KOLOM PAKAR

TKDN, antara Misi Ekonomi dan Membangun Kultur

Oleh: Dr.Ir.Arman Hakim Nasution, M.Eng

Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik-ITS, Komisaris Utama BBI 2015-2021, Komite Resiko dan Pengembangan Usaha Barata Indonesia 2022-sekarang

Pada November 2018, saya berkesempatan mengikuti Kemitraan Komprehensif antara Indonesia Korea (IK) di Seoul, Korea Selatan. mewakili calon klaster holding Manufaktur BUMN, saya dan tim ditemani oleh mitra kami dari Doosan, salah satu chaebol (tycoon bisnis family di Korsel). Dengan ditemani oleh Dr.Joon Ho Yoo, executive VP Doosan Infracore, yang salah satu produknya adalah mesin diesel yang akan dikerjasamakan dengan BBI, kami banyak berbincang tentang rencana teknologi transfer mesin diesel di Indonesia selama perjalanan menuju kunjungan pabrik.

Ketika saya bertanya, kenapa mobil-mobil Jepang jarang berseliweran di jalanan? Dengan tersenyum, Dr.Joon mengatakan bahwa sejarah penjajahan Jepang terhadap Korea dahulu membuat semangat kita untuk mandiri dan mencintai produk dalam negeri. Intinya, daripada memakai produk produk mantan penjajah (dalam hal ini Jepang), mereka di Korsel lebih baik pakai mobil Eropa. Sedemikian membekasnya masa penjajahan tersebut, sehingga mahasiswa Korsel yang sekolah di AS akan sangat punya spirit bawah sadar untuk bisa mengalahkan prestasi mahasiswa Jepang yang sekolah di AS, timpalnya.

Dan ketika berbicara masalah TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) mobil-mobil Korsel, estimasinya adalah sudah sampai 80%, demikian juga dengan komponen permesinan untuk heavy industry. Dan strategi manufaktur/konstruksi Korsel sejak 2015 adalah relokasi pabrik ke negara-negara berkembang, karena lahan tanah mereka sudah terbatas dan mahal harganya.

Bagaimana kalau spirit TKDN Korsel ini kita bandingkan dengan Indonesia?

Semangat ber-TKDN sebenarnya sudah sejak 2008 digaungkan, tetapi realisasi melalui tekanan politik benar-benar dirasakan pada tahun 2022, atau 14 tahun kemudian. Lebih dari satu semester lalu, tepatnya pada tanggal 25 Maret 2022, di hadapan para kepala daerah dan para menteri di Bali, presiden Jokowi mencanangkan kembali pentingnya penyerapan TKDN berbasis APBN, untuk menggerakkan sektor ekonomi Produksi Dalam Negeri (PDN) dan UMKM pasca COVID-19. Pemulihan Ekonomi Nasional melalui TKDN ini menjadi penting, mengingat adanya potensi belanja pemerintah di tahun 2022 ini yang besarnya Rp1.071,4 triliun dimana Rp538,9 triliun berasal dari APBN, sementara sisanya  Rp532,5 triliun dari anggaran APBD.

Sampai dengan Akhir Agustus 2022, ternyata banyak serapan belanja negara maupun daerah yang terhambat, akibat belum siapnya produk lokal untuk tayang di e-katalog LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa  Pemerintah).

Peningkatan jumlah produk lokal yang tersertifikasi TKDN, maupun usaha-usaha untuk meningkatkan TKDN tentunya menjadi tantangan kedepan, khususnya dalam mengantisipasi dampak resesi global 2023 hingga 2024 ke depan.

Kenapa TKDN menjadi salah satu solusi? Hal ini agar sektor produksi dalam negeri, termasuk IKM dan UKM hingga hilirisasi Riset Inovasi Perguruan Tinggi, bisa bangkit dan menikmati kue ekonomi dalam proses pembangunan yang harus tetap berjalan, apapun kondisinya.

Selanjutnya, tantangan ber-TKDN adalah dari sisi administratif. Contoh, di tahun 2021, jumlah produk lokal yang tayang di LKPP hanya 43,9% dari total produk yang tayang sebanyak 92.357. Dan dari 43,9% produk lokal tersebut yang memiliki TKDN hanya 4,03%, sedangkan sisanya 39,87 % adalah produk NON TKDN. Selain masalah di data base LKPP, ternyata hambatan ber-TKDN bagi IKM adalah biaya menghitung TKDN yang nilainya bisa mencapai 30 Juta sd 60 Juta per-pekerjaan.

Oleh karena itu, perlu usaha sistemik yang terintegrasi, agar semangat ber-TKDN yang diharapkan presiden Jokowi bisa terealisir secara tepat, termasuk dalam hal penyerapan anggaran APBN serta kemudahan bagi IKM/BUMN/BUMS. Misal: bagaimana agar perhitungan TKDN yang ditarif oleh konsultan teregister tersebut bisa difasilitasi dan disubsidi Kemenperin, sehingga ada tarif yang proporsional dengan semangat subsidi silang antara pelaku IKM, BUMN/BUMS besar, sedang dan kecil.

Apa akibatnya bila TKDN jadi rendah? Dampak dari struktur industri yang tidak siap, termasuk kesalahan dalam membangun struktur industri akan berakibat nilai INPUT (I) sebagai pembagi dalam rumus produktivitas akan tetap tinggi. Sebagai contoh, komponen besi baja untuk Heavy Industry meski diproduksi di dalam negeri ternyata jadi mahal, karena akibat kerjasama bisnis dengan negara lain yang memiliki saham pengendali lebih banyak. Pada industri farmasi, vaksin COVID-19 kita ternyata ketergantungannya pada produk impor sebagai komponen utama dari China sangatlah besar.

Oleh karena itu, solusi integratif yang bisa diambil pemerintah, khususnya BUMN dan Menteri BUMN sebagai CEO Indonesia Incorporated adalah menggaungkan spirit kultur Cinta Produk DN (seperti di Korsel), serta mempercepat akselerasi dengan memulai penguatan struktur industri. Konsep struktur industri ideal kita sebenarnya sudah digulirkan sejak jaman Presiden Soeharto.

Konsep penguatan Struktur Industri yang dikembangkan oleh Ir. Hartarto (Menko Airlangga), ternyata jalan di tempat, dan makin terdegradasi setelah reformasi 1998 bergulir. Kenapa terdegradasi? Salah satu hipotesisnya adalah kita kurang memiliki spirit kultur mandiri dan dignity sebagaimana spirit bangsa Korsel yang saya jelaskan di awal.

Sebagai penutup, kami punya hipotesis bahwa Kebijakan TKDN dari sisi misi ekonomi memang tidak bisa diterapkan pada semua bidang industri. Kita harus sangat selektif dengan memperhatikan RIPIN dan pemahaman tentang “pohon industriā€, sehingga sambil menerapkan TKDN seoptimal mungkin, kita harus membenahi secara serius struktur industri kita secara tepat dan pasti.

Dan yang paling penting adalah dari sisi misi kultur: bagaimana kebijakan pemerintah untuk menjadikan kultur mandiri dan dignity menjadi mindset para pejabat pusat hingga daerah.

Artikel Terkait

Back to top button