
Oleh: Imam Supriyadi
Dosen Universitas Pertahanan, Dosen Universitas Indonesia, dan Pemerhati Keterbukaan Informsi Publik
BUMN harus pintar menerapkan keterbukaan informasi publik (KIP). Dalam UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terdapat aturan terkait informasi yang dikecualikan. Untuk itu keterbukaan informasi publik jangan dianggap beban melainkan sebagai kebutuhan. Selain itu peran sebagai pembina dan penilai keterbukaan informasi jangan dilakukan dalam satu lembaga.
BUMN perlu melakukan keterbukaan informasi kepada publik bukan hanya sebagai badan publik tetapi juga badan usaha yang permodalannya menggunakan uang negara. Ini berbeda dengan kementerian atau lembaga yang hanya merupakan badan publik. Maka terkadang BUMN juga bingung, informasi publik mana yang harus dipublikasikan ke publik.
Bagi BUMN yang menjalankan bisnis bersifat monopoli seperti PLN, tentu tidak bermasalah kalau menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik karena tidak ada pesaingnya. Tetapi bagi BUMN seperti perbankan, asuransi yang mempunyai pesaing, akan membahayakan bila semua informasi diungkapkan ke publik.
Untuk itu, BUMN perlu membuat saringan berkaitan dengan mana informasi yang bisa dibuka ke publik dan mana yang tidak boleh. Apalagi dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terdapat informasi yang dikecualikan. Misalnya, bila informasi tersebut diungkapkan dapat memengaruhi pertahanan negara. Di sisi lain BUMN juga harus menjaga agar informasi yang disampaikan tidak menimbulkan kekacauan publik serta tidak diketahui pesaingnya.
Tetapi karena saham BUMN dimiliki negara dan sumber dananya berasal dari APBN, tetap punya kewajiban mengungkapkan informasi kepada publik.
Dalam kondisi demikian BUMN harus pintar memilah dan memilih informasi mana yang bisa diketahui publik. Pengungkapan informasi kepada publik bagi BUMN merupakan kebutuhan bukan kewajiban. Dengan mengungkapkan informasi kepada publik diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan publik kepada BUMN tersebut.
Dampaknya, reputasi BUMN tersebut di mata masyarakat menjadi tinggi. Produk maupun layanan yang dihasilkan BUMN tersebut juga mendapat respons positif dari stakeholders. Bahkan masyarakat menjadi percaya bila berhubungan dengan BUMN tersebut.
Bukan Kewajiban
Sejatinya pengelola BUMN perlu memahami, keterbukaan informasi bukan sebagai beban melainkan sebagai kebutuhan dalam rangka menarik simpati atau kepercayaan publik. Ini menyerupai kerja public relations (PR). Dimana PR bekerja untuk meningkatkan citra perusahaan (corporate image) melalui penyampaian informasi yang sudah diseleksi. Sehingga informasi yang disampaikan benar-benar yang dibutuhkan publik. Misal, informasi yang disampaikan bisa mengedukasi publik sehingga masyarakat menjadi paham terkait informasi tersebut.
Bila masyarakat sudah banyak yang mengakses informasi tentang sebuah BUMN pada website maupun media sosial, itu sudah merupakan langkah bagus dalam upaya membangun keterbukaan informasi di BUMN.
Misal, Telkom menyampaikan banyak informasi bagus yang dibutuhkan masyarakat, tentu masyarakat akan senang. Contoh ada informasi yang dibutuhkan akademisi untuk penelitian sehingga bisa menghasilkan banyak teori. Pihak Telkom pun bisa memanfaatkan hasil penelitian tersebut untuk mengembangkan bisnisnya. Namun terkadang ada BUMN khawatir informasinya bocor sehingga bisa dibaca pesaingnya. Kekhawatiran tersebut mesti diubah. Mindset-nya adalah keterbukaan informasi publik merupakan kebutuhan bukan kewajiban.
Keterbukaan informasi publik juga dapat mendorong akselerasi good corporate governance (GCG). Kalau informasinya lebih terbuka maka publik akan lebih mengetahui informasi tersebut dan secara tidak langsung publik pun bisa ikut mengawasi. Pengawasan tersebut akan menjadi feedback atau masukan bagi BUMN sehingga bisa mengetahui informasi apa saja yanag diperlukan publik, apakah dari banyak informasi yang dibagikan ke publik ada informasi yang kurang tepat. Itu semua menjadi tugas BUMN untuk terus memperbaiki kualitas keterbukaan informasi yang dilakukannya.
Terkadang ada BUMN yang tidak berani menerima kritik. Padahal pengelola BUMN harus bersyukur karena ada mata publik yang membantu dan cocern mengawasi serta mengkritisi BUMN agar bisa lebih baik. Selain itu juga membantu pengawasan terhadap BUMN.
Pengawasan jangan dipandang sebagai bagian dari punishment tetapi dimaknai sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja BUMN. Ibaratnya, kita tidak bisa melihat punggung sendiri, setidaknya mengunakan kaca atau meminta bantuan orang lain. Maka mindset pengelola BUMN terkait keterbukaan informasi harus diubah, bukan lagi sebagai beban tetapi menjadi kebutuhan, literasi dan untuk memperbaiki diri agar governance-nya menjadi lebih baik.
Selama ini kebijakan terkait keterbukaan informasi diamanatkan kepada Komite Keterbukaan Informasi Publik. Lembaga tersebut yang membuat regulasi, membina, mengawasi, menilai dan mengadili bila terjadi permasalahan. Akan tetapi bila yang membina, mengawasi juga mengadili, tidak akan bisa optimal. Sebaiknya fungsi pengawasan KIP diserahkan saja kepada publik supaya tidak ada subjektifitas yang tinggi dalam penilaian.
Akan lebih objektif bila publik yang menilai sehingga ketika ada BUMN yang dinilai jelek, pengeola BUMN bisa mengukur diri untuk melakukan perbaikan. Tak hanya itu. BUMN juga harus bekerja keras mengedukasi publik agar memiliki kualitas pemahaman keterbukaan informasi yang lebih baik.
Lagi pula jika peran pembinaan dan penilaian keterbukaan informasi dipegang satu lembaga, akan berpotensi terjadi negosiasi antara pihak yang diawasi dan pihak yang mengawasi. Termasuk pula melakukan pengaturan data sedemikan rupa agar target yang disepakati seakan -akan sudah tercapai. Jadi, biar masyarakat yang menilai dan merasakan apakah BUMN sudah menjalankan keterbukaan informasi publik atau belum.