Tiket Mahal, Bagasi Berbayar dan Prospek Pariwisata

E-Magazine Januari - Maret 2025
Bandara Ngurah Rai

Oleh: Robert Daniel Waloni, Tenaga Ahli Menteri Bidang Aksesibilitas Udara Kementerian Pariwisata RI

Fenomena “Tiket mahal dan bagasi berbayar”, selama  lima bulan terakhir ini  telah menjadi topik hangat yang dibicarakan masyarakat Indonesia. Mulai dari rumah tangga, di media massa, terlebih lagi di media sosial.  Akibatnya,  tingginya harga tiket pesawat, jumlah penumpang angkutan udara (Pax), menurun drastis. Pemandangan lengang mulai  jamak terlihat di sejumlah bandara.

Pihak BUMN pengelola bandara yakni  PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II melaporkan bahwa jumlah Pax yang dilayani pada triwulan I tahun 2019  menurun rata-rata  20 persen dibanding periode yang sama tahun 2018. Kementerian Perhubungan menerangkan bahwa sampai dengan H-7 Lebaran (29 Mei 2019) jumlah Pax anjlok hingga 79,59 persen dibanding tahun lalu.

Ironis, karena sejak deregulasi tahun 1992, jumlah Pax domestik bertumbuh pesat dan sektor perhubungan udara menjadi andalan kemajuan ekonomi Indonesia, terutama sektor pariwisata. Tercatat rata-rata pertumbuhan Pax sebesar 12 persen per tahun dalam lima  tahun terakhir.  Bahkan dikabarkan pada tahun 2019, Kementerian Perhubungan menargetkan pertumbuhan sebesar 13,83 persen menjadi 162 juta Pax dibanding target tahun 2018 sebanyak 142 juta Pax.

Target optimistis  ini sejalan dengan prediksi International Air Transport Association (IATA). Laporannya IATA pada 24 Oktober  2018 menyatakan,  tahun 2037 Indonesia akan menjadi negara dengan pasar penerbangan terbesar ke-4 di dunia, melonjak dari posisi nomor 10 pada tahun 2017. Ini merupakan kabar baik bagi pariwisata Indonesia, negara kepulauan yang sangat tergantung pada penerbangan.

Sebenarnya “Tiket mahal” bersifat relatif tergantung pada daya beli konsumen dan tidak perlu terlalu dipersoalkan. Demikian juga dengan “Bagasi berbayar” adalah sesuatu yang wajar karena setiap tambahan berat pada pesawat berdampak pada kenaikan biaya. Akan tetapi yang dipersoalkan adalah ketika harga atau tarif penerbangan tetap dan terus tinggi sekali pun saat  “low season” atau musim sepi. Padahal, sejak era deregulasi dalam “market economy”, dan di mana saja berlaku bahwa harga selalu elastis terhadap tingkat permintaan dan penawaran.

Selain itu, diketahui pula bahwa tingkat elastisitas harga mengikuti tingkat  perishability produk atau jasa. Jasa penerbangan dikenal sebagai salah satu jasa dengan tingkat perishability yang tinggi karena masa “penyimpanan” hanya satu jam sebelum keberangkatan. Jika seat pesawat tidak terjual sampai dengan satu jam sebelum keberangkatan maka seat tersebut menjadi sia-sia. Itulah sebabnya semua airlinesmenerapkan “Revenue Management” yang ketat dengan memperhatikan terutama waktu, jumlah pembelian, kelas dan seasonality.

Perihal bagasi berbayar seperti yang diterapkan beberapa Low Cost Carrier(LCC) atau No Frills Carrier di Indonesia adalah sesuatu yang dianggap memberatkan masyarakat karena selain menambah biaya, juga mengharuskan Pax datang jauh lebih awal untuk check-in termasuk penimbangan carry-on bag.. Dibandingkan, dengan sistem yang umum di mana kepada masing-masing Pax diberikan “Free baggage allowance” dan “Free carry on bag” dengan berat dan ukuran tertentu.  Allowance tersebut, tentunya sudah diperhitungkan dalam harga tiket.

Terjadinya “Tiket mahal dan bagasi berbayar” merupakan salah satu akibat dari kondisi pasar yang “monopolistik dalam era deregulasi“. Saat ini, praktis, hanya ada dua  kelompok airlinesyang melayani pasar penerbangan komersil berjadwal di dalam negeri. Terdapat tiga kategori airlines yang beroperasi di Indonesia yakni Full Service Carriers (FSC), Medium Service Carriers dan  No-Frills atau Low Cost Carriers(LCC). Bila  diamati dari route map (peta rute) setiap airlines, jelas terlihat bahwa banyak rute yang hanya diterbangi oleh satuairline sekelas saja. Misalnya Garuda Indonesia (GA) yang berada pada kategori yang sama dengan Batik Air (ID). GA menerbangi lebih dari 60 rute sedangkan ID hanya menerbangi 39 rute, berarti ada rute yang hanya diterbangi salah satu airline kategori FSC tersebut.

Terdapat beberapa rute penerbangan yang hanya dilayani satu kelompok airlines dengan kategori yang berbeda, misalnya Jakarta-Banyuwangi pp. Dengan demikian, praktis tidak ada lagi persaingan pada rute tersebut. Padahal persaingan selalu perlu, apalagi untuk jasa yang sudah menjadi kebutuhan utama rakyat banyak.

Jadi, sudah jelas bahwa pasar penerbangan domestik Indonesia bersifat monopolistik. Biasanya, jika pasar monopolistic maka tarifnya ditentukan pemerintah agar kepentingan rakyat dapat tetap terjaga. Hal itu tidak terjadi di Indonesia karena kita sudah deregulasi dan menyerahkan harga kepada mekanisme pasar. Kita tentu berharap bahwa dalam “market economy” harga tiket akan elastis mengikuti fluktuasi permintaan dan penawaran dalam rentang tiket batas bawah (TBB) dan tiket batas atas (TBA). Ini juga tidak terjadi karena tidak adanya persaingan dan karena airlines sebagai suatu badan usaha tentunya berfokus mencari keuntungan sepanjang tidak melanggar aturan. Kondisi ini tidak terjadi pada pentarifan airlines internasional dari dan ke Indonesia. Sekalipun tidak ada TBB dan TBA tapi tarif airlines elastis sesuai mekanisme pasar. Masih ada juga airlines domestik, seperti Indonesia Air Asia yang sampai saat ini masih menerapkan pentarifan yang normal seperti praktek pada penerbangan internasional baik tiket maupun bagasi.

Dampak Pariwisata

Situasi ini berdampak langsung terhadap sektor pariwisata terutama jumlah wisatawan nusantara (wisnus) yakni warga Indonesia yang berkunjung ke destinasi wisata di dalam negeri, merosot tajam . Dampak negatifnya sangat luas mulai dari pengelola hotel dan wisma mengeluh karena anjloknya tingkat hunian, restoran terpukul karena jumlah pelanggan yang berkurang drastis, dan seterusnya sampai dengan besaran pendapatan daerah khususnya daerah tujuan wisata yang menurun tajam.

Jumlah wisatawan mancanegara juga menurun khususnya mereka yang berkunjung ke beberapa destinasi di dalam negeri (multi-destination). Penerimaan devisa pun  menjadi sangat terganggu. Untukitu harus segera dicarikan solusi atas masalah ini. Salah satu opsi, untuk sementara  kita kembali ke “regulated-regime” dengan satu tarif per rute dan per kategori airline yang ditentukan pemerintah. Tingkat tarif dapat ditetapkan di tengah antara TBB dan TBA yang tentunya setelah mendengar pendapat dari perwakilan konsumen. Mekanisme pentarifan tersebut juga berlaku untuk bagasi berbayar. Sebagaimana, yang berlaku saat ini, untuk tarif “jasa kebandarudaraan”, karena pasarnya monopolistik tarifnya ditentukan pemerintah, maka hal yang sama dapat juga diterapkan untuk pentarifan airlinesdomestik. TBB dan TBA tidak diperlukan lagi karena selama lima bulan ini memang sudah tidak efektif.

Opsi lain adalah, kita perlu segera meneruskan dan memperluas deregulasi airlinessedemikian rupa, sehingga lebih efektif menarik sebanyak mungkin airlines baru, baik dari dalam dan luar negeri untuk melayani pasar penerbangan domestik kita. Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa pasar penerbangan Indonesia sangat besar dan berpotensi menjadi semakin besar seperti prediksi IATA. Sepanjang deregulasi kita lakukan dengan sungguh-sungguh dan benar maka pasar penerbangan Indonesia yang terdiri atas Inbound, Outbound dan Domestic yang berpotensi besar tersebut akan menjadi daya tarik bagi investor di bidang penerbangan.

Sementara otoritas  penerbangan belum mendapatkan solusi tepat atas masalah tiket mahal dan bagasi berbayar maka Kemenpar, untuk sementara, berkonsentrasi pada wisman. Selain terus meningkatkan upaya pemasaran di pasar-pasar utama di luar negeri, kami bekerja sama dengan airlines, baik nasional maupun asing, untuk pembukaan rute baru internasional. Belum lama berselang, pada 29 Mei 2019, VietJet Air asal Vietnam membuka rute baru Ho Chi Minh City ke Bali pulang pergi. Mereka juga akan membuka rute baru ke Jakarta. Pada 9 Juni 2019, Air Asia Indonesia akan membuka rute baru Perth-Lombok pulang pergi. Diharapkan jumlah wisman akan tetap bertumbuh.

Mengingat banyak juga wisman yang meneruskan perjalanan ke destinasi lain di Indonesia dengan penerbangan domestik maka masalah tiket mahal dan bagasi berbayar tetap menjadi kendala dalam pengembangan pariwisata Indonesia. Setelah kondisi industri penerbangan kembali normal maka industri pariwisata Indonesia akan tumbuh lagi dengan cepat. Akan tetapi, dalam kondisi seperti sekarang, sangat sulit bagi pemerintah Indonesia untuk mencapai target 20 juta wisman pada tahun ini.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.