
Oleh: Bhima Yudihistira Adhinegara
Ekonom Institutefor Development of Economis and Finance (Indef)
Dalam konteks ekonomi Indonesia, saat ini yang diperebutkan banyak negara adalah market trust (kepercayaan pasar). Ini berkaitan dengan stabilitas politik dan stabilitas kebijakan. Bila melihat isu pergantian direksi BUMN yang dilakukan secara tidak transparan dan tidak profesional, hal tersebut mengakibatkan ketidakpercayaan pasar. Akibat adanyadistrust (ketidakpercayaan) sehingga dana asing keluar dari pasar uang Indonesia hingga Rp2 triliun. Kondisi tersebut bisa berdampak pula kepada daya saing Indonesia yang masih berada di ranking ke-45 dunia.
Permasalahan yang utama adalah adanya inkonsistensi kebijakan. Kalau kita mau spesifik lagi, terkait conflict of interest dalam pembuatan kebijakan, kita berada di rangking ke-65 dunia. Ini artinya, kalau trust yang sedang dibangun oleh Presiden Jokowi dengan melakukan deregulasi dan kebijakan yang pro dunia usaha, tiba-tiba dilakukan perombakan tanpa dasar yang jelas, meskipun imbasnya hanya kepada satu direksi salah satu perbankan, tetapi imbasnya kepada dunia usaha dan investasi.
Bila sebelumnya pascapilpres investor hendak berinvestasi dan ingin masuk ke Indonesia, tetapi melihat gonjang-ganjing belum selesai, terutama dalam hal kebijakan strategis dan perusahaan Tbk, mereka akan wait and see bukan hanya hingga tanggal 20 Oktober 2019 setelah reshuffle menteri, tetapi bisa jadi berlanjut terus hingga akhir 2019, 2020, bahkan bisa lebih. Ini karena tidak ada konsistensi kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Akar dari inkonsistensi tersebut adalah adalah adanya kebijakan untuk mengamankan posisi dengan cara merombak jajaran direksi beberapa BUMN. Begitu pula adanya RUPLB yang terkesan dipaksakan juga diharapkan akan berdampak kepada kelancaran holding BUMN dengan mencari direksi dan komisaris yang loyal kepada Menteri BUMN. Ada juga yang terkait dengan penugasan pemerintah kepada BUMN sehingga kinerja BUMN tersebut memburuk. Namun pemerintah terlambat melakukan penyelamatan. Seharusnya penyelamatan sudah dilakukan pascapemilu.
Lalu kalau kita berbicara tentang net interest margin (NIM) perbankan di Indoensia yang memang tinggi di banding negara ASEAN lain. Kalau kita melihat paradoks ini, apakah bila sering dilakukan perombakan direksi di bank BUMN akan ada perbaikan kinerja berupa penurunan NIM secara signifikan. Apakah di saat-saat terakhir (injury time) sebelum terjadi reshuffle besar-besar menteri, akan terjadi perbaikan kinerja BUMN dengan mengganti direksi dan komisaris? Belum ada jaminan sama sekali karena ini merupakan faktor yang bersifat struktural.
Kami juga bingung. Pasalnya justru ada BUMN yang sedang bermasalah, pada laporan keuangannya terjadi fraud, bahkan Kementerian Keuangan dan OJK sudah menyatakan adanya fraud tetapi tidak juga dilakukan perombakan direksi. Tidak ada tindakan evaluasi secara serius. Sementara bagi BUMNN yang Tbk diawasi bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh publik, bahkan dilakukan RUPSLB. Sedangkan BUMN yang jelas-jelas mempunyai problem dan bermasalah ternyata tidak ada pembenahan khusus dari Kementerian BUMN. Kalau demikian, jangan menyalahkan para pelaku usaha jika mereka mencari negara lain untuk tempat berinvestasi.
Begitu pula ketika Kementerian BUMN meminta lima BUMN melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB). Kami belum menemukan di mana maksud dari kata luar biasa tersebut. Bila yang dimaksud luar biasa berkaitan dengan kinerja sehingga perlu dilakukan perombakan direksi dan komisaris. Bisa jadi yang dimaksud luar biasa adalah adanya kesalahan dalam penugasan atau mismanagement dalam penugasan. Di mana bank BUMN pada awal 2015 karena keterbatasan dana APBN untuk pembangunan infrastruktur maka pendanaan atau sindikasi dari bank BUMN mengucur kepada proyek infrastruktur. Kalau kita melihat perjalanan pembiayaan infrastruktur BUMN tidak semua menghasilkan profit yang sesuai dengan target karena seharusnya pertumbuhan ekonomi mencapai tujuh persen bukan lima persen.
Kedua, apakah ada kejadian di luar pengawasan sehingga harus dilakukan sesuatu yang luar biasa. Artinya, pada last minutes harus dievaluasi karena berbahaya bagi kelanjutan bank-bank BUMN sehingga harus disetop dengan mengganti direksi atau komisaris.
Karena itu, BUMN perlu lebih governance agar ada kejelasan karir. Termasuk ketika ada perombakan jabatan direksi dan komisaris harus didasarkan pada pertimbangan yang jelas dan terbuka. Bila kondisi sepeti ini terus dibiarkan, imbasnya adalah muncul demotivasi. Pegawai BUMN dari level bawah hingga atas akan bertanya, kalau direksi diubah bagaimana nantinya? Apakah goals perusahaan ke depan akan berubah atau tidak? Bila di internal perusahaan saja sudah galau maka target-target perusahaan tidak akan tercapai.
Kepentingan Politik Praktis
Agar permasalahan BUMN tersebut tidak terulang, termasuk menghilangkan inkonsistensi dalam pengelolaan BUMN, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Satu, jangan dibiarkan BUMN tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek. Jangan sampai ada vested interest dalam pengelolaan BUMN. Dua, pengelola BUMN, direksi dan komisaris harus diambil dari orang yang profesional yang mengerti manajemen BUMN. Tiga, faktor integritas sangat penting dalam mengelola BUMN. Empat, faktor koordinasi dengan presiden. Kalau presiden sudah memberikan instruksi agar menteri tidak melakukan atau mengambil kebijakan strategis, seharusnya in line. Menteri sebagai pembantu tidak boleh berjalan sendiri.
Seharusnya dalam hal ini Presiden Jokowi sudah tidak lagi tersandera oleh beban politik. Pasalnya saat ini Jokowi sudah terpilih sebagai presiden dan bakal memasuki periode kedua atau terakhir masa pemerintahannya. Sehingga Presiden benar-benar bebas menunjuk dan memilih orang profesional yang memahami persoalan. Di samping itu konsistensi kebijkan pemerintah juga harus bisa diprediksi oleh pelaku investasi (investor). Kebijakan tidak mudah berubah di tengah jalan, seperti peristiwa yang terjadi, BUMN sudah mengadakan RUPS, mendadak ada RUPSLB tanpa alasan yang jelas.
Untuk membangun BUMN yang diharapkan publik, pertama, BUMN sebisa mungkin harus terbebas dari politik praktis. Baik dari pihak relawan mauun partai pendukung. Direksi dan komisaris BUMN harus diisi oleh orang yang profesional. Kedua, penugasan-penugasan kepada BUMN dikaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang melambat. Adanya penugasan yang terlalu berat kepada BUMN justru bisa membuat kinerja BUMN menurun.
Semua itu kembali kepada political will presiden sebagai pemimpin pemerintahan. Termasuk berani tidaknya tim ekonomi yang dipimpin presiden mengambil keputusan yang berpijak kepada track record. Bukan dari masukan para partai politik, atau untuk kepentingan partai pendukung. Kalau political will-nya kuat untuk menciptakan BUMN yang lebih bagus, pastiakan mencari orang yang bersih dan tepat. Orang tersebut bisa diambil dari kalangan internal BUMN yang memang sudah berkinerja bagus.