Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, Sampai Di Manakah Kita?

E-Magazine Januari - Maret 2025
Oleh: Juniati Gunawan, PhD, Green Finance dan Green Productivity Specialist, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti – Jakarta

Oleh: Juniati Gunawan, PhD, Green Finance dan Green Productivity Specialist, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti – Jakarta

Sudah tiga tahun sejak United Nations Sustainable Development Summit tanggal 25-27 September 2015 mengeluarkan gerakan pembangunan berkelanjutan dengan 17 tujuannya. Tidak kurang dari 193 negara, termasuk Indonesia, secara resmi menyatakan komitmennya untuk mendukung target pencapaian Pembangunan Berkelanjutan atau sering disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Melalui Kementerian Perencanaan/Bappenas, Pemerintah Indonesia terus gencar mendengungkan seruan SDGs bagi semua pihak. Pemerintah tidak mungkin mencapai target penurunan 1,5°C  suhu udara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 45 persen pada tahun 2030 apabila tidak didukung oleh banyak pihak, termasuk dunia usaha.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Polandia, 3 Desember 2018 terkait perubahan iklim telah dilakukan dan dihadiri oleh 29 negara yang terus menyuarakan langkah nyata untuk mengurangi perubahan iklim. Komitmen Pemerintah Indonesia di dalam negeri juga dilakukan setiap tahun dengan menggelar program SDGs Annual Conference, dan yang terakhir adalah 17 Desember 2018. Dalam konferensi ini, Pemerintah Indonesia melalui Bappenas akan terus berperan sebagai financing hub yang akan menyinergikan dana-dana dalam mendukung SDGs di Indonesia.

Dukungan pada SDGs juga telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No.51/POJK.03/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan (sustainable finance). Peraturan ini menjadi salah satu breakthrough bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), emiten dan perusahaan publik di Indonesia. Peraturan OJK dengan tegas mengarahkan semua LJK secara bertahap untuk memperhatikan proses penyaluran dananya dengan mulai mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial, melalui rencana aksi keuangan berkelanjutan. Selain itu, OJK juga mulai mengarahkan kegiatan tanggung jawab sosial LJK untuk mendukung implementasi keuangan berkelanjutan yang pada akhirnya adalah pencapaian target bagi SDGs.

Terakhir, adanya POJK 51/POJK.03/2017 juga mewajibkan semua LJK, emiten dan perusahaan publik untuk membuat laporan keberlanjutan sebagai salah satu bukti akuntabilitas dunia usaha pada pemangku kepentinganya. Laporan ini harus disampaikan kepada OJK dan dimuat dalam situs web perusahaan.

Lalu bagaimana dengan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Tentu, sebagai BUMN, perusahaan ini menjadi tumpuan Pemerintah Indonesia untuk ikut mendukung SDGs. Walaupun gaung BUMN tidak terlalu keras, namun beberapa tahun belakangan, Kementerian BUMN sudah mulai mewajibkan semua BUMN untuk menyampaikan laporan keberlanjutan bersamaan dengan penyampaian laporan tahunan melalui situs web BUMN. Artinya, tidak hanya laporan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) saja, akan tetapi laporan keberlanjutan juga sudah menjadi salah satu syarat penyampaian laporan kinerja bagi semua BUMN setiap tahunnya.

Setiap BUMN dapat mulai memetakan target apa yang hendak dicapainya melalui pemahaman SDGs. Indonesia telah memasang 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, 169 target pencapaian dan 241 indikator yang semuanya dapat diunduh dalam metadata Bappenas. Tentu tidak mudah mencapai banyaknya tujuan ini tanpa dibarengi dengan kerja keras dan kesadaran yang tinggi bahwa pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan adalah mengupayakan kehidupan bagi masa depan.

Bila tujuan ini dimaknai sebagai upaya yang ‘berlebihan’ dengan cara pandang yang hanya mengedepankan aspek ekonomi, maka Bappenas telah siap dengan semua prediksi biaya yang terjadi apabila kita tidak mau menerapkan pembangunan berkelanjutan ini. Dengan bahasa sederhana, apabila kita semua, termasuk BUMN tidak memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, maka kita sedang menciptakan beban biaya yang kita buat saat ini untuk dipindahkan kepada generasi yang akan datang.

Banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh BUMN dalam mendukung SDGs, terutama yang berada di daerah pelosok. Salah satu kegiatan CSR, yaitu pemberdayaan masyarakat atau community development (comdev) sangat mungkin untuk diarahkan pada bidang kesehatan dan lingkungan yang saat inipun sudah banyak dilakukan, namun lagi-lagi, minim perhitungan dan data yang dapat dicatat.

Penyediaan air bersih, penyediaan dokter dan bantuan kesehatan sering menjadi kegiatan comdev BUMN, tetapi kegiatan ini banyak sekali yang belum terukur. Kegiatan BUMN dan program-program utamanya perlu dibarengi dengan pembelajaran dan pemberdayaan, sehingga kemandirian mitra binaan dapat terukur dan pada akhirnya tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi target juga dapat dievaluasi dan ditingkatkan.

Pengukuran kegiatan pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, yaitu:

1). Adanya pemetaan sosial yang sangat berguna untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan potensi masyarakat lokal sebagai langkah awal untuk merencanakan program kegiatan. Pemetaan sosial yang tidak dilakukan dengan baik seringkali menghasilkan program pemberdayaan masyarakat yang tidak tepat sasaran, tidak berdaya guna maksimal dan tidak mendapatkan kemitraan yang kuat.

2). Perencanaan program melalui pembuatan peta jalan (roadmap). Peta jalan menjadi salah satu alat evaluasi untuk memastikan bahwa program telah dijalankan sesuai dengan rencana dan target yang dapat merujuk pada salah satu SDGs. Peta jalan ini juga memuat strategi pelaksanaan, target dan capaian setiap tahun hingga target penyelesaian program.

3). Pendampingan yang harus dilakukan secara bertahap dengan target capaian tertentu. Pendampingan merupakan proses yang memerlukan banyak waktu dan kerja sama dengan banyak pihak, terutama pemerintah setempat. Sinergi antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan, serta tokoh masyarakat merupakan kunci keberhasilan program pemberdayaan masyarakat.

4). Pengawasan dan evaluasi diperlukan untuk memastikan bahwa program sesuai dengan target SDGs yang telah ditetapkan. Pengawasan dan evaluasi dapat dilakukan apabila capaian dapat diukur, walaupun menggunakan angka prediksi, selama angka-angka tersebut masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya pengukuran, maka pengawasan dan evaluasi akan sulit dilakukan. Setelah adanya pengukuran, maka diperlukan laporan. Laporan ini sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dan transparansi pada semua pemangku kepentingan.

Keempat langkah di atas adalah cara sederhana yang perlu dilakukan oleh BUMN dalam menjalankan kegiatan pemberdayaan masyarakatnya agar dapat mendukung SDGs. Tanpa langkah-langkah tersebut, maka capaian SDGs tidak dapat kita pantau dan tingkatkan.

Pertanyaannya, sampai di manakah kita saat ini? Apakah BUMN sudah dapat menyampaikan salah satu (saja) dari 17 tujuan SDGs? Sebagai contoh, penurunan angka kemiskinan yang seringkali menjadi pilihan SDGs (target 1), tetapi seringkali informasi ini disajikan dalam pelaporan tanpa data sehingga sulit bagi kita untuk menyatakan apakah tujuan penurunan angka kemiskinan dapat tercapai.

Rendahnya kualitas laporan juga menjadi penyumbang peliknya pengukuran capaian tujuan SDGs. Hasil penelitian dari Trisakti Sustainability Center (TSC), Universitas Trisakti mengungkapkan 87% laporan keberlanjutan tahun 2017 yang ada di Indonesia masih berada pada kualitas yang ‘rendah’. Artinya, banyak sekali laporan keberlanjutan yang hanya menyampaikan narasi atau mengulang isi laporan tahunan, tanpa menyampaikan strategi atau capaian kinerja keberlanjutan yang dibarengi dengan angka-angka atau tren. Dengan demikian, maka isi laporan yang dapat digunakan untuk evaluasi dan mencatat pencapaian, tidak dapat dilakukan. Tingkat kepercayaan atas isi laporan (kredibilitas) juga masih rendah. ‘Nice to have’ agaknya masih menjadi pegangan bagi para BUMN dalam menyampaikan laporan keberlanjutan sehingga pengukuran capaian SDGs belum dapat dilakukan melalui penyampaian laporan ini.

Tantangan kita masih panjang hingga 2030. Kesadaran BUMN untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang merujuk pada target SDGs harus mulai dilakukan, disertai dengan penyampaian laporan yang komprehensif, terukur dan terpercaya. Apresiasi kepada Kementerian BUMN yang terus memberikan dukungan pada penyampaian laporan keberlanjutan. Namun demikian, pembelajaran, pemahaman dan pendampingan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas kinerja dan pelaporan.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.