
Oleh: Akhmad Kusaeni
Jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bakal dipangkas Kementerian BUMN. Menurut rencana, jumlah perusahaan plat merah itu akan dikurangi dari total 142 menjadi 100 perusahaan.
Ibarat rambut, jumlah BUMN dirasakan sudah sedemikan gondrong, bahkan ada yang gimbal dan kutuan. Dilihatnya kurang sedap dan kotor. Setuju dipangkas, supaya kelihatan ganteng, kinclong dan banyak yang jatuh cinta lagi.
Ya, jumlah BUMN sudah terlalu banyak dan kurang efisien. Apalagi ditambah 800-an perusahaan anak dan cucunya. Harus dilihat mana perusahaan yang masih bisa memberikan manfaat. Jika tidak bisa memberi manfaat, terus-menerus merugi, atau dalam kondisi mati suri, hidup segan mati tak mau, maka harus digabung atau bahkan dibubarkan. Memangkas BUMN bertujuan membuat BUMN itu lebih ramping namun lebih efektif.
Pertanyaannya: sebagai tukang cukur bagaimana model atau skema pemangkasannya. Sebab perampingan BUMN bukan sekedar hanya memangkas dan mengurangi jumlahnya saja. Idealnya, perampingan itu bisa mendongkrak nilai perusahaan, mengurangi biaya, sekaligus menciptakan daya saing menghadapi pasar global.
Secara umum, merampingkan BUMN itu berarti BUMN yang memiliki jenis usaha sama disatukan, agar lebih kinclong kinerjanya, agar makin kuat dari sisi asetnya, supaya makin mantap permodalan serta kapasitasnya.
Dengan penyatuan itu, idealnya tidak boleh ada lagi BUMN yang saling bersaing pada lahan yang sama. Tidak boleh ada lagi BUMN yang jeruk makan jeruk. Dengan penyatuan BUMN bidang migas, misalnya, tidak boleh ada lagi tumpang tindih dalam pembangunan jaringan pipa gas antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan PT Pertamina Gas (Pertagas).
Sekarang ini, ada 24 BUMN yang memiliki rumah sakit. Padahal mengoperasikan rumah sakit bukanlah core business BUMN tersebut. Dengan penggabungan rumah sakit BUMN, misalnya lagi, Indonesia bakal memiliki kapasitas tempat tidur hingga 6.500 unit. Jumlah ini diklaim sebagai kapasitas terbesar di Indonesia. Jika disatukan, sederet rumah sakit milik BUMN itu –seperti diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir– bisa mencetak omzet Rp5 triliun per tahun.
Contoh lagi yang harus dirampingkan dan digabungkan adalah hotel-hotel yang dimiliki oleh BUMN. Tempo hari, Menteri Erick Thohir geleng-geleng kepala karena ternyata banyak sekali BUMN yang memiliki hotel di luar bisnis intinya. Ada, misalnya, BUMN yang mengelola jasa air ternyata memiliki resort hotel di luar bisnis utamanya.
Jika disatukan, misalnya kepada sub-holding Hotel Indonesia Group (HIG), maka HIG akan menjadi jaringan hotel terbesar di Indonesia sehingga hotel-hotel tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Saya pernah diminta untuk membuat sebuah Forum Group Discussion (FGD) mengenai rencana penyatuan hotel-hotel milik BUMN tersebut. Saya melihat kenyataan pahit bahwa kita tidak memiliki hotel chain bercitarasa Indonesia sebesar grup Hilton, J.W.Marriot, Ritz Carlton, atau Starwood Hotels.
Saya berkeyakinan jika hotel-hotel milik BUMN itu disatukan dalam HIG, Indonesia bisa memiliki chain hotel yang tidak kalah besarnya. HIG bisa memberikan pelayanan terbaik yang mengedepankan keramahtamahan Indonesia bertaraf internasional.
Ujung-ujungnya, at the end of the day, penyatuan dan perampingan itu bakal menjadikan BUMN sebagai perusahaan kelas dunia. World class companies. Itulah impian yang harus didoakan dan diihtiarkan bersama.
Meski kelihatan ideal, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan terukur. Alih-alih BUMN menjadi kinclong dan menjadi perusahaan kelas dunia, justru yang terjadi bisa sebaliknya. Meminjam istilah tokoh serikat pekerja, jangan sampai dengan penyatuan itu “BUMN menjadi bancakan elit politik”.
Ada sejumlah potensi hukum dan moral hazard yang mungkin muncul ke permukaan ketika proses penyatuan BUMN itu direalisasikan. Begitu sub-holding itu dibuat, maka secara otomatis perusahaan yang ada di bawahnya tidak lagi terikat UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Serta merta anak perusahaan, apalagi cucu perusahaan, bisa mengklaim bukan BUMN.
Artinya, keputusan-keputusan strategis perusahaan tersebut, misalnya penjualan saham dan penjualan aset, tidak lagi memerlukan persetujuan pemerintah atau DPR. Nah, di situ letak moral hazard-nya.
Misi terpenting dari penyatuan ini tidak boleh disederhanakan kepada pengurangan jumlah BUMN semata, baik melalui proses merger ataupun privatisasi. Tapi harus dipastikan dampak buruknya tidak terjadi dan moral hazard-nya diantisipasi. Jangan sampai penyatuan dan perampingan BUMN ini, menjadi alat untuk bancakan elit dan jual-jual aset negara tanpa pengawasan.
Namun, kita tidak boleh berprasangka buruk dan bersikap paranoid. Ibarat pertunjukan, the show must go on. Perampingan BUMN harus dilakukan dengan memastikan kecurigaan semacam itu tidak berdasar.
Lanjutkan Pak Erick. Jalan anda sudah benar!