PERANG NARASI UU CIPTA KERJA
Oleh Akhmad Kusaeni
Ini kejadian nyata pada Kamis sore 8 Oktober 2020. Dewan juri Branding & Marketing Award 2020 sedang rapat membahas proses seleksi dan teknis penjurian. Ketua Dewan Juri Sugiharto, Menteri BUMN (2004-2007), dan sejumlah tokoh lain, sedang berdiskusi melalui fasilitas Zoom Meeting. Sementara CEO BUMN Track SH Sutarto bersama panitia berada di kantor, di lantai 13 gedung Sarinah Jl. Thamrin.
Baru satu jam berdiskusi, Sutarto menginterupsi agar rapat harus segera diakhiri. Buruh dan mahasiswa pengunjuk rasa yang menolak UU Cipta Kerja sudah memenuhi Jl. Thamrin menuju ke Istana. Suasana dilaporkan makin memanas. Bentrok dengan aparat keamanan terjadi di depan Sarinah dan pengelola gedung meminta semua penyewa agar segera turun karena gedung bakal ditutup.
Dengan berat hati terpaksa rapat dihentikan. Wartawan dan karyawan BUMN Track bergegas pulang seiring dengan suasana unjuk rasa yang makin tak terkendali. Aparat menembakan gas air mata, Pengunjuk rasa melempar batu dan sebagian mulai beringas. Halte TransJakarta di depan Sarinah tiba-tiba terbakar (atau dibakar). Asap mengepul dan api membumbung.
Suasana mencekam.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan memang mencekam dan disayangkan. Namun bentrok yang terjadi antar netizen, buzzer dan influencer tak kalah seru dan mencekamnya di lini massa media sosial. Perang narasi di media sosial, yang berlangsung live tanpa wasit, menyulut api yang sudah membara dalam sekam selama sepekan terakhir.
Media, termasuk media sosial, adalah ruang publik. Hukum besinya:
- Siapa menguasai media, dia menguasai opini publik.
- Siapa menguasai opini publik, dia memenangi perang informasi.
- Siapa memenangi perang informasi, dia akan mendapat dukungan publik.
Dari teori media yang dikemukakan Jurgen Habermas yang diperkuat oleh Alvin Toffler bisa disimpulkan bahwa ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini dan kepentingan mereka secara diskursif. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar.
Teori ini terbukti dalam kasus Omnibus Law UU Cipta Kerja. Para tokoh buruh, opinion leader dan influencer yang menolak UU Cipta Kerja ramai memposting kicauan, membagikannya melalui grup WA secara massal sampai menjadi viral. Mereka mengangkat point-point, paling tidak ada 12 point, yang dinarasikan sebagai merugikan pekerja dan sebaliknya menguntungkan pengusaha.
Narasi yang membuat pekerja mudah terprovokasi dan marah antara lain bahwa di UU Cipta Kerja uang pesangon dihilangkan, Upah Minimum Regional (UMR) dihapus dan upah buruh dihitung per jam. Narasi lain yang membuat pekerja uring-uringan sampai ke ubun-ubun adalah semua hak cuti hilang dan tak ada kompensasi. Belum lagi narasi bahwa outsourching diganti dengan kontrak seumur hidup.
Meskipun belum tentu benar postingan narasi seperti itu tapi pesannya cepat termakan oleh para pekerja. Ketika ada ajakan unjuk rasa dan mogok kerja, tentu mendapat sambutan serta merta. Tanpa takut dengan wabah Corona mereka turun ke jalan, berkerumun, dan menyampaikan tuntutannya.
Puncaknya terjadi pada 8-9 Oktober 2020 berupa unjuk rasa hampir di semua kota. Netizen membagikan kicauan dan unggahan perlawanan terhadap UU Cipta Kerja. Dokumentasi foto dan video aksi yang disertai kekerasan oleh aparat keamanan juga banyak dibagikan. Hal ini memicu kemarahan netizen menjadi-jadi.
Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap DPR RI dan Pemerintah yang dianggap bekerja untuk kepentingan oligarki. Adapun tagar yang digunakan para pendukung pemerintah seperti #PercayaJokowi justru terpinggirkan. Arus narasi kelompok oposisi jauh lebih mendominasi dengan berbagai tagar. Di antaranya seperti #MosiTidakPercaya, #MahasiswaBergerak, #PRIRIKhianatRakyat, dan #StoprugikanRakyat.
Belakangan, setelah situasi semakin keruh, baru ada kontra narasi dari pemerintah dan DPR. Hampir semua menteri dan pejabat pemerintah bicara dan bikin statement bahwa UU Cipta Kerja justeru untuk melindungi pekerja dan mendorong investasi. Bahwa narasi yang disampaikan kelompok oposisi banyak yang hoax, jangan dipercaya. DPR juga mengeluarkan Buku Saku Cipta Kerja untuk meluruskan hoax di masyarakat.
Di buku warna coklat itu disampaikan narasi versi wakil rakyat dan pemerintah yang tertuang dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja. Narasi itu antara lain bahwa pesangon tetap ada, UMR tetap ada dan tidak benar upah buruh dihitung per jam. Di buku saku itu juga ditulis narasi bahwa hak cuci tetap ada, bahwa perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak, dan jaminan sosial dan kesejahteraan tetap ada.
Namun, sepertinya respon kontra-narasi itu sedikit terlambat karena pekerja sudah kadung termakan narasi-narasi oposisi sehingga terjadi unjuk rasa yang menimbulkan kerusakan pada fasilitas umum. The damage has been done.
Kerusakan telah terjadi. Di dalam perang opini di ruang publik, rupanya berlaku hukum besi seni perang Sunt Tzu: Strike is the best defence. Menyerang adalah pertahanan terbaik