Power Wheeling dan Tantangan bagi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

Oleh: Tulus Abadi
Pemerhati Energi dan Ketua Pengurus Harian YLKI
Sektor ketenagalistrikan beberapa pekan terakhir ini agak terguncang oleh wacana kebijakan baru yang disematkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT), yang tengah digodog oleh DPR. Sebuah RUU yang sejatinya memang sangat mendesak untuk diterapkan di Indonesia, sebagai negeri khatulistiwa yang melimpah ruah cadangan energi baru dan terbarukan di perut bumi Indonesia.
Apalagi saat ini dunia tengah dirundung petaka oleh adanya fenomena perubahan iklim global (Global Climate Change), yang, sektor energi fosil menjadi tersangkanya. Oleh karenanya payung hukum selevel UU sangat diperlukan untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi baru dan terbarukan tersebut. Dan mau tidak mau, cepat atau lambat, penggunaan energi fosil baik di ranah primer maupun sekunder harus mulai direduksi.
Tampaknya roadmap untuk menuju hal ini sudah cukup jelas, manakala Pemerintah sudah meratifikasi berbagai protokol perubahan iklim untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon, yang sumber penyebab utamanya adalah energi fosil tersebut.
Keterguncangan sektor ketenagalistrikan oleh RUU EBT tersebut, tersebab dalam salah satu pasalnya mengusung soal isu power wheeling. Inti dari pasal soal power wheeling ini adalah adanya kebijakan pemakaian secara bersamaan (sharing) infrastruktur di sektor distribusi milik PT PLN. Jadi kabel kabel distribusi termasuk kabel SUTET milik PT PLN, boleh dipakai secara bersamaan dari pembangkit listrik non PLN, alias pembangkit listrik IPP.
Dalam aturan power wheeling ini sektor swasta yang membangun pembangkit listrik (IPP) berbasis EBT, boleh menyalurkan/menjual energi listrik langsung ke konsumen (rumah tangga, industri, bisnis), melalui infrastruktur milik PT PLN. Secara teknis, masalah power wheeling sudah diatur via Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 1/2015, tetapi secara empirik kebijakan ini belum pernah diwujudkan.
Secara konseptual, kebijakan power wheeling tentu sangat manis, sejalan dengan upaya menekan emisi karbon, dan sejalan dengan spirit memerangi fenomena perubahan iklim global. Sebab dengan power wheeling, penggunaan sumber sumber EBT akan mengalami akselerasi (percepatan), baik di level hulu maupun dilevel hilir. Dan artinya upaya Indonesia untuk menekan produksi emisi karbon juga akan mengalami akselerasi. Di sisi yang lain, jika hanya mengandalkan pembangkit EBT PLN seperti berjalan lambat, dikarenakan pembangkit listrik PLN masih didominasi oleh pembangkit energi fosil, terutama PLTU dan sebagian (masih) PLTD.
Selain itu, kebijakan power wheeling diklaim juga akan menghasilkan cuan (revenue) baru bagi PT PLN, sebagai operator eksisting (monopoli alamiah) di sektor ketenagalistrikan. Sebab sektor swasta dalam menyalurkan energi listriknya melalui jalur distribusi milik PT PLN tentu tidak gratisan, tapi harus menyewa berdasar nilai keekonomiannya.
Ciamik kan? Sedangkan bagi konsumen, juga menjadi lebih kompetitif baik dari sisi pelayanan maupun pentarifan, untuk memilih operator ketenagalistrikan tersebut, khususnya operator yang mengoperasikan pembangkit EBT. Dari sisi ideologi pun konsumen akan menjadi konsumen yang lebih ramah lingkungan karena menggunakan energi listrik berbasis EBT, bukan berbasis fosil seperti selama ini.
Eiits, tunggu dulu. Konsep manis power wheeling ini harus kita cermati secara mendalam, khususnya pada konteks empirik seperti sekarang ini, atau pun dalam jangka menengah bahkan jangka panjang. Persoalan memerangi perubahan iklim global karena masifnya penggunaan energi fosil, tentu menjadi prioritas utama. Tetapi penerapannya harus berbasis kehati-hatian dan transisi yang lebih fairness.
Pertama, dalam kondisi empirik seperti sekarang ini, manakala pembangkit listrik milik PT PLN sedang surplus (over supply), maka masuknya pembangkit EBT milik swasta, tentu akan menggerus utilisasi pembangkit listrik milik PT PLN. Pembangkit milik PT PLN berpotensi akan idle, nganggur. Kita tahu secara nasional pembangkit listrik milik PT PLN sedang over supply hingga 6-7 GWH (Giga Whatt). Sedangkan di sistem listrik Pulau Jawa Bali dan Madura, over supply nya mencapai 50 persenan. Entah kondisi ini akan sampai kapan, tetapi minimal hingga 2025-2026. Nah, kalau kondisi over supplay ini kemudian digerus dengan masuknya pembangkit swasta melalui jalur power wheeling ini, maka beban PT PLN akan sangat berat.
Saat ini saja PT PLN sedang jungkir balik mencari cara untuk menjual energi listriknya ini, agar tersalurkan dan tidak over supply lagi. Mulai dari wacana kompor induksi, pembagian rice cooker gratis (versi pemerintah) hingga subsidi untuk mobil dan motor listrik. Ending kesemuanya adalah agar energi listrik milik PT PLN yang sedang over supply ini bisa terserap ke pasar.
Ancaman berikutnya, bagi kinerja PT PLN, akan tergerusnya pelanggan PT PLN, yang berpotensi pindah (migrasi) ke listrik sektor swasta tersebut, yang diperkirakan mencapai 30-40 persen. Sebab rasio elektrifikasi di Indonesia sudah mendekati 100 persen, apalagi di Pulau Jawa. Ketika pembangkit EBT milik swasta ini akan beroperasi, dan boleh menjual ke konsumen listrik, maka sasaran tembaknya adalah konsumen eksisting yang sudah menjadi pelanggan PT PLN, bukan masyarakat umum yang belum menjadi pelanggan PT PLN.
Lalu bagaimana dampak terhadap konsumen, apakah diuntungkan atau dirugikan? Dari sisi ideologis sejatinya hal yang positif, sebab dengan menggunakan listrik berbasis EBT, maka konsumen mampu mewujudkan dirinya sebagai “konsumen hijau” (green consumer). Namun soal besaran tarif listrik ini yang belum jelas. Sebab manakala dikelola oleh swasta (murni) maka potensi untuk profit oriented di sektor ketenagalistrikan menjadi sangat besar. Energi listrik yang dijual kepada konsumen berbasis keekonomiannya. Hal ini dengan asumsi tidak ada subsidi untuk pembangkit listrik EBT yang dikelola IPP (swasta). Merujuk pada pernyataan Presiden Joko Widodo saat meresmikan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) di Jeneponto-Sulsel, bahwa pembangkit EBT tidak akan disubsidi.
Merujuk pada kondisi empiris dan tantangan ke depan, ada beberapa catatatan terkait kebijakan power wheeling di sektor ketenagalistrikan. Pertama, pembangkit listrik berbasis EBT menjadi keniscayaan, seiring dengan spirit memerangi perubahan iklim global. Maka percepatan untuk mewujudkan pembangkit EBT harus menjadi prioritas dan akselerasi, bagi operator energi seperti PT PLN, Pertamina, dll.
Kedua, terkait implementasi apalagi dalam kondisi empirik seperti sekarang, saat energi listrik PT PLN sedang over supply, maka sungguh tidak bijak jika memaksakan power wheeling, sebab dampak ikutannya bagi PT PLN bisa sangat complicated. Apalagi, ketiga, disinyalir konsep kebijakan power wheeling ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 111/PUU-XIII/MK/2015.
Dan pada akhirnya bisa dimengerti, jika Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menolak konsep kebijakan power wheeling ini karena akan berpotensi mendistorsi keuangan negara di sektor ketenagalistrikan. Bisa dimengerti pula jika Kementerian ESDM untuk sementara menghapus pasal power wheeling di dalam draf RUU EBT tersebut.
Energi baru terbarukan memang harus menjadi arus utama dalam kebijakan ketenagalistrikan dan kebijakan energi di Indonesia, namun jangan sampai ditunggangi oleh kepentingan bisnis dari oligarki tertentu di sektor ketenagalistrikan, yang diselundupkan via RUU EBT.