
Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Kosumen Indonesia (YLKI)
Terlepas dari kasus Dirut PT PLN Sofyan Basir yang ditangkap KPK dengan tuduhan menerima gratifikasi atas proyek PLTU Riau I, publik lalu bertanya, bagaimana sejatinya kinerja dan performa PT PLN dalam melayani konsumennya? Pertanyaan semacam ini cukup absah, sebab bagaimanapun, dalam tuduhan kasus rasuah langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap performa pelayanan PT PLN sebagai penyedia layanan publik di bidang ketenagalistrikan.
Untuk menakar performa pelayanan PT PLN pada konsumennya, di antaranya data pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukan, listrik sebagai infrastruktur tampaknya memang lebih andal. Pengaduan konsumen yang diterima YLKI dalam lima tahun terakhir bukan lagi soal pemadaman aliran listrik, lebih dikarenakan adanya pemeliharaan, bukan pemadaman karena defisit daya.
Meski demikian infrastruktur penunjang di sektor ketenagalistrikan sangat mendesak untuk di upgrade, seperti jaringan distribusi, trafo, gardu induk dan juga jaringan transmisi. Selain kapasitasnya masih kurang, juga faktor usia, dan over kapasitas. Hal ini berdampak terhadap keandalan dan kualitas aliran listrik yang diterima konsumen akhir.
Berdasarkan hasil riset Institute for Essensial Services (IESR) pada 2018, kualitas tegangan aliran listrik di Indonesia rata-rata masih di bawah 220 Volt, termasuk di rumah penulis yang hanya 170 Volt. Padahal masih di area Jakarta, apalagi di luar Jakarta atau bahkan di luar Pulau Jawa.
Jika terkait pasokan daya listrik, yang terjadi bukan kekurangan pasokan daya, tetapi justru kelebihan daya, over suplai, khususnya di Jawa, Bali dan Madura. Saat ini PT PLN selaku operator ketenagalistrikan pun masih mencari solusi menjual energi listriknya ke konsumen. Fenomena ini terjadi seiring dengan masuknya sistem pembangkit 35.000 MW (Mega Watt), walau hanya berkisar delapan persen saja. Pada akhir 2018, pembangkit PT PLN secara nasional mencapai 62,8 GW (Giga Watt). Capaian ini meningkat hampir 10 GW, dari 2014 yang hanya mencapai 55 GW. Pada sistem ketenagalistrikan Jawa Madura Bali (Jamali) saat ini kapasitas terpasang pembangkit mencapai 34.550 MW.
Namun, hingga kini, manajemen PT PLN dan pemerintah, tampak belum mempunyai strategi yang jelas bagaimana cara menjual energi listrik yang melimpah itu. Sebab ketika sistem pembangkitan sudah berjalan, sudah menyala, mau tidak mau harus disalurkan, harus dijual. Manajemen PT PLN memang tampak melakukan berbagai manuver untuk menjual energi listrik yang melimpah itu. Misalnya pada pertengahan 2018 manajemen PT PLN mewacanakan “lepas setrum” untuk kategori rumah tangga minimal 3500-5000 VA (Volt Ampere). Harapannya daya listrik konsumen lebih stabil dan andal, tidak sering njeglek. Sebuah asumsi yang benar juga, walau, tujuan strategisnya adalah agar energi listrik PT PLN yang melimpah ruah itu makin terserap konsumen. Tetapi rencana itu belum bisa dieksekusi karena memang belum mendapatkan kajian yang matang.
PT PLN dan pemerintah belum menyerah, tetap memutar otak dengan keras bagaimana menjual energi listrik tersebut. Setelah jurus “lepas setrum” belum bisa dieksekusi, PT PLN dan pemerintah mengampanyekan penggunaan kompor listrik untuk rumah tangga, bahkan sepeda motor listrik untuk moda transportasi. Seolah tak ada kata menyerah! Kendati lebih realistik, kebijakan ini juga belum mempunyai masa depan yang jelas.
Ada kendala cukup serius terkait kompor listrik (kompor induksi). Selain harganya mahal, konsumen juga harus menambah daya listrik, dan masih ada perasaan takut kebakaran atau risiko kesetrum. Konsumen juga khawatir bila tagihan listrik melambung. Dengan demikian, masa depan implementasi kompor listrik dan juga sepeda motor listrik masih terlihat belum jelas, masih suram. Kecuali pemerintah memberikan insentif pada konsumen, sebagaimana dulu pemerintah dengan program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Waktu itu, pemerintah membagikan kompor dan tabung gas elpiji 3 kg ke masyarakat secara gratis. Penggunaan sepeda motor listrik, juga tampak masih berat mengingat harga bahan bakar minyak masih terjangkau, apalagi jenis BBM premium. Pun keandalan sepeda motor listrik belum teruji.
Tetapi di sisi lain, kebijakan pemerintah seperti “menyerimpung” PT PLN itu sendiri, yakni adanya beleid baru bagi konsumen untuk memasang listrik berbasis panel surya di rumah. Menteri ESDM, Ignatius Jonan mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. Tahun 49 Tahun 2018 tentang pemakaian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) oleh konsumen. Peraturan Menteri ESDM tersebut merupakan penguatan landasan hukum bagi konsumen untuk mengeksplorasi energi listrik dari tenaga surya, yang selama ini hanya dilegalisasi dengan SK Direksi PLN. Dari sisi kebijakan energi keberlanjutan, kebijakan ini sangat bagus, karena mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Tetapi secara empiris menjadi tantangan tersendiri bagi PT PLN.
Bayangkan kalau pemasangan panel surya menjadi gerakan masal, maka penjualan energi listrik PLN akan makin tergerus. Saat ini lebih dari 3.000 orang di seluruh Indonesia yang telah memasang PLTS di rumahnya. Dan fenomena ini akan terus bertumbuh, seiring dengan faktor daya beli masyarakat, plus kesadaran baru bagi konsumen untuk menggunakan energi yang berbasis EBT.
Satu lagi persoalan yang cukup pelik di sektor ketenagalistrikan adalah pasokan energi primer. Menginstalasi pembangkit listrik jauh lebih gampang, tetapi yang jauh lebih sulit adalah memasok energi primer ke pembangkitnya. Baik terkait pasokan energi primernya dan atau harganya. Saat ini dominan pembangkit yang dibangun adalah pembangkit berbasis batu bara (PLTU). Pasokan sepertinya tidak akan menjadi masalah, karena Indonesia adalah negara penghasil batu bara, bahkan menjadi eksportir batu bara terbesar di dunia.
Tetapi masalahnya, jika harga yang dipatok untuk pembangkit PLN harus mengikuti harga internasional, dampak ekonominya adalah konsumen yang harus menanggung, dengan tarif listrik yang mahal. Oleh karenanya harus ada harga DMO (Domestic Market Obligation) bagi pembangkit PLN. Saat ini DMO batubara yang diberikan pemerintah masih setengah hati, baik dari sisi harga dan atau waktunya. Saat ini harga DMO batubara untuk PLN adalah 70 US$ per metrik ton, dan akan habis pada 2019. Pertanyaannya, beranikah pemerintah memperpanjang dan bahkan memberikan harga DMO yang lebih murah pada pembangkit PLN?
Bisa disimpulkan PT PLN secara umum sudah mengalami perbaikan signifikan, khususnya dari kesinambungan pasokan. Upaya untuk mengatasi defisit daya, dengan membangun sistem pembangkit 35 ribu MW pun patut diberikan apresiasi. Bagaimanapun listrik adalah infrastruktur utama. Dari keseluruhan pelayanan kepada konsumen memang harus terus ditingkatkan, sehingga kualitas pelayanan PT PLN benar-benar andal bagi konsumen. Apalagi untuk konsumen industri dan bisnis, yang sangat sensitif terhadap kualitas dan keandalan energi listrik.
Namun kita perlu mendorong pemerintah untuk meningkatkan kebijakan ekonomi makro yang lebih kondusif dan ramah terhadap investor guna mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Sebab energi listrik yang melimpah akan mubazir jika tidak diserap sektor industri dan bisnis. Kemampuan penyerapan listrik oleh sektor rumah tangga tak signifikan untuk mengeksplorasi energi listrik yang melimpah itu. Secara finansial PT PLN semakin kinclong. Setidaknya jika hal ini ditandai dengan laporan finansial PT PLN 2018 yang mampu membukukan keuntungan sebesar Rp 11,6 triliun. Ini jelas prestasi yang luar biasa, di tengah tekanan eksternal PT PLN yang sangat keras.
Semoga ini menjadi tengara bahwa keberlanjutan PT PLN baik secara finansial dan atau pelayanan kepada konsumennya makin membaik. Dan rasio elektrifikasi pada 2019 akan mendekati angka 100 persen. Ini juga bukti bahwa kendati kasus rasuah menjerat dirut, terbukti tidak berpengaruh terhadap kinerja dan performa PT PLN.