KOLOM PAKAR

Menanti Kejelasan Subhoding BUMN

Oleh : Agus Pambagio

Pengamat Kebijakan Publik

Kementerian BUMN akan mengganti  konsep superholding dengan subholding. Tetapi, sebelumnya harus dijelaskan dulu ke publik, pengertian subholding yang dimaksud. Lalu, apa perbedaannya dengan holding yang sekarang sudah telanjur dibentuk? Saya melihat, keduanya tidak ada perbedaan. Bahkan subholding tidak ada nomenklaturnya sedangkan holding ada pengertiannya dalam ilmu manajemen. Maka  ketika PGN dijadikan subholding gas, saya tidak setuju karena dikhawatirkan nanti akan memberi gambaran tidak jelas kepada masyarakat.

Sebaiknya, sekarang pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN Ercik Thohir menjelaskan terlebih dahulu perbedaan antara holding dengan sub holding, juga super holding. Apakah dengan subholding Kementerian BUMN hendak menggabungkan semua BUMN, seperti Indonesia Incorporated?  Lalu apa bedanya? Kalau demikian, antara subholding dan holding hanya berganti istilah saja. Karena istilah subholding tersebut tidak clear sehingga  berdampak ke publik. Masyarakat, termasuk pelaku ekonomi pun masih tidak paham sehingga membuat mereka bingung.  

Selain menjelaskan definisi subholding kepada publik, Kementerian BUMN juga harus menjelaskan tujuan subholding. Apakah hendak menghasilkan penguatan BUMN? Ini penting karena selama ini kita hanya berkutat pada istilah, tetapi tidak menjalankan.

Selama ini holding BUMN yang sudah dibentuk pun belum ada yang mendapat keuntungan. Karena itu saya tidak pernah setuju dengan pembentukan holding BUMN. Dikatakan pula, pembentukan holding  BUMN dilakukan supaya aset menjadi lebih besar sehingga bisa mendapatkan pinjaman dengan nilai lebih besar pula. Namun saya belum melihat manfaatnya yang nyata. Untuk itu saya menolak holding dan subholding selama belum jelas konsep.

Termasuk pula  ketika pemerintah membuat Holding, ketika berganti menteri  selalu berganti kebijakan sehingga kita tidak akan bisa maju.  Sebaiknya, bila menteri yang sebelumnya sudah berkinerja baik dan kebijakannya menghasilkan ekonomi bertumbuh, ya jangan diganggu. Menteri yang baru sebaiknya mengerjakan yang belum dilakukan menteri sebelumnya. Bila seperti ini, kita kembali ke titik nol lagi. Maka saat PGN mau diambil alih Pertamina lalu dibentuk holding, saya memprotes  dasar pembentukan holding tersebut.

Dalam pendirian Holding Migas secara otomatis PGN tidak lagi menjadi BUMN. PGN beralih menjadi anak perusahaan PT Pertamina (Persero, itu artinya, PGN menjadi perusahaan  swasta. Dengan demikian bila terjadi penjualan aset PGN, tidak perlu lagi melakukan pembicaran dengan DPR RI. Saham publik yang ada di PGN bisa dibeli oleh pemerintah atau tetap ada. Hal itu tergantung keputusan pemegang saham.

Di sisi lain, kinerja holding yang ada sekarang belum ada yang mendapat untung, lantas hendak dibongkar menjadi subholding . Jangan sampai hanya karena menterinya berbeda lalu istilah holding diubah menjadi subholding yang bagi saya masih sama saja.

Saya belum mengetahui  tujuan Menteri BUMN Erick Thohir mengganti holding dengan subholding. Katakanlah ingin membesarkan BUMN. Kalau dulu, Menteri BUMN Rini M Soemarno mendirikan holding  untuk  melawan Temasek milik Singapura dan Khazanah milik Malaysia. Lalu, setelah terbentuk holding, selanjutnya hendak melakukan apa? Selama ini saya tidak setuju dengan pembentukan holding karena hanya untuk melawan Temasek dan Khasanah. Ini adalah hal yang berbeda, mengingat keduanya mempunyai visi menggarap bisnis ke luar negaranya sehingga mampu membeli saham di mana-mana. Sementara holding BUMN kita masih menggarap pasar domestik, tujuannya ke dalam negeri, bukan ke luar negeri.

Lihat saja  PGN yang sebelumnya merupakan perusahaan terbuka. Ketika perusahaan tersebut diambil alih lalu menjadi holding Pertamina, kini PGN bukan lagi BUMN. Yang terjadi selama ini ngawur karena melanggar UU BUMN. Kita juga bisa melihat holding BUMN infrastruktur, misalnya,  berapa likuiditas dan berapa asetnya. Bukan bertambah bagus tetapi malah bertambah remuk.

Begitu pula dalam pembentukan Holding Migas juga ada potensi konfilik kepentingan. Di mana Pertamina yang selama ini merupakan perusahaan yang bisnis utamanya bergerak di sektor minyak masih menggantungkan 60 persen kebutuhan dalam negeri dari impor. Sedangkan gas bumi yang menjadi inti bisnis PGN, sangat banyak dimiliki oleh bumi Indonesia namun belum dimanfaatkan optimal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adanya penggabungan pengelolaannya di satu tempat, maka tidak akan optimal karena penambahan pemanfaatan gas bumi berarti pengurangan pemanfaatan minyak bumi, pengurangan market share dan penurunan kinerja pengelolaan minyak.

Begitu pula Holding Penerbangan , tidak ada untungnya membentuk selain membesarkan aset semata. Dari beberapa holding yang sudah dibentuk sebelumnya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Saya tidak melihat untungnya di mana.

Sedangkan terkait kebijakan anak usaha BUMN, sebaiknya anak usaha BUMN yang merugi di likuidasi. Jangankan BUMN, perusahaan swasta saja jika tidak menguntungkan akan diputuskan oleh pemegang saham. Tetapi Kementerian BUMN  jangan terlalu memusingkan anak usaha BUMN karena anak usaha BUMN merupakan perusahaan swasta sehingga yang menentukan adalah rapat pemegang saham. Dalam Undang-undang tentang BUMN disebutkan anak usaha BUMN bukan termasuk perusahaan BUMN melainkan perusahaan swasta. Makanya kalau saya ditanya PGN apakah BUMN atau bukan? Saya jawab bukan lagi BUMN, tetapi sudah menjadi swasta.

Jadi, kalau Menteri BUMN henak membentuk suholding berikan penjelasan dulu kepada publik, apa untung ruginya. Publik bisa saja tidak peduli, tetapi bagi yang berkepentingan akan bingung.  Sehingga apa yang dilakukan Erick Thohir malah membingungkan publik. Sebelum dilanjutkan terlalu jauh, penting dijelaskan dulu apa arti masing-masing kebijakan itu untuk memberikan gambaran dan pemahaman kepada masyarakat dan siapapun yang berkepentingan. Dijelaskan secara detail sesuai pemikiran Menteri BUMN.

Artikel Terkait

Back to top button