
Jakarta, Bumntrack.co.id – Manusia adalah makhluk sosial yang umumnya berkomunikasi melalui tatap muka sebagai salah satu bentuk interaksi yang biasa dilakukan. Melalui interaksi langsung, kita dapat lebih mengenal satu sama lain secara lebih alamiah. Dalam berkomunikasi erat kaitannya dengan komunikasi nonverbal yang mencerminkan kepercayaan, seperti menjabat tangan yang telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan ekonomi kita.
Saat ini kita dipaksa membatasi diri dalam berinteraksi dan kontak fisik karena situasi pandemi. Tentu saja, hal ini mempengaruhi sebagian besar aktivitas ekonomi. Di saat banyak negara lain memberlakukan karantina wilayah untuk mengurangi laju penularan Covid-19, pemerintah kita hanya memberlakukan PSBB demi melindungi ekonomi. Kedua kebijakan ini pada dasarnya hanya mengurangi dampak pandemi. Sepanjang kita belum memiliki vaksin yang efektif, ekonomi di era lama yang bergantung pada komunikasi tatap muka akan tetap rapuh.
Hingga saat ini, resesi telah dialami oleh 47 negara. Indonesia sendiri mengalami kontraksi PDB sebesar 5,32% YoY pada Kuartal II 2020. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects pada Juli 2020 lalu, berjudul The Long Road to Recovery, diprediksi ekonomi Indonesia akan jalan di tempat alias tumbuh nol persen menurut Bank Dunia. Namun, ada kemungkinan juga ekonomi Indonesia mengalami kontraksi lagi hingga -2% pada Kuartal III 2020. Artinya, jika ini terjadi, untuk pertama kalinya sejak krisis moneter 1998 resesi akan dialami Indonesia.
Kita dihadapkan pada situasi yang memaksa kita untuk beradaptasi pada berbagai hal baru. Kebiasaan-kebiasaan yang didorong oleh regulasi atas pengurangan kontak fisik akan membentuk ekonomi kita di masa depan. Sejumlah pakar membentuk berbagai skenario mengenai seberapa besar dampak pandemi dan strategi apa yang harus disiapkan. Hingga vaksin ditemukan, disrupsi besar-besaran saat ini akan menentukan bagaimana kita bekerja, belanja, bersosialisasi, dan berekreasi dengan laju yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Low-touch Economy: Bukan Sekadar Tren
Pergeseran perilaku konsumen akibat regulasi dan kondisi untuk mengurangi kontak fisik membawa kita pada era yang disebut sebagai low-touch economy. Namun, patut kita perhatikan bahwa berbagai perubahan yang terjadi pada dasarnya bukan karena pandemi semata. Pandemi mempercepat berbagai tren yang selama ini sebenarnya sudah terjadi.
Sejumlah aspek besar sosial ekonomi mengalami perubahan yang signifikan. Survei dari CommerceHub menyebutkan, sebelum pandemi sebanyak 43% responden memilih berbelanja secara daring untuk kebutuhan makanan pokok, dan 68% mengatakan akan tetap berbelanja daring setelah pandemi berakhir.
Sementara itu, survei dari LIPI mengungkapkan sebanyak 78% responden menyatakan tetap produktif meskipun bekerja dari rumah (WFH). Salah satu klien penulis yang merupakan lembaga pemerintah mengaku, implementasi pengelolaan arsip secara digital yang awalnya hanya ditargetkan 50% pada 2020, sekarang malah menjadi 100%.
Pandemi juga membuat kita mengimajinasikan kembali bagaimana kita berkomunikasi. Siapa sangka setahun yang lalu bahwa telekonferensi melalui Zoom dan Meet menjadi se-mainstream saat ini.
Berbagai industri sarat komunikasi seperti pendidikan, konferensi, dan hiburan panggung juga akan mulai mempertimbangkan teknologi Virtual Reality (VR) untuk mempertahankan pengalaman pengguna jasa tanpa khawatir akan jarak dan ketidakhadiran fisik. Begitu juga beberapa industri High-touch yang terdampak paling signifikan seperti pariwisata, penerbangan, dan restoran (F&B) mulai berbenah dan menghadapi era normal baru.
Rantai nilai dan rantai pasok di industri perlu dipertimbangkan kembali oleh para pelaku bisnis. Alih-alih merespons krisis dengan hanya bertahan melalui “go online” ataupun efisiensi, organisasi sebaiknya mulai memiliki pola pikir strategis, tetap bertahan atau mulai memikirkan strategi menyerang. Akan ada banyak peluang yang bisa diambil dari krisis ini dan keputusan yang dilakukan akan menentukan kesuksesan organisasi pasca pandemi.
Menangkap Peluang dalam Ketidakpastian
Model Low-touch economy memungkinkan terjadinya pertukaran nilai antara tanpa melalui kontak langsung, organisasi dan pelanggan. Low-touch economy memberikan peluang untuk berinovasi dan merancang kembali model bisnis.
Meskipun ada banyak tantangan di awal dan tidak semua industri dapat langsung beradaptasi, model Low-touch dapat meningkatkan penghematan karena: 1) menghilangkan batasan atas kontak fisik; 2) mendigitalisasi proses akuisisi pelanggan; dan 3) memberikan justifikasi untuk investasi pada aspek digital. Perhatikan, selama ini begitu banyak anggaran perjalanan dinas dihabiskan hanya untuk pertemuan yang saat ini terbukti bisa diselesaikan tanpa tatap muka.
Menurut Board of Innovation, setidaknya ada 3 aksi yang dapat dilakukan melalui iterasi secara paralel untuk meraih sebanyak mungkin peluang dari Low-touch Economy. Pertama, memonitor terus jalannya new normal dan bagaimana dampaknya terhadap bisnis organisasi. Saat ini umumnya organisasi berada dalam mode survival serta mengutamakan tujuan-tujuan jangka pendek.
Selanjutnya, identifikasi peluang-peluang yang ada. Mengutip salah satu adagium, ”Necessity is the mother of innovation”, perubahan karena pandemi akan memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru yang membutuhkan inovasi untuk dapat dipenuhi. Organisasi perlu memahami bagaimana model bisnis saat ini tetap dapat memberikan nilai lebih bagi pelanggan.
Kemudian, melakukan validasi atas inovasi dan rancangan. Jika tidak ada umpan balik dari pelanggan ataupun pemangku kepentingan secara umum, mengatasi masalah dari kebutuhan pelanggan tidak akan diketahui oleh organisasi apakah inovasi yang dilakukan benar-benar terpenuhi. Hal ini dapat dilakukan melalui peluncuran Minimum Viable Products (MVP).
Di dalam dunia yang semakin berjarak, kita dapat berekspektasi bahwa Low-touch Economy akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Seberapa cepat organisasi beradaptasi dan bertransformasi akan menentukan siapa yang menang di era pasca pandemi nanti.
Ditulis oleh:
Teguh Bagus Surya,
Kelompok Bidang Keahlian Operational Excellence, PPM Manajemen