Korporasi UMKM Melalui Monetisasi Aset
Penguatan UMKM selalu menjadi isu menarik namun tak pernah tuntas. Selama ini UMKM memiliki aset mati (bad capital) yang semestinya bisa dimonetisasi. Bila UMKM hendak dikorporasikan maka bad capital tersebut disertifikasi.
BUMN Track menggelar talk show BUMN untuk Indonesia Bangkit bertema “Peran Bank Pemerintah dalam Menyelamatkan UMKM”. Acara yang berlangsung bersamaan dengan “Anugerah BUMN 2020”, Kamis (9/7) menghadirkan Tanri Abeng, Menteri BUMN pertama dan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indoenesia (Bank BRI), Sunarso, dimoderatori Pemimpin Redaksi BUMN Track Akhmad Kusaeni.
Dikatakan Sunarso, ketika krisis 1997-1998 yang dipicu oleh masalah nilai tukar awalnya merupakan krisis domestik di Korea Selatan lalu merambat ke Thailand dan Malaysia selanjut merembet ke Indonesia. Di Indonesia, krisis tersebut melebar hingga menjadi krisis multidimensi. Ketika itu indikator perbankan merosot. Posisi nilai tukar rupiah merosot hingga 550 persen, posisi CAR ( rasio permodalan) perbankan -16,7 persen dan NPL (kredit bermasalah) mencapai 48 persen.
Krisis tersebut menghantam korporasi-korporasi besar. Saat itu, BRI masih tetap konsisten pada sektor UMKM. Lalu terjadi kejatuhan sektor perbankan sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan rekapitalisasi perbankan. BRI merima bond rekap terkecil nilainya karena lebih banyak bermain di sektor UMKM.
Sedangkan dalam situasi krisis saat ini, CAR perbankan masih 23 persen, dan posisi NPL masih di bawah tiga persen. Bedanya, krisis sekarang menghantam semua sektor usaha tak memandang besar kecilnya. Beruntungnya, krisis demi krisis membuat risk management perbankan nasional menjadi semakin sigap dan tangguh . Ini tercermin dari posisi CAR yang masih 23 persen. Kualitas kredit masih bagus dengan NPL masih di bawah tiga persen.
“Yang cukup mengejutkan, segmen UMKM yang sebelumnya tidak pernah terkena krisis, kini terkena dampak krisis. BRI pun terkena karena 78 persen portofolionya berada pada sektor UMKM. Tetapi BRI merupakan bagaian dari perbankan nasional yang memiliki risk magement lebih siap dan sigap,” ungkap Sunarso yang pada tahun lalu perusahaannya berhasil mencetak laba sebesar Rp34, 4 triliun.
Memonetisasi Bad Capital UMKM
Krisis karena Covid-19 mulai berdampak terhadap perekonomian sejak minggu ke- 3 dan ke-4 Maret 2020. Tepatnya pada 9 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar perbankan dan lembaga pembiayaan memberikan restrukturisasi dan relaksasi kredit kepada UMKM. Terhitung sejak 13 Maret – 30 Juni 2020, BRI sudah merestrukturisasi 2,9 juta nasabah UMKM denagn nilai Rp176,6 triliun.
“Kalau pun saham BRI turun, saya saat ini tidak memikirkan saham naik atau turun yang pening selamat dulu. Saham-saham BRI lebih banyak dipegang asing, bila nanti harga saham terlalu dijatuhkan, saya akan beli sendiri. Saat ini orientasi saya adalah restrukturisasi kredit UMKM terlebih dulu. Jangan sampai UMKM mati. Kalau UMKM mati, banknya juga akan mati. Mati bareng sangat menyesakan maka sekarang kita harus sharing pain. Sakitnya kita tanggung bersama. Kita harus hidup bareng dan sembuh juga bareng-bareng,” ujarnya.
Sedangkan Tanri Abeng berpandangan, perbankan saat ini saat sangat isolid, lebih solid dibanding saat krisis 1998. Ketika itu, tidak ada satu pun bank yang bisa membuka letter of credit (L/C). Bahkan empat bank pemerintah harus dimerger menjadi Bank Mandiri. Ketika itu rata-rata NPL sebesar 48 persen.
“Sekarang perbankan kita begitu resilent (elastis) karena manajemen perbankan, khususnya bank BUMN, sudah matang,” jelas Tanri.
Tanri menambahkan, pemerintah harus memperhatikan UMKM karena mereka pelaku ekonomi terbesar dari sisi jumlah. Kita juga punya swasta dan BUMN. Bila UMKM dikorporasikan mereka bisa naik kelas, menjadi pelaku ekonomi yang signfikan serta bisa sejajar dengan swasta maupun BUMN.
Sertifikasi Bad Capital
Tanri memaparkan gagasan korporasi UMKM menjadi Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR). Di mana UMKM sejenis dikumpukan membentuk koperasi. Lalu, beberapa koperasi tersebut membentuk BUMR dengan badan hukum PerseroanTerbatas (PT) yang dikelola secara profesional serta tunduk pada UU Perseroan Terbatas.
Bila BUMR terealisasi, lanjutnya, maka lembaga pembiayaan akan memiliki nasabah UMKM yang lebih sizeable, lebih kompetitif dan mengangkat perekonimian. Sektor perkebunan, pertanian dan kelautan, berpotensi luar bisa dan masih belum dikelola secara optimal. Bila korporasi UMKM terwujud, akan lebih memudahkan UMKM bermitra dengan perbankan.
Sunarso setuju dengan ide korporasi UMKM agar lebih memudahkan penerapan GCG yang baik pada UMKM. Tetapi ada syaratnya. Misal, pada sektor pertanian yang berbasis lahan. Bagaimana mungkin dikorporasikan bila kepemiikan lahannya sangat mozaik. Kepemilikan lahan pertanian padi di Jawa hanya di bawah 0,3 hektar. Ini tidak mungkin petani bisa hidup optimal bila lahan petani hanya di bawah 0,3 hektar.
“Lahan tersebut merupakan bad capital yang seharusnya bisa dimonetasi. Untuk itu mereka harus diberikan akses kepada lembaga pembiayaaan. Akses tersebut berupa sertifikat. Maka program sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah merupakan langkah jempol (bagus) sekaligus merpakan dasar menuju korporatisasi UMKM, “ ujar Sunarso.
Sunarso menambahkan, sektor pertanian membutuhkan agraria reform yang tidak selalu harus berupa landed distribution. Program landed distribution hanya bisa dilakukan di luar Jawa karena sumber lahannya masih ada. Sedangkan di Jawa bisa dilakukan konsolidasi pengelolaan, di mana UMKM disatukan menjadi kelompok kelompok kecil dan kepemilikan secara bersama-sama melalui koperasi. Selanjutnya dikorporasikan menjadi BUMR.
“Semua itu dasarnya adalah sertifikat. Sertifikasi merupakan cara memonetisasi bad capital tersebut. Konsolidasi pengelolaan inilah yang seharusnya kita lakukan,” jelas Sunarso.
Bila satu keluarga hanya memiliki 0,3 hektar tidak bisa hidup layak. Maka lahan tersebut dikorporasikan namun hak kepemilikanya tidak hilang. Tenaga kerja diarahkan untuk pengelolaan lahan. Adapun kelebihan tenaga kerja yang ada harus ditampung di sektor lain. Agar jangan sampai petani menjual lahan yang sedikit tersebut harus ada cash flow yang masuk ke pedesaan. Ini bisa dilakukan bila tercipta industrialisasi berbasis bahan-bahan yang diproduksi di pedesaan. Itulah yang bisa dimilki BUMR.
Berikutnya langkah yang dibutuhkan untuk menunjang korporasi UMKM adalah melakukan sertifikatkan aset-aset yang mati (bad capital). Hewan ternak seperti sapi, kerbau, kuda seharusnya juga bisa disertifikatkan sehingga dipelrukan lembaga yang mensertifikasi aset-aset mati tersebut.
“Kalau emas yang nilai intrinsiknya bisa melebihi nilai nominalnya ada sertifikatnya, mengapa ternak tidak bisa disertifikatkan?” ujar Sunarso.
Karena itu, ke depan bukan hanya tanah yang bisa disertifikatkan. Seharusnya semua aset-aset mati (bad capital) juga bisa dilakukan hal yang sama. Tentu dibutuhkan lembaga khusus untuk merealisasikan hal tersebut.