
Oleh : Irvan Rahardjo
Pendiri KUPASI ( Komunitas PenulisAsuransi Indonesia )
Presiden Jokowi menilai indeks literasi keuangan di Tanah Air masih tergolong rendah dibanding negara-negara tetangga.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) indeks literasi keuangan pada 2019 mencapai 38,03 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan survei yang sama pada 2016, yakni 29,7 persen. Indonesia juga mencatat kenaikan indeks inklusi keuangan dari 67,8 persen pada 2016, menjadi 76,19 persen pada tahun lalu. Inklusi keuangan Singapura, telah mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen, Thailand 82 persen.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi mendorong lembaga keuangan, terutama perbankan, untuk mengadakan sejumlah program peningkatan inklusi keuangan dan mengembangkan lebih jauh produk dan kualitas layanan mereka di Indonesia.
Indeks inklusi keuangan Indonesia berdasarkan Global Financial Inclusion Index 2017 Bank Dunia menunjukkan 48,9 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas memiliki rekening di lembaga keuangan formal, 3,1 persen penduduk berusia 15 tahun keatas memiliki mobile banking.
Penetrasi asuransi per kapita Indonesia sebesar 1,73 persen terhadap PDB, sedikit di atas Vietnam 1,57 persen di bawah negara negara tetangga seperti Filipina 1,90 persen, Malaysia 5,05 persen Thailand 5,49 persen Singapura 7,25 persen, negara negera ASEAN 3,35 persen dan Asia 5,34 persen ( Swisse Re, 2016 ).
Studi MAPFRE Economic Research (2019), MAPFRE GIP 2019, Madrid, Fundación MAPFRE berdasarkan analisa faktor faktor ekonomi dan demografi yang menentukan pertumbuhan gap proteksi asuransi dan kemampuan masing-masing negara memperluas pasar asuransi, menempatkan Indonesia di ranking 4 untuk asuransi jiwa dan asuransi umum di antara 96 negara emerging market dan negara maju. Negara emerging market menempatkan Turki dan Indonesia di sepuluh besar. Studi menunjukkan, dibutuhkan waktu rata rata 23 tahun di emerging market dan 12 tahun di negara maju untuk menjembatani gap di pasar asuransi jiwa. Sedang di pasar asuransi umum dibutuhkan rata-rata 15 tahun di emerging market dan 5 tahun di negara maju dan untuk menjembatani gap. Indonesia membutuhkan 29 tahun untuk menjembatani gap di asuransi jiwa dan 25 tahun di asuransi umum.
Pertanyaannya, bagaimana menjembatani gap yang demikian lebar antara inklusi keuangan dengan penetrasi asuransi kita?
Untuk meningkatkan penetrasi asuransi melalui inklusi keuangan dibutuhkan sedikitnya dua prasyarat. Pertama, inklusi keuangan menyaratkan literasi keuangan, yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap jasa keuangan. Agar masyarakat tidak terjebak pada tawaran investasi bodong yang dari waktu ke waktu berulang terjadi. Tawaran investasi telah menelan korban bukan hanya masyarakat kelas bawah namun juga masyarakat kelas menengah dan atas yang berpendidikan bahkan nasabah nasabah bank asing tidak luput menjadi korban.
Laporan Bank Dunia dalam Global Findex Data Base 2017 menyebutkan di Asia Timur dan Pacific penggunaan transaksi keuangan digital meningkat pesat meskipun kepemilikan rekening bank stagnan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka yang tidak memiliki rekening bank terkait dengan ketimpangan pendapatan dan kelompok-kelompok rentan seperti anak muda, berpendidikan rendah, pengangguran dan kaum miskin di pedesaan. ( Sarwat Jahan cs , IMF 2019 )
Kedua, tersedianya infrastruktur digital yang memadai. Terobosan program branchless bank Bank Indonesia mengintegrasikan platform telekomunikasi untuk mengatasi infrastruktur perbankan yang terbatas dan berbiaya tinggi menjadi salah satu upaya meningkatkan inklusi keuangan.
Data wearesocial.sg 2017 pengguna telepon seluler di Indonesia mencapai 371,4 juta juta orang atau 142 persen dari total penduduk sebanyak 262 juta jiwa, lebih tinggi dari pada pemilik rekening bank sebanyak 60 persen dari total penduduk. Survei Pew Reseach Center AS 2018, kepemilikan smartphone dan telepon seluler biasa di antara orang dewasa posisi Indonesia berada di urutan 24 dari 27 negara. Dari seluruh orang dewasa pemilik telepon genggam di Indonesia, 42 persen memiliki smartphone 28 persen handphone biasa.
Data Bank Dunia menunjukkan sekitar 60 juta orang di Indonesia yang tidak memiliki rekening bank menggunakan handphone, peluang yang sangat besar untuk meningkatkan transaksi keuangan melalui telepon genggam. BI menggagas integrasi kedua sektor itu untuk menggenjot inklusi keuangan di seluruh lapisan penduduk. Dengan branchless bank berbasis mobile banking dan internet banking, maka biaya pengembangan infrastruktur perbankan yang mahal dapat ditekan dan jarak dapat teratasi.
Sukses kolaborasi sektor perbankan dengan telekomunikasi tercatat di Kenya dengan 31 persen PDB berputar melalui mobile banking oleh operator selular sehingga kendala minimnya bank tidak mengurangi akses masyarakat ke sektor keuangan.
Setelah sukses melakukan transformasi di sektor perbankan, Kenya melalui perusahaan micro insurance BIMA dengan investasi sebesar 4,25 juta US dolar dan tambahan investasi 2,75 juta dolar berhasil menjaring sebanyak 4 juta orang masyarakat kelas bawah orang di Afrika dan Asia dengan pertumbuhan 400 ribu orang per bulan. Kolaborasi terjadi antara sektor asuransi dengan sektor telekomunikasi . Asuransi berhasil merubah profil pelanggan selular yang sangat tidak loyal akibat persaingan harga antar operator menjadi pelanggan yang lebih loyal dengan memberikan jaminan asuransi.
Di Ghana perusahaan asuransi bekerja sama dengan operator selular memberikan santunan asuransi jiwa gratis kepada pelanggan dan satu anggota keluarga. Asuransi dapat diperoleh seterusnya bila tagihan pemakaian pulsa pelanggan mencapai jumlah minimum per bulan atau dengan menambah besar santunan asuransi dengan membayar premi. Kolaborasi operator telpon dengan micro insurance berlangsung sukses di Ghana, Zimbabwe, Tanzania, Uganda, Kenya, Philipina. Hal yang tidak tersentuh oleh perusahaan asuransi umumnya yang meyakini pasar di emerging market hanya di gerakkan oleh klas ber pendapatan tinggi.
Pendirian Jiwasraya Putra yang digagas Asuransi Jiwasraya memberikan akses bagi Jiwasraya Putra untuk memonetisasi customer base dan jaringan distribusi dari empat BUMN mitra sebagai captive market untuk memasarkan produk Jiwasraya. Pegadaian, misalnya, dengan basis konsumen sekitar 10 juta, bisa menjadi pasar baru bagi produk Jiwasraya ke depan. Begitu pula penumpang kereta api yang diperkirakan lebih dari 1 juta orang setiap hari. Apalagi basis pelanggan Telkomsel diprediksi melampaui 170 juta orang.
Indonesia dengan 17,500 pulau dan luas wilayah 2 juta kilometer persegi menghadapi masalah ketidakseimbangan antar wilayah yang dapat diatasi dengan digitalisasi untuk menjangkau mereka yang belum memiliki rekening.