Jakarta, Bumntrack.co.id – Pada pagi yang tenang di bulan Juni 1974. Di sebuah ruang marmer berpendingin di Riyadh, dua pria duduk berhadapan.
Satu mengenakan gamis putih bersih, sorban tersemat anggun di kepalanya. Yang satu lagi berkemeja gelap, dasinya kaku, wajahnya mencerminkan kegelisahan Washington.
Mereka adalah Raja Faisal bin Abdulaziz dan Menteri Keuangan Amerika Serikat, William Simon.
Di tengah dunia yang terguncang oleh embargo minyak OPEC dan lonjakan harga yang melumpuhkan ekonomi Barat, keduanya sepakat diam-diam:
“Arab Saudi akan hanya menjual minyak dalam dolar Amerika. Sebagai gantinya, Amerika akan menjamin kelangsungan kerajaan dan melindungi keamanan regional.”
Tak ada kamera. Tak ada deklarasi publik. Tapi dunia berubah hari itu.
Hari itu, dolar bukan lagi sekadar kertas yang dicetak Federal Reserve. Ia menjadi darah dari sistem energi global. Dan Amerika menjadi jantung yang memompanya.
-000-
Tiga tahun sebelumnya, 1971, Presiden Nixon menghentikan konvertibilitas dolar ke emas. Sistem Bretton Woods runtuh. Dunia kehilangan jangkar.
Dalam kepanikan global, harga emas melonjak. Mata uang menggigil. Tapi dari reruntuhan sistem lama, lahir sebuah logika baru: jika emas tak lagi menjamin dolar, maka biarlah minyak yang melakukannya.
Maka sejak 1973–1974, OPEC hanya menerima dolar untuk setiap tetes minyak. Dunia yang lapar energi pun tak punya pilihan: menyembah pada mata uang yang satu itu.
Minyak menjadi “emas cair.” Tapi berbeda dari emas yang disimpan, minyak dikonsumsi. Dolar pun bukan lagi cadangan pasif, ia menjadi sirkulasi aktif: berputar dari Riyadh ke Wall Street, dari Lagos ke Texas, dari Beijing ke Manhattan.
Bayangkan ini:
Nigeria ingin membeli mesin industri dari Jerman. Tapi untuk itu, ia butuh euro. Untuk euro, ia butuh dolar. Dan untuk dapat dolar, ia harus ekspor minyak.
Minyak dijual ke China, dibayar dalam dolar, yang kemudian disimpan dalam obligasi AS.
Obligasi itu membiayai utang AS yang terus menumpuk. Tapi karena semua orang butuh dolar untuk beli minyak, utang itu selalu dibeli.
Sistem ini disebut privilege seigniorage: hak istimewa Amerika mencetak utang yang dibeli oleh dunia.
Ketika krisis 2008 melanda, The Fed mencetak triliunan dolar. Tapi nilai dolar tidak runtuh—karena dunia masih butuh minyak, dan minyak masih dibeli dengan dolar.
Ini seperti kasino global di mana dealer mencetak chipnya sendiri, dan semua penjudi butuh chip itu untuk bermain.
-000-
Petrodollar bukan hanya perjanjian keuangan, ia adalah pakta militer.
Setiap dolar dalam pom bensin Anda menyimpan gema dari F-15 yang dikirim ke Riyadh, dari kapal induk di Teluk Persia, dari invasi yang dipoles diplomasi.
Ketika Saddam Hussein mengusulkan menjual minyak Irak dengan euro, Baghdad diserbu.
Ketika Gaddafi mencoba menciptakan dinar emas untuk Afrika, Tripoli dibom NATO.
“Perlindungan” adalah eufemisme. Dalam tatanan petrodollar, rudal adalah penjaga stabilitas moneter.
Dolar tidak hanya dicetak di Washington. Ia dicetak juga di medan perang.
Kini, sesuatu mulai bergeser. Seperti retakan halus di kaca jendela yang tenang.
China membeli minyak dari Rusia dengan yuan. India membayar minyak dengan rupee. BRICS berbicara tentang alternatif SWIFT. Dan Saudi perlahan mulai menjajaki transaksi non-dolar.
Shanghai bukan Washington. Tapi dunia mulai melirik Timur.
Namun, jalan pasca-dolar masih panjang. Tak ada mata uang lain yang memiliki likuiditas, kepercayaan, dan kekuatan militer seperti dolar.
Dunia sedang bermimpi. Tapi mimpi belum cukup untuk membangun sistem baru.
-000-
Petrodollar juga hidup dalam tubuh IMF dan Bank Dunia.
Negara-negara miskin berutang dalam dolar untuk membangun jalan, listrik, dan sekolah. Tapi ketika harga minyak naik, utang membengkak. Cadangan devisa terkuras.
Kolonialisme hari ini bukan datang dari bendera asing, tapi dari baris-baris angka di lembar Excel.
Krisis Asia 1998, krisis Lebanon, Sri Lanka, dan Pakistan di tahun-tahun belakangan, semuanya berkait dengan gejolak dolar dan fluktuasi harga energi global.
Imperialisme hari ini bukan ditandai tank, tapi rating kredit.
Ironi terbesar dari petrodollar adalah ini:
Negara penghasil minyak seperti Nigeria, Angola, dan Chad tetap bergelimang kemiskinan.
Infrastrukturnya rapuh, pendidikannya rendah, hutangnya menumpuk.
Sementara itu, Amerika Serikat—negara pengimpor minyak—tetap menjadi kekuatan ekonomi dan militer terbesar. Dolar kembali ke AS, memperkaya Wall Street dan membiayai konsumsi.
Sistem ini seperti restoran global aneh:
Pelanggan terkaya membawa mata uangnya sendiri, makan paling banyak, dan tagihannya dibayar oleh semua orang di dapur.
-000-
Masa Depan: Dari Blockchain hingga Dunia Tanpa Raja
Apakah dunia bisa keluar dari jerat petrodollar?
Dengan munculnya stablecoin, yuan digital, dan sistem blockchain, muncul peluang menghapus dominasi dolar dalam transaksi energi.
Namun, tantangannya besar: likuiditas, kepercayaan, stabilitas.
Uang adalah janji. Dan janji memerlukan keyakinan.
Selama dunia belum mempercayai sistem lain seperti ia percaya pada dolar, maka sang raja tetap berkuasa—walau tahtanya mulai retak.
Dolar bukan sekadar alat tukar. Ia ideologi yang dibungkus dalam kertas, ditopang oleh barel minyak, dan dijaga oleh senjata.
Transisi energi dunia tak akan sukses jika hanya mengganti sumber daya—tanpa mengganti sistem keuangannya.
Jika dunia ingin bebas dari karbon, ia juga harus bebas dari sistem yang membuat karbon begitu menguntungkan.
Karena pada akhirnya,
“Selama dunia haus akan minyak, ia akan tunduk pada mata uang yang tak pernah tidur.
Dan mungkin, seperti minyak itu sendiri, dolar pun adalah bahan bakar bagi sistem yang sedang terbakar.”
Ditulis Oleh:
Denny JA,
(Seorang penulis, konsultan politik, intelektual, sastrawan, wirausahawan. Posisi di sektor energi sebagai Komut Pertamina Hulu Energi).