
Oleh Akhmad Kusaeni
“Seorang presiden dan pejabat negara sangat berperan dalam menjaga kredibilitas pemerintahannya, termasuk dalam peran dan kemampuannya membuat agenda pemberitaan pers”, tulis D.L. Paletz dalam buku Media, Power and Politics.
M.B. Grossman dalam The Media and the Presidency mengatakan “Kemampuan pejabat negara untuk menentukan berita apa yang akan disampaikan kepada masyarakat umum adalah sangat tidak terbatas”.
Bahkan J.B. Reston dalam “The Press, the President, and Foreign Policy” menyatakan “media bisa saja melaporkan suatu berita, tapi presiden dan pejabat negara-lah yang membuatnya”.
Rasanya aneh kalau komunikasi pemerintah di era pandemi ini terkesan membingungkan. Terlalu banyak pejabat yang bicara, sementara yang menjadi jurubicara (Jubir) lebih sering menjadi jurubantah (Jurban). Terlalu sering istilah digonta-ganti, dari PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, PPKM Darurat dan terakhir PPKM Level 3-4. Ini membuat publik mengolok-olok singkatan tersebut.
Padahal. setiap perubahan istilah itu hampir seluruhnya memiliki substansi yang sama, hanya berbeda pada level pengetatan. Perbedaan substansi itu terletak pada pengaturan jumlah kapasitas, operasional jam, dan mobilitas warga.
Pemerintah sepertinya enggan memakai istilah karantina wilayah alias lockdown. Padahal, sebelum pandemi virus corona mewabah di Tanah Air, Indonesia sudah memiliki Undang-undang (UU) RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur kondisi wabah.
Sejumlah pihak menuding pemerintah enggan berpedoman pada UU tentang Kekarantinaan Kesehatan lantaran dalam beleid itu mengatur bahwa segala kebutuhan masyarakat wajib dipenuhi pemerintah selama pemberlakuan karantina wilayah.
Akibatnya, bukan hanya publik yang bingung, tetapi pejabat yang menyampaikan informasi juga terkesan bingung. Ada yang terkesan suka marah-marah, ada Menko yang pernyataannya diralat staf ahli menteri lain, ada juga yang di tengah krisis pandemi masih sempat-sempatnya nonton sinetron. Ini membuat kesan pejabat negara tidak ada koordinasi dan bergerak sendiri-sendiri.
Padahal, menurut Michael Parenti, pemerintah punya kemampuan luar biasa untuk mempengaruhi media massa dengan memberikan informasi yang dibuat secara sadar untuk menghadirkan suatu cara pandang atau kesan tertentu. Tapi substansinya tidak boleh bohong. Sekali bohong, trust publik kepada pemerintah akan sirna.
Sebelum trust itu betul-betul terkikis habis, ada baiknya komunikasi pemerintah di masa pandemi ini ditinjau kembali. Menurut survei LSI, untuk pertama kalinya selama masa pandemi di bulan Juni, tingkat kepercayaan pada Presiden di bawah 50 persen.
Sudah saatnya pemerintah membentuk tim komunikasi Istana yang lebih kompeten. Tim ini bekerja dan bicara “komunikasi atas nama presiden”.
Bisa dicontoh bagaimana tim komunikasi bekerja di Gedung Putih. Presiden AS yang menyadari pentingnya publisitas untuk membangun opini publik mempunyai staf komunikasi dan kehumasan yang besar. Tim komunikasi yang sering disebut spin doctors itu mempunyai fungsi mahapenting, yakni “menjual” dan mempromosikan presiden, keputusan dan kebijakan yang diambilnya.
Setidaknya, 75 persen atau 2/3 dari staf Gedung Putih (jumlahnya antara 350 sampai 600 orang) terkait dengan tugas komunikasi dan kehumasan tersebut. Mereka terdiri atas ahli komunikasi, praktisi PR, dan mantan wartawan. Mereka bekerja mulai dari menyiapkan pidato presiden, membuat siaran pers, membuat laporan dan analisa media, menyampaikan briefing pers harian, menyeleksi permintaan wawancara, sampai mengatur pertemuan mana untuk konsumsi pers dan mana yang tidak perlu diliput media.
Semua penampilan dan kegiatan presiden itu direncanakan dengan matang untuk mendapat sebesar-besarnya perhatian publik dan media massa di bawah skenario yang terkendali.
Tidak ada salahnya, metoda yang baik di Gedung Putih itu juga digunakan di Istana Negara. Sebab arus berita yang tak terkendali, yang penuh kejutan karena tak dikelola dengan baik, justeru membuat suasana gonjang-ganjing dan panas dingin. Selain tidak menguntungkan, pada akhirnya itu menggerogoti kredibilitas dan kepercayaan publik kepada pemerintah.
.