HP serta dua kapal tanker yang sedang dibangun untuk proyek dengan PT Pertamina
(Persero).