Mencari Peran BUMN dalam Manajemen Penanggulangan Bencana Negara

E-Magazine Januari - Maret 2025

Oleh: Dr. Dianta Sebayang

Direktur Eksekutif Socio Economic and Educational Business Institute Indonesia dan Kepala Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta

Sejak kejadian bencana besar gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada tahun 2004, penanggulangan bencana menjadi salah satu isu nasional yang menjadi perhatian semua pihak. Kondisi geologis, geografis, hidrologis, demografis dan sosiologis wilayah Indonesia menjadikannya rawan terhadap bencana, baik bencana alam, non-alam, maupun bencana sosial. Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) BNPB (http://dibi.bnpb.go.id/) menunjukkan bahwa jumlah kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana dalam periode tahun 1815-2019 terus meningkat.

Dapat dikatakan bahwa dalam dua abad terakhir ini Indonesia telah mengalami ribuan bencana geologis maupun hidrometeorologis yang menimbulkan ratusan ribu korban jiwa manusia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan dasar dan paradigma baru dalam pelaksanaan upaya penanggulangan bencana (yang tidak lagi sekedar upaya tanggap darurat), baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Salah satu paradigma yang dibangun dalam UU tersebut ialah penanggulangan bencana harus melibatkan semua pihak, termasuk lembaga usaha dan lembaga internasional. Untuk peran kedua jenis lembaga tersebut, UU menyebutkan secara khusus pada bab VI Peran Lembaga Usaha dan Lembaga Internasional.

Terkait dengan lembaga usaha, Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2007 menyebutkan “Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain”. Dan Pasal 29 mengatakan “Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana”. Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pasal 87 secara jelas menyebutkan beberapa peran yang bisa dilakukan oleh lembaga usaha, baik pada fase sebelum, saat dan sesudah bencana. Hal ini menunjukkan pentingnya peran lembaga usaha dalam penanggulangan bencana.

Peran BUMN Dalam Penanggulangan Bencana

Sebagaimana paradigma baru dalam UU No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana juga meliputi fase sebelum dan sesudah bencana. Dan tentunya, BUMN juga bisa memiliki partisipasi yang besar dalam dua fase tersebut. Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pada pasal 88 menyebutkan “BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN”. Pasal ini dipertegas oleh Keputusan Menteri BUMN No. 236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pada pasal 2 keputusan tersebut, dikatakan “BUMN wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Keputusan ini”.  Dan pada pasal 10 disebutkan “Dana Program Bina Lingkungan digunakan untuk tujuan yang memberikan manfaat kepada masyarakat di wilayah usaha BUMN dalam bentuk bantuan: (a) Korban bencana alam; (b) Pendidikan dan atau pelatihan; (c) Peningkatan kesehatan; (d) Pengembangan prasarana dan sarana umum; (e) Sarana ibadah”.

Berdasarkan keputusan tersebut, bantuan ini banyak diberikan pada fase saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan sebagian sudah masuk pada fase setelah bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Sedangkan pada fase sebelum bencana (pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan) tidak banyak dilakukan dalam konteks bantuan korban bencana alam, karena banyak kegiatan fase sebelum bencana dilakukan “sebelum” masyarakat menjadi korban bencana. Pada prakteknya, banyak hal yang sudah dilakukan oleh BUMN, terkait dengan program bina lingkungan yang bukan bagian dari “bantuan korban bencana alam”, sudah terkait dengan upaya-upaya pengurangan risiko. Misalnya, program peningkatan kesehatan masyarakat, pembangunan infrastruktur di pedesaan, dan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat pedalaman, adalah bagian dari upaya pengurangan risiko masyarakat di sana. Karena, program-program tersebut telah meningkatkan kapasitas masyarakat.

BUMN Perlu Mengambil Peran dalam Mitigasi Bencana

Berangkat dari landasan rangkaian kebijakan penanggulangan bencana alam, banyak hal yang perlu mendapat perhatian seperti upaya-upaya pengurangan risiko bencana, yang meliputi pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Hal ini  bisa menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan lain yang dilaksanakan oleh BUMN, seperti pendidikan dan pelatihan, peningkatan kesehatan, dan pengembangan prasarana dan sarana umum.

Sadar akan hal itu, pemerintah melalui pemerintah melalui BNPB kini meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan lembaga usaha dalam penanggulangan bencana. Hal itu diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepahaman tripartit antara BNPB, Perum Perhutani, dan PT Sulotco Jaya Abadi (Kapal Api) tentang Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Budi Daya Tanaman Kopi Guna Mendukung Kegiatan Penanggulangan Bencana. Penandatanganan nota kesepahaman juga dilakukan antara BNPB, Perhutani dan PT Galih Jaya tentang Penguatan Logistik dalam Penanggulangan Bencana. Kerja sama ini mutlak dilakukan untuk mendukung mitigasi bencana melalui pengembalian fungsi hutan baik secara ekologis maupun kemanfaataan sosial ekonomi bagi masyarakat diperlukan sebagai bentuk upaya preventif bencana.

Sebagai perusahaan plat merah, Perhutani harus terus menjalin kerja sama dalam konservasi hutan di Jawa dan membuat program-program ekonomi yang turut memperhatikan lingkungan dan dijadikan role model bagi perusahaan plat merah lainnya untuk terus bergerak sesuai bidang usahanya untuk meningkatkan komitmen dan berkontribusi lebih dalam penanggulangan bencana.

Pembuat Kerangka Kerja Sama

Merujuk pada beberapa kebijakan pemerintah yang terkait dengan peran lembaga usaha (BUMN dan swasta) dalam menggambil peran tanggung jawab sosial terkait penanggulangan bencana masih sebatas pada fase tanggap darurat dan sedikit pada paska bencana, bukan dalam kerangka manajemen bencana dengan pemaparan manajemen inklusif mulai dari mitigasi (fase sebelum bencana), fase bencana dan fase pasca-bencana. Hal ini masih belum bisa menjadi terjemahan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang menyatakan bahwa peran lembaga usaha terlibat dalam semua fase penanggulangan bencana (sebelum, saat, dan pasca-bencana).

Diperlukan proses integrasi dengan mengupayakan sinergitas kebijakan bagi peran lembaga usaha (BUMN dan swasta) dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dalam konteks penanggulangan bencana, pemerintah, lembaga usaha dan para pelaku lainnya, perlu membuat kerangka kerja untuk melihat peran lembaga usaha. Disamping pendekatan program PKBL dan TJSL yang sudah ada, secara alami, sesuai dengan bisnis intinya, lembaga usaha bisa memberikan kontribusi pada pengurangan risiko bencana.

Pemerintah bisa melakukan uji coba proses integrasi tersebut  pada BUMN sebagai pilot project. Misalnya BUMN yang bergerak pada bidang konstruksi dalam membangun gedung BUMN diwajibkan menggunakan standar bangunan tahan gempa, hotel-hotel di pinggir pantai rawan tsunami bisa menggunakan lantai atasnya untuk tempat evakuasi masyarakat. Sedangkan BUMN yang bergerak pada bidang retail bisa mendistribusikan bahan kebutuhan penyintas bencana di banyak tempat dan lain-lain. Konteks kebijakan, pengalaman yang sudah ada, program dan cita-cita bisa menjadi bahan ramuan untuk membangun kerangka kerja bersama. Dalam hal ini, cita-cita “Indonesia Maju  Membangun Ketangguhan Bangsa” bisa menjadi isu perekat untuk mewujudkan kerangka kerja tersebut.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.