Membangun Korporasi dengan Restrukturisasi, Profitisasi dan Privatisasi

E-Magazine Januari - Maret 2025

Keberadaan Kementerian BUMN sejak pemerintahan Presiden ketiga RI BJ Habibie ingin membangun BUMN menjadi world class company, namun tampakanya perubahan tersebut berjalan cukup lamban.

Sejak Menteri BUMN pertama Tanri Abeng, hingga para penggantinya, pengembangan BUMN memiliki benang merah yang sama. Apa pun kajiannya, pasti menginginkan BUMN yang efektif, efisien dan mampu menjalankan tugas fidusia yakni sebagai entitas komersial sekaligus menjadi agent of development. Agar bisa menjaga keberlanjutan kinerja sekaligus meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk dividen maupun kontribusi lain. 

Menteri BUMN Periode 2004-2007, Sugiharto menuturkan, bahwa sejak era Tanri Abeng, Kementerian BUMN sudah menggunakan  konsultan terbaik di dunia untuk mendianogsis agar BUMN bisa bersaing sehingga mampu setara dengan  Khazanah (Malayasia), Temasek (Singapura) atau menjadi world class company.  Pada masterplan BUMN tahun 1999-2004 jumlah BUMN hendak di-resizing  secara signifikan dan berdasarkan analisis pemetaan, idealnya jumlah BUMN tidak lebih dari 25 BUMN.  Menteri BUMN Sugiharto, memacu BUMN agar menjadi world class company dengan melakukan restrukturisasi, profitisasi dan privatiasi. Jadi perusahaan BUMN ditingkatkan dulu kinerjanya melalui restrukturisasi dan transformasi, baru kemudian diprivatisasi.

“Pada 100 hari pertama menjabat, saya lebih banyak melakukan crash program sehingga sehingga Garuda bisa kembali sehat secara finansial, termasuk menyelesaikan masalah mendesak di beberapa BUMN terutama yang melayani publik, seperti PT Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT PPD, dan lain-lain,” jelas Sugiharto.

BUMN bagi Sugiharto memiliki peran sangat strategis terutama di bidang ekonomi. Terbukti selama lima tahun terakhir Jokowi sebagai presiden terus menggenjot BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membangun infrastuktur, menata kembali sistem perbankan dan lembaga keuangan sehingga pertumbuhan ekonomi lebih terkendali. Meski pertumbuhan ekonomi jauh dari ekspektasi, tetapi di wilayah Asia, Indonesia merupakan salah satu negara  yang termasuk the fastest growing dan stabil. Dalam situasi terjadi trade war, posisi gross domestic product  (GDP) Indonesia relatif stabil dan penurunan nila mata uangnya relatif tidak berdampak signifikan dibanding banyak negara lain

Rekrutmen yang Tepat

Dalam lima tahun terakhir, lanjut Sugiharto, kita berada dalam era yang sangat volatile (bergejolak), uncertain (tidak pasti), complex (kompleks), dan ambigue (tidak jelas) atau yang disebut era VUCA. Ini  merupakan tantangan dunia bisnis masa kini. Dunia sedang berubah. Sekarang kita berada di era digital dengan industri 4.0 nya.Di seluruh muka bumi ini, mayoritas perusahaan tengah mengalami perubahan (disrupted). Faktanya di Indonesia, BUMN kita tidak cukup cekatan dalam merespons tantangan di era globalisasi tersebut.

“Ini mungkin salah satunya karena adanya pengaruh politik dalam pergantian kepemimpinan pada BUMN.  Banyak analis menyatakan bahwa proses penggantian direksi dan komisaris BUMN masih belum transparan dan akuntabel. Sebagaimana pernah terjadi, sebuah entitas BUMN seperti PT  Pertamina (Persero), dalam tiga tahun terjadi tiga kali pergantian direksi. Ini menunjukan bahwa proses rekrutmen tidak berdasarkan prinisp penempatan the right man on the right place. Tidak jarang pergantian Direksi dan Komisaris terjadi sebelum habis periode masa baktinya, tanpa alasan yang jelas,” jelas Sugiharto.

Dengan adanya ketidakpastian masa bakti Direksi dan Komisaris maka dalam pelaksanaan keberlanjutan kebijakan akan semakin sulit dipastikan. Para Direksi dan Komisaris biasanya kurang berani mengambil keputusan-keputusan yang strategis sehingga kalau Komisaris dan Direksi diganti, program bisa terhambat karena menunggu direksi baru.

Begitu ada direksi baru, belum selesai melakukan familisasi kepada para karyawan maupun unit kerja, ternyata sudah diganti. Jadi, bila terlalu mudah berganti direksi padahal belum selesai masa tugasnya, bisa jadi proses rekrutmennya bermasalah. Sehubungan dengan  peristiwa penolakan salah seorang Dirut bank BUMN yang hendak  dipindahkan ke bank BUMN lain, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika prosedurnya lebih transparan. 

Pengalaman Sugiharto sebelumnya pada BUMN besar yang juga perusahaan publik,  biasanya sebelum seorang Direksi BUMN dipindahkan akan dipanggil terlebih dulu, lalu diajak berbicara dan diberitahu terlebih dulu. Baru dipromosikan, dimutasi, atau didemosi (diberhentikan tidak hormat). Ini sejalan dengan best practice GCG. Terlebih bila BUMN tersebut merupakan perusahaan terbuka (go public) yang tidak hanya terikat dengan UU BUMN, tapi juga merujuk UU PT, UU Pasar Modal dan Anggaran Dasar Perseroan. Sebagai perusahaan publik, BUMN tersebut harus merujuk pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur tentang tata tertib RUPS.

“Pada BUMN besar yang juga telah go public, hampir semuanya memiliki rencana suksesi sehingga proses dalam pergantian Direksi dilakukan melalui penelusuran bertingkat (bertahap). Direksi dan Komisaris lazimnya mengajukan  calon dari level eselon satu (satu tingkat di bawah direksi) siapa yang layak diajukan sebagai  calon Direksi. Biasanya mereka diminta personal file-nya dan dibuatkan matrix analys lalu dibandingkan dengan calon lainnya,” jelas Sugiharto.

Ia melanjutkan, pada umumnya BUMN  besar memiliki program yang berkelanjutan untuk melakukan assessment. Tidak jarang Kementerian BUMN menggunakan berbagai konsultan SDM untuk mendapatkan second opinion terhadap calon yang bersangkutan. Bagi staf dan incumbent  tentu akan berpikir, apa gunanya ada berbagai program resource and development kalau orang-orang dalam (yang sudah berkarier di BUMN tersebut) diabaikan. Untuk itu rumusan yang diterapkan dalam memilih direksi sepatutnya, plan A: mengambil dari pejabat di bawah dan plan B juga mengambil dari bawah. Sedangkan plan C dilakukan bila calon dari bawah memang tidak ada yang layak menjadi Dirut atau Direksi BUMN tersebut. Cara ini akan sangat mendidik dan memberikan harapan kepada mereka untuk berkompetisi secara wajar.

Setelah dilakukan internal assesment terhadap nama-nama tersebut disampaikan kepada Komisaris untuk diserahkan ke Kementerian BUMN. Kementerian BUMN pun tidak hanya menerima begitu saja. Biasanya Sekretaris Menteri, Deputi dan Asisten Deputi Menteri terkait akan melakukan kajian bila diperlukan. Apalagi jika jumlah calon yang diajukan banyak, biasanya Kementerian BUMN menggunakan lembaga independen untuk melakukan assessment yang independen untuk mendapatkan second opinion.

Langkah ini merupakan upaya menyoroti para kandidat agar yang diajukan kepada Menteri BUMN merupakan kandidat yang layak dipilih menjadi Direksi.Setelah itu Menteri BUMN akan mempertimbangkan karena dampak pemilihan Direksi maupun Dirut bisa berimbas kepada kinerja BUMN secara keseluruhan sesuai dengan RKAP Kementerian BUMN, dimana terdapat target target keuntungan, setoran deviden, target pajak yang harus disetor, serta target-target key performance indicators (KPI) lain. Oleh karena itu, pertimbangan teknis dalam perombakan Direksi BUMN memang harus dilakukan dan tidak tebang pilih.

“Bila proses rekrutmen tidak  terkendali, terukur dan terprogram, moral hazard  pun bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di perusahaan BUMN dan swasta. Oleh karena itu proses rekrutmen merupakan sesuatu yang penting,” ujarnya.

Ia merasa kaget ketika ada sinyalemen bahwa Direksi BUMN bersedia membayar kick back untuk transaksi antar sesama BUMN (inter company). Memang antar BUMN harus bersinergi namun harus positif dan menguntungkan kedua belah pihak.Hal itu kembali kepada proses rekrutmen. Kalau proses rekrutmen tidak akuntabe dan tidak memenuhi syarat GCG, maka akan memunculkan orang-orang yang integritasnya diragukan. “Sesungguhnya banyak strategi yang bisa dilakukan BUMN guna mencegah moral hazard,” jelas Sugiharto.

Pentingnya Kontrol Internal

Ia menambahkan, hampir semua perusahaan memiliki internal control. Dengan adanya surat edaran  tentang Keharusan Penerapan GCG terhadap BUMN, apalagi  pada perusahaan publik yang disayaratkan oleh OJK, maka bila ada transaksi yang memiliki benturan kepentingan, sebaiknya dilaporkan, dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Transaksi sesama BUMN sebenarnya transaksi yang berbenturan kepentingan karena itu harus sangat terbuka. Di BUMN pengawasan sangat berlapis. Di samping ada stakeholders management BUMN, juga ada Komisaris yang menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian  nasihat. Kementerian BUMN juga memiliki inspektorat, deputi dan organisasi kedeputian yang memonitor kinerja BUMN. Selain itu ada juga Satuan Pengawasan Internal (SPI), Kantor AKuntan Publik (KAP),Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunanan (BPKP) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).

Komisaris  mewakili pemegang saham mengawasi pelaksanaan tugas Direksi dalam mengelola BUMN sesuai dengan KPI masing-masing. Direksi juga punya code of conduct,  code of etic, dan board manual yang jelas tentang hak dan kewajiban Direksi dan Komisaris sesuai dengan Anggaran Dasar. Biasanya BUMN yang transparan bekerjasama dengan unsur KPK dan Kejaksaan Agung dalam rangka koordinasi guna mencegah  terjadinya  malpraktik, baik disengaja maupun tidak disengaja.

Sugiharto menambahkan, Kementerian BUMN seyogianya berfungsi sebagai superholding organization, bukan superholding company. BUMN tidak hanya mencari keuntungan semata tetapi juga sebagai agent of development, karena itu CSR  BUMN harus tetap berjalan.  Pada rencana strategis (Renstra)  BUMN tahun 2015 -2019, tercatat bahwa BUMN diarahkan memiliki visi untuk menjadi world class company. Pembentukan holding BUMN secara sektoral sudah tepat agar bisa fokus dan bersaing di kancah global.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.