Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2020, Pers Indonesia dalam Kategori ‘Cukup Bebas’

E-Magazine Januari - Maret 2025

Jakarta, Bumntrack.co.id – Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional tahun 2020 tercatat pada angka 75,27. IKP tersebut menunjukkan bahwa kondisi pers di Indonesia masuk ketegori “cukup bebas”. Sebagai perbandingan, hasil survei IKP 2019 secara nasional berada di posisi 73,71, survei IKP 2018 berada pada posisi 69,00 dan Survei IKP 2017di posisi 67,92 alias masuk dalam kategori “agak bebas”.

“Kemerdekaan pers adalah sesuatu yang penting karena hal ini merupakan salah satu wujud kedaulutan rakyat. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pers memiliki peran yang penting, makanya pers disebut sebagai pilar ke-4. Dengan survei IKP ini kita mengetahui sejauh mana kemerdekaan pers di Indonesia. Dengan dukungan Bappenas, selama 3 (tiga) tahun ini survei sudah berdasarkan pada skala nasional. Ada 34 propinsi disurvei dengan metodologi sistem campuran, kuantitatitf dan kualitatif. Populasi informan tersebar di 34 propinsi dengan masing-propinsi terdiri dari 9 orang dari berbagai kalangan,” kata Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan dalam virtual conference di Jakarta, Jumat (11/9).

Berdasarkan provinsi, Indeks Kemerdekaan Pers 2020 berkisar dari angka terendah 70,42 (dicapai Papua) hingga tertinggi di posisi 84,50 (Maluku). Secara keseluruhan rata-rata Indeks Kemerdekaan Pers di tingkat provinsi berada di kisaran angka 77,67 yang juga berada dalam kategori “cukup bebas”.

Ranking lima teratas di dalam Indeks Kemerdekaan Pers 2020 adalah Maluku disusul kemudian Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Riau. Sedangkan lima dari bawah dalam ranking Indeks Kemerdekaan Pers adalah Papua kemudian Papua Barat, DKI Jakarta, Maluku Utara dan Lampung. Angka-angka yang muncul dalam IKP di tingkat provinsi ini merupakan hasil survei terhadap informan ahli dari masing-masing provinsi.

Berdasarkan indikator dari survei ini, masalah yang masih menjadi perhatian adalah masih tingginya intervensi dari luar, lemahnya akses bagi kelompok rentan dan rendahnya keragaman pandangan di dunia pers. Selain itu juga tingkat independensi dari kelompok kepentingan yang kuat di dalam redaksi masih menempati peringkat di bawah, selain faktor tata kelola perusahaan yang juga juga berperingkat rendah.

Beberapa indikator di lingkungan hukum seperti independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan menduduki peringkat rendah selain pelaksanaan etika pers dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang juga rendah dibandingkan indikator lainnya. Berdasarkan hasil survei ini, kesimpulan yang diambil antara lain pada tahun 2019, beberapa politisi dan partai politik menjadikan media massa sebagai kendaraan politik, di mana penggiringan opini kerap dilakukan melalui media milik pemimpin partai untuk menguntungkan kelompoknya. Ini menyebabkan pemberitaan di media menjadi kurang akurat, berimbang, dan cenderung eksploitatif. Selain itu, perusahaan pers menjadi tidak independen dan tata kelola perusahaan kurang baik.

Pada Tahun Politik 2019 telah terjadi kekerasan terhadap wartawan di beberapa daerah, seperti di DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Kemunculan media alternatif seperti maraknya media sosial dan media siber yang tidak mengusung prinsip jurnalisme, sangat memengaruhi kualitas informasi yang beredar. Media tersebut cenderung bersifat instan, tidak mengedepankan akurasi,keberimbangan, dan keadilan. Pada gilirannya, medsos dan media siber non jurnalisme tersebut justru mendistorsi media serius yang mengusung prinsip jurnalisme (media massa). Juga banyak ditemukan mereka yang mengaku-ngaku wartawan tapi kurang atau bahkan tidak menjunjung tinggi etika pers, sehingga melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap media massa.

Fakta yang terjadi di banyak daerah, seperti di Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Papua, seorang pendiri perusahaan media siber juga merangkap sebagai pemimpin redaksi, wartawan, dan pencari iklan. Hal ini berdampak pada pengabaian kaidah jurnalistik, mulai dari proses melakukan kegiatan jurnalistik sampai pada pemberitaan yang dihasilkan. Perusahaan pers masih tergantung pada pemerintah daerah dalam hal pendanaan dan pendapatan media yang menyebabkan rendahnya akurasi, keberimbangan, dan verifikasi berita, serta terganggunya independensi ruang redaksi.

Di banyak daerah, perusahaan pers tidak dapat memenuhi paling sedikit 13 kali gaji setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun. Tidak banyak redaksi media yang khusus memberikan ruang pemberitaan bagi penyandang disabilitas. Pemerintah daerah juga belum menyiapkan aturan yang mendorong media lokal menyiarkan informasi yang bisa diakses penyandang disabilitas.

Temuan lain dari survei IKP 2020 juga adalah Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa Indeks Kemerdekaan Pers berkorelasi positif dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), berkorelasi negatif dengan Persentase Penduduk Miskin (PPM), dan cenderung berkorelasi positif antara Kondisi Lingkungan IKP dan Aspek Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Indeks Kemerdekaan Pers ini memuat kategori penilaian mulai dari tidak bebas dengan skore mulai 1 sampai dengan 30, kurang bebas (31-55), agak bebas (56-69), cukup bebas (70-89), dan bebas (90-100). Survei IKP dilakukan dengan mengangkat tiga lingkungan yakni fisik dan politik, ekonomi dan hukum. Kemudian dari lingkungan ini dibuat 20 indikator yang dirinci dalam 75 pertanyaan di dalam kuesioner. Sekitar 306 informan ahli dari 34 provinsi mengisi kuesioner dan juga diwawancara secara mendalam melalui Focus Group Discussion.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.