Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara harus transparan dalam mengelola proyek dan keuangan negara. Untuk itu Danantara harus memonitor semua proyek yang menggunakan dana investasi Danantara. Termasuk memantau konndisi terkini penyaluran pembiayaan Bank Himbara (Himpunan Bank Negara).
Transparansi dan akuntabilitas menjadi catatan tersendiri bagi Danantara. Berdasarkan hasil survei CELIOS per Juli 2025, ditemukan bahwa sebanyak 47,6 persen responden menyebutkan transparansi dan akuntabilitas sebagai tantangan utama pembentukan Danantara. Sementara 64,21 persen responden keberatan bila dana nasabah bank BUMN atau Himbara dikelola sebagai aset Danantara.
Kita bisa belajar dari sovereign wealth fund (SWF) milik negara-negara lain yang sudah transparan dalam pengelolaan asetnya. Salah satunya SWF Norwegia. SWF Norwegia atau Norfund berani membuka akses ke publik. Bahkan mereka berani membuka bukan hanya untuk warga negara Norwegia, tetapi juga kepada pihak asing. SWF Norwegia bersedia melacak ke proyek mana saja Norfund mengalirkan dananya. Kita warga negara Indonesia pun bisa mengakses dana Norfund itu ditempatkan di portofolio apa saja, proyek apa saja, bahkan sampai besaran rate of return-nya. Idealnya, Danantara juga bisa melakukan bisa menerapkan hal yang serupa dengan Norfund untuk memberi transparansi kepada publik.
Kita harus memahami bahwa Danantara milik masyarakat maka kita harus berani mengatakan bahwa pengelola Danantara harus bertanggung jawab terhadap dana-dana BUMN yang dikelolanya. Termasuk dalam melakukan operasional harus melibatkan publik atau semua pemangku kepentingan. Melalui cara tersebut publik dapat mengetahui proyek-proyek dan penyaluran pembiayaan Danantara. Masyarakat bisa turut menjadi pengawas agar Danantara tidak hanya menjadi pengelola aset negara yang besar, tetapi juga berkontribusi pada pencegahan krisis iklim bisnis yang semakin lama semakin menurun.
Pelibatan Publik
Terkait pembentukan Danantara, pada 14 Juli 2025 penulis mengajukan permohonan pengujian UU No.1 Tahun 2025 Tentang BUMN yang menjadi landasan hukum pendirian Danantara. Permohonan tersebut penting diajukan lantaran tidak adanya partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan yang berkaitan dengan BUMN. Padahal perubahan UU tersebut memiliki implikasi luas terhadap berbagai aspek ekonomi masyarakat, investor dan pelaku usaha.
Dalam konteks Danantara, perlu diketahui bawah aset konsolidasi BUMN tahun 2024 mencapai Rp10.950 triliun, atau setara dengan 49,4 pesen Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB harga berlaku). Artinya, perubahan satu saja kebijakan BUMN bisa berdampak terhadap berbagai indikator perekonomian nasional. Apalagi dalam konteks perubahan status pengalihan aset ke Danantara serta pengalihan dividen yang sebelumnya disetorkan ke APBN kini beralih ke Danantara.
Disamping itu, dalam proses penyusunan UU Nomor 1 Tahun 2025, masyarakat tidak dilibatkan secara bermakna. Padahal masyarakat sebagai pembayar pajak (tax payer) telah berkontribusi nyata melalui APBN terhadap modal awal pendirian BUMN dan PMN (Penyertaan Modal Negara) ke BUMN. Masyarakat juga kesulitan mengakses Naskah Akademik, Draft Rancangan Undang-Undang BUMN maupun Daftar Inventarisasi Masalah RUU BUMN.
Dalam proses perundang-undangan Nomor 1 Tahun 2025 tidak melibatkan masyarakat. Termasuk investor baik investor institusional dan investor ritel tidak dilibatkan secara bermakna dalam proses perumusan undang-undang tentang BUMN. Tercatat dari 6.381.444 Single Investor Identification (SID) per 31 Desember 2024, sebagian memiliki kepemilikan saham BUMN yang melantai di bursa saham. Oleh karena itu Keputusan terkait UU No.1 Tahun 2025 tentang BUMN berpengaruh pada pembentukan persepsi dan harga saham BUMN di bursa saham.
Idealnya para investor ritel berhak mendapatkan akses informasi pembahasan RUU BUMN sejak awal. Seharusnya diumumkan pula poin-poin perubahan yang berpengaruh pada kinerja BUMN publik khususnya pada RUPS sebelum atau di saat pembahasan rancangan undang-undang. Praktik meaningful participation yang di dalamnya termasuk syarat right to be explained atau berhak mendapatkan penjelasan seharusnya diterapkan. Termasuk penjelasan terkait perubahan status dan pengelolaan BUMN kepada investor di bursa saham.
Tak hanya itu. Saat proses penyusunan UU BUMN juga tidak melibatkan secara bermakna deposan atau masyarakat yang memiliki simpanan di bank Himbara. Akibatnya menimbulkan berbagai kegaduhan dan reaksi berupa seruan tarik uang dari bank BUMN yang kontraproduktif. Jumlah rekening simpanan di Bank Himbara per April 2024 menurut Lembaga Penjamin Simpanan mencapai 336,5 juta unit, dengan nominal Rp3.799 triliun.
Kekhawatiran dari pemilik dana baik perusahaan maupun perorangan terkait dengan risiko dari Danantara merupakan kekhawatiran yang beralasan. Salah satunya disebabkan oleh tidak adanya informasi yang jelas, utuh dan disampaikan kepada para pemilik simpanan bank BUMN. Para pemilik dana di bank BUMN merasa pelibatan partisipasi yang tidak terbuka selama proses pembahasan UU BUMN No. 1 Tahun 2025, mengakibatkan penurunan rasa aman pemilik dana simpanan di bank BUMN.
Untuk itu, keterlibatan secara bermakna dari institusi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama penyusunan UU terkait dengan BUMN merupakan hal yang mutlak diperlukan. Sebab penyusunan UU tersebut berdampak pada pengelolaan aset konsolidasi BUMN paska UU No.1 Tahun 2025 berlaku.Faktanya, BPK yang memiliki fungsi pemeriksaan, pengawasan hingga penilaian terhadap BUMN menjadi pihak yang tidak banyak terlibat dalam proses perumusan UU No.1 Tahun 2025.
Tanpa keterlibatan bermakna BPK khususnya pada pembahasan Pasal 71 Ayat 2 menimbulkan konsekuensi terhadap lemahnya pengawasan BUMN maupun Danantara. DemikiAn pula pada proses perumusan Sovereign Wealth Fund (SWF), di mana pada berbagai negara dapat dijadikan contoh partisipasi yang aktif dari warga negara dan peran pemerintah dalam mengakomodir suara masyarakat. Sebagai contoh The Government Pension Fund Global (GPFG) Norwegia sejak awal berdiri 1990 melibatkan partisipasi publik dalam berbagai bentuk. Termasuk mendengar masukan dari akademisi, CSO, dan masyarakat sebagai pemegang saham utama GPFG. Kemudian Alaska Permanent Fund di AS tahun 1976 membuka referendum kepada masyarakat untuk memilih cara terbaik pemanfaatan dana hasil minyak mentah.