
Jakarta, BUMN TRACK – Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan BUMN, PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit IV Cilacap (PT KPI RU IV Cilacap) menjalankan Program Tanggung Jawab Sosial Masyarakat (TJSL) bernama Masyarakat Mandiri Kutawaru (MAMAKU).
“Tujuan dari program MAMAKU adalah optimalisasi potensi lingkungan dalam mendorong kesejahteraan masyarakat yang bekelanjutan,” kata Cecep Supriyatna, Manager Communication Relation & CSR PT KPI RU IV Cilacap di Jakarta, Senin (7/10/24).
Berdasarkan kajian, Program MAMAKU dilakukan atas tingginya aktifitas nelayan jaring apung yaitu 4.200 warga yang merupakan eks ABK, kemudian 3.200 warga yang merupakan pengangguran eks Tenaga Kerja Wanita (TKW) eks luar negeri.
Program Mamaku dimulai dari tahun 2022 dengan pembentukan kelembagaan dan penguatan kelompok, kemudian dilanjutkan peningkatan kapasitas SDM pada tahun 2023.
Inovasi program pengelolaan lahan tambak MAMAKU dilakukan pada tambak budidaya ikan kerapu, kakap, bandeng hingga kepiting cangkang lunak. Selain itu, juga dilakukan pembibitan mangrove, pelatihan perawatan dan budidaya mangrove serta demplot pembibitan.
Dalam hal pemanfaatan Energi Baru Terbarukan, Program MAMAKU melakukan budidaya kepiting system appartemen Berbasis EBT (Pemanfaatan palet), Aerator Biofilter Berbasis EBT dan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Untuk mengembangkan sektor wisata, Program MAMAKU menyediakan pemancingan, atraksi wisata: bank sayur- wisata susur sungai – wisata mangrove – bank sampah. Selain itu, penyediaan homestay, pelatihan manajemen wisata, branding, pelatihan hasil olahan tambak, diversifikasi produk hingga sertifikasi PIRT.
Berbagai dampak positif dari insiatif ini antara lain telah dilakukan penanaman 25 ribu bibit mangrove di lahan seluas 2,5 ha.
Progam TJSL MAMAKU secara ekonomi mampu meningkatkan omzet budidaya ikan dan kepiting pokdakan menjadi Rp15 juta. Omzet kelompok buntiku olahan tambak Rp20 juta, omzet pengembangan wisata mamaku Rp5 juta. Omset budidaya ikan dan kepiting mencapai Rp180 juta/tahun, omset kelompok Buntikku olahan tambak Rp 240 juta/tahun, omset pedagang Pasar Amarta Rp 1,4 miliar/tahun, omset pengembangan Kampung Kepiting Rp 60 juta/tahun dan penghemaatan biaya listrik Rp 18 juta/tahun.
Sedangkan di aspek kesejahteraan, di antaranya muatan lokal budidaya ikan dan kepiting di sekolah lokal dan terbukanya akses logistik melalui pembangunan Pasar Amarta.
Secara sosial, Sekolah setempat memiliki muatan lokal budidaya ikan dan kepiting sebagai salah satu kearifan lokal. Kemudian KK Pra Sejahtera yang terentaskan sebanyak 20 Kepala Keluarga/atau setara 0,41 persen. Selain itu, Program MAMAKU mampu melahirkan 2 kelompok baru yaitu Pokdakan MAMAKU & Buntikku.
MAMAKU juga penghargaan Kampung Iklim Madya 2021, peningkatan kapasitas 20 anggota Pokdakan dan 10 anggota Buntikku, 105 siswa SD dan SMP mendapatkan edukasi cinta lingkungan, terjalinnya komunikasi 5 kelompok masyarakat dan keterlibatan 30 orang dalam budidaya silvofishery.
“Perilaku masyarakat juga berubah dari nelayan jaring apung menjadi nelayan tambak,” tambahnya.
Diharapkan pada tahun 2026 telah terbentuk integrasi wisata edukasi antara Integrated Farming System (Pertanian, Perikanan dan Peternakan), pengolahan limbah ternak dan pengembangan pemasaran terpadu MAMAKU.
Founder & Chairman Indonesia Shared Value Institute, Thendri Supriatno mengungkapkan bahwa program TJSL/CSR harus dijalankan dengan prinsip yang lebih terintegrasi, terarah, terukur dampaknya serta dapat dipertanggungjawabkan.
“TJSL tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga terarah, terukur dan memberikan nilai tambah. Tidak hanya untuk masyarakat, tetapi juga bagi perusahaan. Itu bukan hal yang mudah, ada pertanyaan terkait dasar program, integrasi bisnis, akuntabel hingga pengkuruan SROI. Itu bukan pekerjaan mudah,” terangnya.