KOLOM PAKAR

Mewaspadai Krisis Akibat Covid-19

oleh : Hans Kwee, CSA, CIB, CFFA, PFM

           Direktur PT Anugerah Mega Investama

Kemunculan Covid-19 membuat banyak negara di dunia menghadapi masalah kesehatan. Termasuk pula memunculkan kekhawatiran akan tertular penyakit, serta  risiko kematian.  Pasien positif terinfeksi virus Corona di seluruh dunia hingga 25 April 2020 mencapai 2,84 juta orang.  Negara Amerika Serikat paling besar di dunia dengan  jumlah pasien positif mencapai 925.758 orang dan setidaknya 52.217 dilaporkan meninggal.  Berikutnya,  Spanyol dengan pasien terinfeksi 219.764 orang,  Italia  sebanyak 192,994 orang, Perancis 159.828  orang, serta Jerman sebanyak 155.054 pasien terinfeksi.

Menurut Worldometers.info/coronavirus, per 25 April 2020, Indonesia berada di posisi ke-36 dunia  dengan jumlah mencapai  8.607 kasus. Pandemi Covid-19 ini  sudah menekan  pasar modal dan bila tidak dapat dikendalikan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi. Para pelaku pasar pun perlu bersiap menghadapi krisis yang  muncul akibat penyebaran Covid -19 ini.

Belajar dari kasus di berbagai negara di dunia, Virus Corona tipe baru ini punya kecepatan penyebaran tinggi, meskipun di awal tingkat kematian tercatat relatif rendah, cuma sekitar 3,4 persen. Tetapi ketika penyebarannya tidak terkendali, fasilitas kesehatan pun menjadi tidak mencukupi untuk merawat pasien. Kondisi ini menaikkan angka kematian sampai sekitar 10 persen.  Berbagai langkah dilakukan guna memutus mata rantai penyebaran virus dengan menerapkan  lockdown, social distancing dan physical distancing, yang berujung instruksi pemerintah agar  bekerja dan belajar dari rumah.

Kebijakan tersebut tentu mempengaruhi aktivitas kehidupan  sehingga berimbas pada perekonomian. Yang sudah  terlihat, perputaran roda perekonomian melambat, bahkan ada banyak bisnis yang terhenti. Bila sebuah bisnis berhenti, tentu memuncul masalah. Terdapat  konsekuensi biaya-biaya operasi yang mesti ditanggung perusahaan seperti biaya sewa, gaji, cicilan utang dan bunga. Beberapa perusahaan melakukan PHK akibat omzet anjlok  bahkan berhenti beroperasi selama pandemi Covid-19.

Stimulus Pemerintah

Data Kemenaker per 20 April 2020 menyebutkan, 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi Covid-19. Rinciannya, sektor formal 1.304.777 pekerja dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara yang terkena PHK mencapai 241.431 orang dari 41.236 perusahaan.  Termasuk sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan UMKM.

Meski  dalam kondisi sulit, kita  perlu mengapresiasi segala stimulus yang pemerintah demi membantu dunia usaha dan masyarakat keluar dari masalah. Pemerintah mengeluarkan dana penanganan Covid-19 mencapai Rp 405 triliun. Dana yang bersumber dari realokasi APBN dan surat utang tersebut diharapkan dapat mempercepat penanganan wabah virus Corona di Indonesia.

Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur tata cara pengajuan restrukturisasi kredit bank dan pinjaman leasing bagi pihak yang terdampak Covid-19 sangat baik.  Kebijakan tersebut dapat mengurangi beban UKM dan pekerja informal.  Namun berbagai kebijakan ini ternyata hanya menjadi sentiment jangka pendek bagi pasar saham. Pelaku pasar secara psikogis masih lebih fokus terhadap kapan pandemi Covid-19 mencapai puncak dan mulai turun. Kapan Pandemi ini dapat di atasi dan perekonomian kembali normal menjadi sentimen yang dinanti pelaku pasar.

Pelaku pasar keuangan akan sangat optimistis ketika diketahui jumlah  penderita Covid-19 yang sembuh ternyata lebih banyak daripada kasus baru. Dalam situasi sekarang, sebesar apapun stimulus yang diberikan pemerintah bila belum mampu mengatasi pandemi covid 19 maka sulit memutar roda perekonomian untuk menciptakan pemulihan.  

Tanda bahwa kasus Covid-19 mencapai puncak mulai terlihat di Eropa, sebagai  wilayah terbesar yang terdampak Covid-19. Tetapi sekarang pelaku pasar juga fokus kira-kira sampai kapan virus ini bisa ditanggulangi sehingga aktivitas ekonomi bisa normal kembali. Karena itu krisis kali ini menjadi kompleks lantaran  tidak ada  pihak yang berani  memastikan masalah Covid-19 berakhir.

Melebihi Krisis Sebelumnya

Efek dari Covid-19 menimbulkan krisis  yang lebih kompleks dibanding krisis ekonomi 1998-1999. Bahkan dengan krisis subprime mortgage Amerika Seritkat (AS) di 2008-2009. K risis ekonomi 1998-1999 yang berpusat di kawasan Asia tersebut bermula di Thailand dan menyebar negara lain di Asia, yakni Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Indonesia pun tertular akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar sehingga sektor rill  terpukul. Sektor riil yang paling terpukul adalah yang berutang dalam mata uang asing kususnya dolar AS dan belanja modal, bahan baku impor.

Efeknya berantai. Kredit macet di sektor perbankan meningkat.  Adanya gejolak politik di Indonesia dan mundurnya Presiden  Soeharto dari kursi  kepresidenan, telah menambah ketidakpastian ekonomi. Terjadi rush pada perbankan akibat krisis multidimensi ini dan rumor gagal bayar perbankan, yang menyebabkan runtuhnya sistem keuangan Indonesia.

Demikian pula krisis subprime mortgage  yang  berasal dari AS. Ini  akibat kurang prudent-nya penyaluran kredit perumahan. Kebijakan  rendahnya suku bunga untuk mendorong ekonomi dan apresiasi harga rumah telah disalahgunakan sehingga mendorong spekulasi di sektor properti.

Lantaran banyak pemberian kredit perumahan kurang hati-hati, sehingga agunan tidak sesuai nilai fundamental. Selain itu ada berbagai permasalahan, mulai dokumen tidak lengkap hingga rasio debt to income dan payment to income (PTI) yang terlalu tinggi. Terjadilah krisis subprime mortgage, yang dianggap krisis kedua terbesar di dunia setelah krisis 1930.

Pada saat krisis subprime mortgage , terjadi aliran dana keluar dari perekonomian Indonesia sehingga  menekan  nilai tukar. Investor asing kembali ke negaranya akibat krisis di negaranya. Tetapi setelah The Fed menurunkan suku bunga dan melakukan quantitative easing (QE), pasar saham dunia segera pulih.  Indonesia hanya terkena dampak krisis selama satu tahun, sesudah itu pasar saham segera pulih karena perekonomian Indonesia tidak terlalu terdampak.

Belajar dari dua krisis di atas, bila krisis tidak merusak fundamental ekonomi, maka pemulihan akan cepat. Tetapi bila pandemi terjadi dalam waktu tiga sampai empat bulan, diperkirakan akan merusak fundamental perekonomian. Artinya, perekonomian akan butuh waktu untuk pulih. Ketika bisnis bermasalah, seperti kehabisan dana segar, terjadi PHK dan kredit macet, upaya bangkit akan memakan waktu.

Pelaku pasar perlu mencermati kondisi  ini dengan memilih saham-saham yang terdampak Covid-19 yang harganya saat ini sudah turun cukup signifikan. Meski demikian, juga perlu mencari saham  pada sektor yang cepat pulih kembali ketika pandemi Covid-19 berlalu. Lakukan pembelian saham tersebut dan simpan dalam dua sampai tiga tahun.

Terlebih dari itu, sekarang, yang penting menjaga kesehatan, stay at home dan patuhi ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB diharapkan mampu mempercepat penyelesaian masalah Covid-19, sehingga pasar saham segera bangkit. 

Artikel Terkait

Back to top button