
Utang BUMN melonjak dan mayoritas utang tersebut dipergunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang memerlukan modal besar. Risiko muncul bila pinjaman BUMN dalam bentuk valas sedangkan penghasilan masih berupa rupiah.
Melonjaknya nilai utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama 2015-2018 memunculkan berbagai pandangan positif maupun negatif. Kenaikan utang BUMN memang kerapkali menjadi sasaran kritik. Terlebih setelah rasio utang sejumlah BUMN Karya cenderung tinggi dari periode 2015-2018. Nilai utang BUMN Karya meningkat dua kali lipat. Jumlah surat utang yang diterbitkan BUMN Karya mencapai Rp27 triliun hingga akhir 2018.
Ada pandangan, utang bukan jumlahnya yang penting, tapi bisa dibayar atau tidak. Karena itu bila ada utang BUMN dimanfaatkan untuk hal-hal produktif, dianggap tidak pelru dipermasalahkan. Karena itu Kementerian BUMN tampaknya masih optimisis, utang tersebut mampu ditangani BUMN yang bersangkutan. Pihak Kementerian BUMN menilai kemampuan BUMN membayar utangnya masih dalam rentang aman.
Sekretaris Menteri BUMN, Imam Apriyanto Putro, menjelaskan, adanya penambahan utang BUMN di antaranya untuk kegiatan investasi. Menurutnya, dalam melakukan proyek, perusahaan pasti membutuhkan dana dari ekuitas dan utang. “Kemampuan bayar utang, aman. Kemampuan bayarnya dari pendapatan. Namanya proyek, pasti ada porsi ekuitas dan utang,” jelasnya.
Pada 2015, utang BUMN sebesar Rp1.299 triliun, kemudian Rp1.413 triliun untuk 2016, dan Rp1.623 triliun 2017 serta Rp2.394 triliun pada 2018. BUMN bakal mampu membayar utang karena perusahaan tumbuh berkembang dan menjadi besar. Menurutnya, utang BUMN yang tinggi bukan persoalan bila mempunyai performa likuiditas yang baik. Rasio keuangan yang umum dipakaikan untuk menganalisa tingkat likuiditas suatu perusahaan adalah debt-to-equity ratio (DER).
DER menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas. DER bisa juga menandakan risiko kredit perusahaan, semakin tinggi nilainya maka semakin besar risiko kredit. Meski dinilai aman namun yang banyak disorot publik adalah utang luar negeri (ULN) BUMN. Pasalnya, data Bank Indonesia (BI) menunjukan pertumbuhan utang luar negeri (ULN) swasta (BUMN termasuk di dalamnya) terus bertambah meski melambat dari bulan sebelumnya. Pertumbuhan tersebut terbesar disumbang BUMN, yang tercatat mencapai 6,16 miliar dollar AS atau tumbuh 31,1 persen year on year (yoy) dari sebelumnya.
Kalau dilihat lagi dari kelompok peminjamnya, pertumbuhan ULN swasta paling signifikan terjadi pada kelompok BUMN. Utang luar negeri BUMN (baik dari sektor bank, lembaga keuangan nonbank, hingga perusahaan bukan lembaga keuangan) hampir seluruhnya mengalami kenaikan dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. ULN bank BUMN mencapai 6,16 miliar dollar AS atau tumbuh 31,1 persen (yoy) dari sebelumnya hanya 4,7 miliar dollar AS. ULN lembaga keuangan nonbank BUMN berada di posisi 3,75 miliar dollar AS. Angka ini turun tipis 6,4 persen dibandingkan tahun lalu 4,01 miliar dollar AS.
Sedangkan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan BUMN mengalami pertumbuhan paling tinggi yakni 41,7 persen (yoy) dari sebelumnya hanya 24,67 miliar dollar AS menjadi 34,95 miliar dollar AS per akhir Januari lalu. Meninjau porsinya, total ULN yang dimiliki BUMN mencapai 44,85 miliar dollar AS atau setara dengan 23 persen dari ULN swasta Indonesia secara keseluruhan yang mencapai 193,1 miliar dollar AS.
Terkait utang BUMN dalam sebuah rapat dengar pendapat umum (RDPU), Anggota Komisi XI DPR RI Johnny Plate menanyakan kepada Ketua Umum Himbara, Maryono, terkait utang bank BUMN yang mencapai Rp3.300 triliun. Johnny meminta penjelasan kepada Maryono bagaimana kondisi perbankan BUMN saat ini apakah semakin baik atau bangkrut. Menanggapi pertanyaan tersebut, Maryono menjelaskan memang bukan utang pada umumnya yang ada. Tapi dalam bentuk obligasi yang ada jaminannya. “Jadi utangnya itu kecil sekali. Coba kita hitung sudah memberikan dampak berapa besar. Kita bangun infrastruktur dan sebagian masyarakat ikut serta,” jelas Maryono.
Maryono yang juga Dirut BTN menjelaskan, pembiayaan di perbankan selain dari dana pihak ketiga (DPK) juga berasal dari obligasi dan surat berharga. Himbara, menurut Maryono juga berupaya menjaga stabilitas untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dari penjelasan Maryono, ULN pada bank BUMN masih aman karena porsinya masih kecil.
Bahkan sempat muncul kekhawatiran, bank BUMN mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CDB) akan tergadaikan. Sudah ada contoh yakni di Srilanka atau Afrika, karena tak bisa bayar utang lalu disita. Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo yang biasa dipanggil Tiko menjelaskan, beberapa waktu lalu pihaknya sudah dipanggil oleh Komisi VI DPR RI terkait pinjaman dari CDB. “Kita sudah dipanggil, soal pinjaman US$ 1 miliar atau sekitar Rp14 triliun, skemanya business to business,” kata Tiko.
Diungkapkan Tiko, pinjaman luar negeri bukan hanya dari China. Ada juga pinjaman yang bersumber dari JP Morgan, Deutsche Bank. Pinjaman tersebut dipergunakan untuk pembiayaan proyek yang menggunakan valuta asing (valas). Lagi pula, pinjaman senilai US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun merupakan utang biasa dengan skema b to b untuk proyek dalam bentuk valas. Pinjaman seperti ini normal sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Apalagi aset Bank Mandiri mencapai Rp1.200 triliun.
Tiko juga menjelaskan memang sebelumnya di media sosial ramai jika pinjaman dari CDB ini untuk pembiayaan kereta cepat, padahal pembiayaan kereta cepat itu langsung dari CDB secara b to b, tidak lewat Himbara.
Utang Waskita
PT Waskita Karya Tbk merupakan BUMN penerima utang tertinggi senilai Rp 95,4 triliun. Nilai tersbeut tumbuh empat kali lipat dibandingkan 2015. Direktur Keuangan Waskita Karya Haris Gunawan mengatakan total utang perusahaan sejak 2015-2018 memang meningkat lantaran perusahaan banyak menggarap proyek-proyek yang bersifat turnkey yang pembayarannya diterima setelah proyek selesai. Tingginya tingkat utang disebabkan karena kebutuhan dana untuk menalangi pengerjaan proyek terlebih dahulu. Sehingga tingkat utang ini akan segera turun setelah perusahaan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Waskita Karya bakal menerima pembayaran senilai Rp 33,2 triliun. Dana tersebut berasal dari cari sejumlah proyek turnkey yang dikerjakannya dan sejumah pembayaran lainnya. “Pekerjaan dengan skema turnkey, Waskita akan menerima pembayaran dari owner setelah pekerjaan selesai, tentu saja Waskita membutuhkan pembiayaan dari kreditor baik perbankan maupun pasar modal melalui instrumen capital market,” jelasnya.
Sedangkan Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, meski utang BUMN di era Jokowi meningkat tajam, prosentase kenaikannya sebenarnya tak setinggi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pembanguan infrastruktur yang mencolok seperti jalan tol, bandara, waduk, kereta api bandara, kereta cepat Jakarta-Bandung, MRT, dan LRT, tidak termasuk yang dibiayai dari transfer ke daerah dan dana desa. “Jadi dari mana pembiayaan proyek-proyek besar itu? Dari mana lagi sebagian besar pembiayaannya kalau bukan dari BUMN yang ditugaskan,” ujar Faisal.
Perlu Melibatkan Swasta
Menurut Faisal, dalam jangka pendek dan menengah beban utang tersebut secara tidak langsung akan menekan pembayaran bunga juga turut membebani neraca pembayaran. Terlebih kebanyakan BUMN tidak menghasilkan pendapatan valuta asing. Untuk itu, Faisal memandang perlunya kolaborasi antara BUMN dan swasta. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas dan mempunyai potensi ekonomi yang besar, tentu tidak bisa hanya oleh BUMN saja. “Negeri ini terlalu besar untuk dikelola sepenuhnya oleh BUMN. Terlalu besar. Potensinya akan hilang kalau dikelola oleh satu pihak saja. Maka perlu dilibatkan koperasi, atau inisiatif-inisiatif masyarakat lainnya,” jelasnya.
Langkah pelibatan swasta dalam proyek pemerintah akan memberikan keuntungan bagi perekonomian. Sejumlah proyek yang melibatkan pihak swasta, khususnya untuk area komersial, seperti proyek Bandara Hang Nadim Batam dan Bandara Ngurah Rai Denpasar. Dengan swastanisasi tersebut pemerintah bisa memperoleh future income hingga 20 tahun ke depan berkisar USD 2 miliar atau USD 3 miliar yang diminta sekarang.
“Kalau saya tidak salah sudah proses tender, bahkan sudah tender, persisnya saya tidak tahu, tapi on the pipeline bandara Hang Nadim Batam, sudah ditenderkan, kemungkinan yang menang asing sebagai operator kegiatan komersial. Jadi jangan salah kaprah air control tidak di-swastakan. Jadi area-area komersial,” jelasnya.
Faisal menambahkan, pendapatan negara dari kerja sama tersebut bisa dipakai membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Terutama pembangunan di daerah yang kurang diminati swasta lantaran kurang mengguntungkan secara bisnis. Dengan cara ini, pemeritah dan swasta bisa bahu-membahu mengembangkan infrastruktur di Indonesia.